Nama/NPM : Tomi Tri Anggara / 1406538076
Prodi : Sastra Belanda
Mata kuliah : Kebudayaan Indonesia
Memahami
Kebudayaan Melalui Sastra
Pada Kamis, 25 Februari 2015 kemaren saya mendapat kuliah umum yang diisi oleh bapak Sunu Wasono, seorang sastrawan dan budayawan UI (dan Indonesia). Kuliah ini diadakan untuk mahasiswa yang mengambil mata kuliah Kebudayaan Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya UI. Tema untuk kuliah umum kali ini adalah "Memahami Kebudayaan Melalui Sastra"
Kuliah umum diawali
dengan berbagai pengertian kebudayaan. Memang kebudayaan bukanlah sesuatu yang
mudah didefinisikan. Sehingga muncul puluhan bahkan sampai ratusan pengertian
yang berusaha mendefinisikan apa itu kebudayaan. Munculnya beragam pengertian
ini dikarenakan oleh sifat dinamisme kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan selalu
berkembang dari masa ke masa.
Meskipun sulit untuk
didefinisikan, kebudayaan sebenarnya memiliki tiga wujud yang universal. Ketiga wujud tersebut adalah:
1.
Wujud Gagasan (idea)
Gagasan
atau ide terdapat dalam pikiran manusia. Gagasan-gagasan setiap orang dalam
masyarakat tertentu akan membentuk sistem budaya masyarakat itu. Sebagian orang
mungkin tidak menyadari gagasan sebagai salah satu wujud dari budaya karena
menganggap budaya hanya yang konkret saja seperti kebiasaan dan benda-benda.
2.
Wujud Aktivitas (act)
Wujud
gagasan merupakan perilaku-perilaku yang dimunculkan secara konkret oleh
masyarakat sebagai hasil dari gagasan. Perilaku-perilaku ini kemudian membentuk
sistem sosial.
3.
Wujud Benda/Karya
Wujud
benda merupakan wujud yang paling konkret dari budaya. Sehingga sebagian orang
mengidentikkan budaya dengan wujud benda ini, seperti candi-candi, prasasti,
masjid dll. Namun wujud benda adalah hasil karya dari yang paling dasar, yaitu
gagasan, yang menjadi konkret karena perilaku-perilaku.
Selain memiliki tiga
wujud tersebut, kebudayaan juga dapat ditelaah apa saja unsur-unsur yang
membentuknya. Dari ruang lingkup yang sangat luas, secara umum kita dapat
menggolongkan unsur-unsur kebudayaan menjadi tujuh unsur. Ketujuh unsur
tersebut adalah: bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi
sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Ketujuh unsur tersebut tidak
memisah, tetapi bersinergi satu sama lain membentuk budaya yang utuh.
Salah satu produk
budaya yang telah ada sejak lama dan terus berkembang menjadi beragam genre
adalah sastra. Sama halnya dengan kebudayaan, sastra juga telah didefinisikan
orang dengan berbagai pengertian. Namun, secara garis besar sastra itu adalah sejenis
karya imajinatif yang menggambarkan perasaan dan pikiran dengan bahasa sebagai
mediumnya. Jadi, sastra merupakan bagian dari seni yang menggunakan bahasa
sebagai mediumnya.
Bapak Wasono memberikan
beberapa contoh karya sastra dalam bentuk novel yang sudah ada sejak beberapa
puluh tahun yang lalu namun masih dibaca sampai sekarang. Hal itu menunjukkan
bahwa novel-novel tersebut memiliki nilai budaya, terutama estetika, yang
sangat tinggi. Nilai budaya yang saya maksud tidak hanya karena kalimat-kalimat
puitis yang terdapat dalam novel tersebut, tetapi juga unsur-unsur budaya lokal
daerah tertentu yang diceritakannya. Beberapa novel tersebut adalah:
1.
“Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad
Tohari: cerita ini dijelaskan paling banyak dan panjang lebar. Dari yang telah
dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa novel ini sarat dengan nilai-nilai budaya
lokal, tepatnya budaya Banyumas, Jawa Tengah. Banyak tradisi atau kebiasaan
Jawa yang diangkat menjadi cerita dari novel ini. Terutama yang berkaitan
dengan ronggeng yang menjadi tema utama dalam novel ini.
2.
“Para Priyayi” karya Umar Kayam: novel
ini juga berlatarkan tanah Jawa namun berbeda tema. Dari ceritanya kita akan
mengetahui kehidupan para priyayi di Jawa.
3.
“Siti Nurbaya” karya Marah Rusli: novel
ini menggambarkan situasi di Minangkabau (Sumatera Barat) di era 1920an ketika
perjodohan oleh orang tua masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Sehingga novel ini muncul sebagai tanggapan terhadap budaya perjodohan
tersebut.
4.
“Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis:
Masih berlatar di ranah Minang, cerita ini sarat dengan nilai-nilai religi,
yaitu agama Islam yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat
Minang. Dalam cerita ini juga terkandung tanggapan terhadap masyarakat Minang.
5.
dll
Dari karya-karya yang
telah dipaparkan dalam kuliah ini, saya melihat adanya realisasi dari
fungsi-fungsi karya sastra yang sebelumnya juga telah dijelaskan oleh bapak
Wasono di awal kuliahnya. Fungsi-fungsi tersebut adalah:
1.
