Saturday, February 27, 2016

Memahami Kebudayaan Melalui Sastra

Nama/NPM     : Tomi Tri Anggara / 1406538076
Prodi               : Sastra Belanda
Mata kuliah     : Kebudayaan Indonesia
Memahami Kebudayaan Melalui Sastra
Pada Kamis, 25 Februari 2015 kemaren saya mendapat kuliah umum yang diisi oleh bapak Sunu Wasono, seorang sastrawan dan budayawan UI (dan Indonesia). Kuliah ini diadakan untuk mahasiswa yang mengambil mata kuliah Kebudayaan Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya UI. Tema untuk kuliah umum kali ini adalah "Memahami Kebudayaan Melalui Sastra"
Kuliah umum diawali dengan berbagai pengertian kebudayaan. Memang kebudayaan bukanlah sesuatu yang mudah didefinisikan. Sehingga muncul puluhan bahkan sampai ratusan pengertian yang berusaha mendefinisikan apa itu kebudayaan. Munculnya beragam pengertian ini dikarenakan oleh sifat dinamisme kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan selalu berkembang dari masa ke masa.
Meskipun sulit untuk didefinisikan, kebudayaan sebenarnya memiliki tiga wujud yang universal.  Ketiga wujud tersebut adalah:
1.      Wujud Gagasan (idea)
Gagasan atau ide terdapat dalam pikiran manusia. Gagasan-gagasan setiap orang dalam masyarakat tertentu akan membentuk sistem budaya masyarakat itu. Sebagian orang mungkin tidak menyadari gagasan sebagai salah satu wujud dari budaya karena menganggap budaya hanya yang konkret saja seperti kebiasaan dan benda-benda.
2.      Wujud Aktivitas (act)
Wujud gagasan merupakan perilaku-perilaku yang dimunculkan secara konkret oleh masyarakat sebagai hasil dari gagasan. Perilaku-perilaku ini kemudian membentuk sistem sosial.
3.      Wujud Benda/Karya
Wujud benda merupakan wujud yang paling konkret dari budaya. Sehingga sebagian orang mengidentikkan budaya dengan wujud benda ini, seperti candi-candi, prasasti, masjid dll. Namun wujud benda adalah hasil karya dari yang paling dasar, yaitu gagasan, yang menjadi konkret karena perilaku-perilaku.
Selain memiliki tiga wujud tersebut, kebudayaan juga dapat ditelaah apa saja unsur-unsur yang membentuknya. Dari ruang lingkup yang sangat luas, secara umum kita dapat menggolongkan unsur-unsur kebudayaan menjadi tujuh unsur. Ketujuh unsur tersebut adalah: bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Ketujuh unsur tersebut tidak memisah, tetapi bersinergi satu sama lain membentuk budaya yang utuh.
Salah satu produk budaya yang telah ada sejak lama dan terus berkembang menjadi beragam genre adalah sastra. Sama halnya dengan kebudayaan, sastra juga telah didefinisikan orang dengan berbagai pengertian. Namun, secara garis besar sastra itu adalah sejenis karya imajinatif yang menggambarkan perasaan dan pikiran dengan bahasa sebagai mediumnya. Jadi, sastra merupakan bagian dari seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Bapak Wasono memberikan beberapa contoh karya sastra dalam bentuk novel yang sudah ada sejak beberapa puluh tahun yang lalu namun masih dibaca sampai sekarang. Hal itu menunjukkan bahwa novel-novel tersebut memiliki nilai budaya, terutama estetika, yang sangat tinggi. Nilai budaya yang saya maksud tidak hanya karena kalimat-kalimat puitis yang terdapat dalam novel tersebut, tetapi juga unsur-unsur budaya lokal daerah tertentu yang diceritakannya. Beberapa novel tersebut adalah:
1.      “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari: cerita ini dijelaskan paling banyak dan panjang lebar. Dari yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa novel ini sarat dengan nilai-nilai budaya lokal, tepatnya budaya Banyumas, Jawa Tengah. Banyak tradisi atau kebiasaan Jawa yang diangkat menjadi cerita dari novel ini. Terutama yang berkaitan dengan ronggeng yang menjadi tema utama dalam novel ini.
2.      “Para Priyayi” karya Umar Kayam: novel ini juga berlatarkan tanah Jawa namun berbeda tema. Dari ceritanya kita akan mengetahui kehidupan para priyayi di Jawa.
3.      “Siti Nurbaya” karya Marah Rusli: novel ini menggambarkan situasi di Minangkabau (Sumatera Barat) di era 1920an ketika perjodohan oleh orang tua masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Sehingga novel ini muncul sebagai tanggapan terhadap budaya perjodohan tersebut.
4.      “Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis: Masih berlatar di ranah Minang, cerita ini sarat dengan nilai-nilai religi, yaitu agama Islam yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Minang. Dalam cerita ini juga terkandung tanggapan terhadap masyarakat Minang.
5.      dll