Media untuk menyampaikan gagasan dan
tanggapan mengenai berbagai hal
2.
Media untuk menyampaikan informasi
mengenai berbagai hal
3.
Media untuk mengukuhkan/mengabsahkan sesuatu
4.
Media untuk mendokumentasikan budaya
Novel-novel di atas
memiliki keempat fungsi tersebut. Misalnya novel “Ronggeng Dukuh Paruk” dan
“Siti Nurbaya” yang jelas sekali memiliki fungsi nomor 1 dan 2. Keduanya
memberikan informasi mengenai tradisi daerah tertentu sekaligus menyampaikan
tanggapan dari penulis, secara eksplisit ataupun tidak. Jika kita melihat ending ceritanya, kita akan menemukan
fungsi nomor 3, yaitu mengukuhkan sesuatu. Dalam novel “Robohnya Surau Kami” nilai
yang ingin dikukuhkan adalah ketaatan kepada Allah Swt. Namun ketaatan itu
tidak boleh membuat kita lupa akan realitas kehidupan di dunia. Dalam “Ronggeng
Dukuh Paruk” sebenarnya penulis juga ingin mengukuhkan bahwa Ronggeng itu
bukanlah budaya yang sesuai agama, namun hal itu tidak disampaikan secara
gamblang. Terakhir, fungsi nomor 4 merupakan fungsi nyata bagi karya budaya
yang konkret seperti novel, termasuk foto, film dll. Budaya ronggeng yang
sekarang sudah tidak ada lagi bisa diketahui oleh anak-anak zaman sekarang,
hingga masa depan, dengan membaca novelnya. Ini berarti bahwa novel itu menjadi
dokumentasi dari budaya seperti ronggeng dan lain sebagainya.
Menurut saya, fungsi
novel yang berisi banyak informasi mengenai masyarakat tertentu sangat cocok
untuk pelajar budaya, lokal, nasional maupun asing. Untuk mahasiswa sastra
asing misalnya, novel “Negeri van Oranje” yang menceritakan kehidupan mahasiswa
Indonesia di Belanda. Sekarang sudah banyak novel-novel yang menceritakan
kehidupan negara lain yang bermanfaat untuk mahasiswa sastra asing atau yang
mempelajari budaya, baik itu novel yang dibuat oleh masyarakat Indonesia yang
pernah tinggal di negara tersebut maupun yang dibuat oleh orang-orang natif
yang berbicara mengenai negerinya sendiri. Dari situ kita bisa mempelajari
budaya asing. Contohnya dari novel “99 Cahaya di Langit Eropa” kita akan
mengetahui budaya umat muslim di Eropa, sedangkan dari novel “Assalamualaikum
Beijing” kita bisa melihat situasi umat muslim yang berbeda, yaitu di negeri
Tiongkok.
Selain novel-novel era
1900an, dalam kuliah umum ini juga disinggung sedikit mengenai beberapa jenis
karya sastra kuno seperti Babad Tanah
Jawi, Lelembut dll. Hal ini
sangat menarik karena mempelajari karya sastra kuno berarti mempelajari
nilai-nilai budaya kita yang sudah sangat lama. Dari situ kita bisa
membandingkan nilai-nilai budaya kuno yang merupakan asal-usul dari yang ada
sekarang dengan nilai-nilai yang sekarang ada di masyarakat. Selain itu, kita
juga menjalankan tugas sebagai pelaku budaya, yaitu menjaga agar budaya kita
tidak punah begitu saja.
Sebagaimana yang kita
ketahui, di Indonesia banyak hasil-hasil karya sastra lisan atau tulisan yang
dimiliki masyarakat lokal tertentu. Seperti Babad
Tanah Jawi di Jawa, pidato-pidato adat di Minangkabau, Riau atau Gorontalo,
serta beberapa kitab-kitab kuno yang mungkin sekarang sudah sangat jarang.
Terutama yang berbentuk sastra lisan seperti tambo di Minangkabau yang rentan
terhadap kepunahan, sehingga harus kita lestarikan dengan mendokumentasikan dan
mempelajarinya.
Dalam kuliah umum ini,
bapak Wasono lebih memfokuskan perhatiannya pada novel. Namun, berbagai jenis
karya sastra lain, seperti drama dan puisi, (hampir) tidak disinggung. Sedangkan
puisi dan drama atau karya sastra lain yang bukan novel juga kaya dengan nilai
budaya. Dalam puisi misalnya, penulis puisi biasanya menuliskan pikirannya
mengenai situasi di daerah tertentu dan pada waktu tertentu yang ingin ia
ekspresikan. Sehingga kita juga dapat melihat nilai-nilai budaya dari apa yang
ditulis dalam puisi tersebut.
Secara keseluruhan
inti yang didapatkan dari kuliah ini adalah memanfaatkan karya sastra untuk
mempelajari budaya masyarakat yang ada. Dalam karya sastra banyak terdapat
nilai-nilai budaya karena tugas dari sastrawan adalah mendokumentasikan
kebudayaan melalui karyanya. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah banyaknya
mahasiswa yang jarang membaca karya-karya sastra yang lama namun bernilai
tinggi. Untuk itu, perlu adanya pengintensifan membaca karya-karya sastra
tersebut oleh mahasiswa, terutama mahasiswa budaya.