Dari karya-karya yang telah dipaparkan dalam kuliah ini, saya melihat adanya realisasi dari fungsi-fungsi karya sastra yang sebelumnya juga telah dijelaskan oleh bapak Wasono di awal kuliahnya. Fungsi-fungsi tersebut adalah:
1.      Media untuk menyampaikan gagasan dan tanggapan mengenai berbagai hal
2.      Media untuk menyampaikan informasi mengenai berbagai hal
3.      Media untuk mengukuhkan/mengabsahkan sesuatu
4.      Media untuk mendokumentasikan budaya
Novel-novel di atas memiliki keempat fungsi tersebut. Misalnya novel “Ronggeng Dukuh Paruk” dan “Siti Nurbaya” yang jelas sekali memiliki fungsi nomor 1 dan 2. Keduanya memberikan informasi mengenai tradisi daerah tertentu sekaligus menyampaikan tanggapan dari penulis, secara eksplisit ataupun tidak. Jika kita melihat ending ceritanya, kita akan menemukan fungsi nomor 3, yaitu mengukuhkan sesuatu. Dalam novel “Robohnya Surau Kami” nilai yang ingin dikukuhkan adalah ketaatan kepada Allah Swt. Namun ketaatan itu tidak boleh membuat kita lupa akan realitas kehidupan di dunia. Dalam “Ronggeng Dukuh Paruk” sebenarnya penulis juga ingin mengukuhkan bahwa Ronggeng itu bukanlah budaya yang sesuai agama, namun hal itu tidak disampaikan secara gamblang. Terakhir, fungsi nomor 4 merupakan fungsi nyata bagi karya budaya yang konkret seperti novel, termasuk foto, film dll. Budaya ronggeng yang sekarang sudah tidak ada lagi bisa diketahui oleh anak-anak zaman sekarang, hingga masa depan, dengan membaca novelnya. Ini berarti bahwa novel itu menjadi dokumentasi dari budaya seperti ronggeng dan lain sebagainya.
Menurut saya, fungsi novel yang berisi banyak informasi mengenai masyarakat tertentu sangat cocok untuk pelajar budaya, lokal, nasional maupun asing. Untuk mahasiswa sastra asing misalnya, novel “Negeri van Oranje” yang menceritakan kehidupan mahasiswa Indonesia di Belanda. Sekarang sudah banyak novel-novel yang menceritakan kehidupan negara lain yang bermanfaat untuk mahasiswa sastra asing atau yang mempelajari budaya, baik itu novel yang dibuat oleh masyarakat Indonesia yang pernah tinggal di negara tersebut maupun yang dibuat oleh orang-orang natif yang berbicara mengenai negerinya sendiri. Dari situ kita bisa mempelajari budaya asing. Contohnya dari novel “99 Cahaya di Langit Eropa” kita akan mengetahui budaya umat muslim di Eropa, sedangkan dari novel “Assalamualaikum Beijing” kita bisa melihat situasi umat muslim yang berbeda, yaitu di negeri Tiongkok.
Selain novel-novel era 1900an, dalam kuliah umum ini juga disinggung sedikit mengenai beberapa jenis karya sastra kuno seperti Babad Tanah Jawi, Lelembut dll. Hal ini sangat menarik karena mempelajari karya sastra kuno berarti mempelajari nilai-nilai budaya kita yang sudah sangat lama. Dari situ kita bisa membandingkan nilai-nilai budaya kuno yang merupakan asal-usul dari yang ada sekarang dengan nilai-nilai yang sekarang ada di masyarakat. Selain itu, kita juga menjalankan tugas sebagai pelaku budaya, yaitu menjaga agar budaya kita tidak punah begitu saja.
Sebagaimana yang kita ketahui, di Indonesia banyak hasil-hasil karya sastra lisan atau tulisan yang dimiliki masyarakat lokal tertentu. Seperti Babad Tanah Jawi di Jawa, pidato-pidato adat di Minangkabau, Riau atau Gorontalo, serta beberapa kitab-kitab kuno yang mungkin sekarang sudah sangat jarang. Terutama yang berbentuk sastra lisan seperti tambo di Minangkabau yang rentan terhadap kepunahan, sehingga harus kita lestarikan dengan mendokumentasikan dan mempelajarinya.
Dalam kuliah umum ini, bapak Wasono lebih memfokuskan perhatiannya pada novel. Namun, berbagai jenis karya sastra lain, seperti drama dan puisi, (hampir) tidak disinggung. Sedangkan puisi dan drama atau karya sastra lain yang bukan novel juga kaya dengan nilai budaya. Dalam puisi misalnya, penulis puisi biasanya menuliskan pikirannya mengenai situasi di daerah tertentu dan pada waktu tertentu yang ingin ia ekspresikan. Sehingga kita juga dapat melihat nilai-nilai budaya dari apa yang ditulis dalam puisi tersebut.
Secara keseluruhan inti yang didapatkan dari kuliah ini adalah memanfaatkan karya sastra untuk mempelajari budaya masyarakat yang ada. Dalam karya sastra banyak terdapat nilai-nilai budaya karena tugas dari sastrawan adalah mendokumentasikan kebudayaan melalui karyanya. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah banyaknya mahasiswa yang jarang membaca karya-karya sastra yang lama namun bernilai tinggi. Untuk itu, perlu adanya pengintensifan membaca karya-karya sastra tersebut oleh mahasiswa, terutama mahasiswa budaya.

No comments: