Friday, December 18, 2015

Belanda dan Perang Suksesi Austria (Habsburg)


Hallo iedereen. Hoe gaat het met jullie (Hello everybody, how are you?). Gue mau share lagi nih mumpung lagi moody. Semester 2 lalu gue mengambil mata kuliah "Sejarah Sosial Budaya Belanda". Tugas akhirnya adalah membuat makalah, maklumlah anak kuliah nggak bisa lepas dari yang satu ini. Dan tema yang gue ambil adalah Keterlibatan Belanda pada Perang Suksesi Austria (Habsburg). Berikut gue share pembahasannya saja dari makalah gue. Silahkan membaca bagi yang tertarik.

A. Masa Sebelum Terjadinya Perang Suksesi Austria
Pada tahun 1700, pewaris utama kekaisaran Habsburg telah habis dengan meninggalnya Karel II dari Spanyol. Hal ini menyebabkan terjadinya Spaanse Successie Oorlog[1]. Lodewijk XIV dari Perancis mengklaim gelar raja Spanyol untuk anaknya Fillips, sementara Leopold I mengklaim tahta raja itu untuk anaknya Karel. Pada tahun 1703, Karel dan Jozef, anak Leopold I menandatangani Pakta Suksesi Mutual, yang menjamin hak suksesi kepada anak-anak perempuan mereka jika benar-benar tidak ada penerus laki-laki. Yang diutamakan dalam memilih pengganti perempuan adalah anak Jozef karena ia lebih tua.
Pada tahun 1705, Leopold I meninggal dan digantikan oleh anak laki-laki tertuanya Jozef I. Enam tahun kemudian, Jozef I meninggal dan meninggalkan dua anak perempuan, yaitu Maria Jozefa dan Maria Amalia. Karel kemudian menggantikan Jozef I dengan gelar Karel VI[2] dan, berdasarkan Pakta Suksesi Mutual, Maria Jozefa menjadi pewaris yang dikira berhak. Tetapi, Karel kemudian menyatakan keinginan untuk mengamandemen pakta sebelumnya agar anak perempuannya bisa menjadi pewaris kekuasaannya, menggantikan keponakannya. Pada tanggal 19 April 1713, kaisar tersebut mengumumkan perubahan-perubahan pada saat rapat dewan.
Selama 10 tahun Karel VI, dengan bantuan penasehatnya Johan Christoph von Bartenstein, berusaha membujuk Majelis Eropa untuk menerima Sanksi Pragmatisnya. Negara yang tidak setuju hanya Saxon dan Bavaria karena mereka khawatir akan hak keturunan mereka. Untuk itu, pemimpin Saxon, Frederik Agustus, dinikahkan dengan Maria Jozefa van Oostenrijk dan pemimpin Bavaria, Karel Albert, dinikahkan dengan Maria Amalia van Oostenrijk. Kedua perempuan ini adalah anak dari saudara laki-laki Karel, Jozef I.
Selain itu, agar Sanksi Pragmatis mendapat persetujuan, kepada Perancis diberikan daerah Lotharingen pada saat Perjanjian Vienna tahun 1738. Dalam Perjanjian Vienna tahun 1738, pengakuan dari Spanyol juga didapatkan. Inggris mengakui Sanksi Pragmatis dengan imbalan diberhentikannya operasi perusahaan Ostend. Sementara itu, Frederik I van Pruisen menunjukkan kesetiaannya kepada Karel VI. Karel VI juga membuat kesepakatan dengan Rusia dan Saxon yang membawa dua perang: Perang Suksesi Polandia melawan Perancis dan Spanyol, yang memberinya Napel dan Sisilia, dan Perang Austro-Rusia-Turki yang memberinya wilayah Wallachia Kecil dan Serbia bagian utara, termasuk Benteng Belgrade.
Akhirnya, semua wilayah dalam Eropa yang terdiri dari Saxon, Bavaria, Spanyol, Rusia, Prusia, Hannover-Inggris, Perancis, Inggris serta beberapa negara lainnya menyetujui diberlakukannya Sanksi Pragmatis[3]

B. Awal Munculnya Perang Suksesi Austria
Pada tanggal 20 Oktober 1740, Karel VI meninggal dunia dan posisinya sebagai kaisar Habsburg digantikan oleh anak perempuan pertamanya yaitu Maria Theresia van Oostenrijk[4]. Sedangkan kedudukannya sebagai Kaisar Romawi Suci digantikan oleh Karel Albert van Beieren, seorang pemimpin dari Bavaria dan menantu dari saudara laki-lakinya Jozef I, pada tanggal 12 Februari 1742 dengan gelar Karel VII. Hal ini dimungkinkan karena tahta Kaisar Romawi Suci tidak dipergilirkan lewat keturunan, melainkan pemilihan. Anak perempuan Karel VI yang satu lagi, Maria Anna van Oostenrijk, diangkat menjadi gubernur di Belanda Austria (Belgia sekarang) menggantikan bibinya Maria Elisabeth van Oostenrijk yang meninggal dunia pada tahun 1741.
Setelah kematian Karel VI ini, banyak masalah yang dihadapi Maria Theresia selama masa pemerintahannya. Hal ini karena banyaknya negara-negara yang awalnya setuju dengan Sanksi Pragmatis 1713 kemudian melanggarnya untuk membagi-bagi kekuasaan Maria Theresia yang diwarisi dari ayahnya Karel VI meliputi Austria, Hungaria, Belanda Austria, Kroasia, Milan, Mantua, Parma, Lodomeria dan Galicia. Melalui pernikahannya Maria Theresia juga menjadi penguasa di Lorraine dan Tuscany serta menjadi isteri Kaisar Romawi Suci, Francis I. Negara-negara yang melanggar Sanksi Pragmatis tersebut adalah Perancis, Prusia, Saxon dan Bavaria.
Orang yang paling menentang Sanksi Pragmatis 1713 sekaligus menentang Maria Theresia adalah Karel Albert van Beieren. Karel Albert mengklaim haknya dalam tahta kaisar Habsburg dengan memanfaatkan posisinya sebagai alasan, yaitu posisinya sebagai menantu laki-laki dari Jozef I. Tidak hanya itu, Karel Albert juga menuntut kekuasaan melalui posisinya sebagai keturunan laki-laki terdekat dari Ferdinand I. Ternyata, penentangan yang dilakukan Karel Albert mendapat dukungan tak terduga dari penguasa Prusia, Frederik II.
Frederik II van Pruisen menentang Sanksi Pragmatis karena ingin melakukan ekspansi wilayah setelah menggantikan ayahnya Frederik Willem I. Dengan menjaga kecurigaan dari pihak Vienna, Frederick II menyerang dan menguasai Silesia pada Desember 1740[5]. Tindakan Frederik II ini membantu ambisi Karel Albert untuk mendapatkan wilayah kekuasaan Habsburg. Akhirnya Karel Albert mendapatkan gelar raja di Bohemia. Tindakan Frederik II ini mengawali terjadinya serangkaian perang dalam Perang Suksesi Austria.

C. Masa Perang Suksesi Austria dan Peran Nederlanden di Dalamnya
Sebagai tanggapan dari perampasan Silesia oleh Frederik II, Maria Theresia meminta penjamin Sanksi Pragmatis untuk mengambil tindakan. Namun Maria Theresia tidak mendapatkan respon dari penjamin tersebut. Sementara itu, permusuhan tersembunyi muncul dari Spanyol, Perancis dan Sardinia. Inggris yang sudah berperang dengan Spanyol sejak 1738 dan juga takut akan intervensi dari Perancis meminta Maria Theresia melakukan diplomasi. Untuk Republik Belanda, ketakutan terbesar dalam kondisi itu adalah jika ikut terlibat ke dalam peperangan. Jadi, saat itu Republik Belanda menjaga netralitasnya.
Untuk menjaga netralitasnya, Republik Belanda menambahkan 11.000 tentara ke dalam angkatan daratnya. Kemudian penambahan kembali sebesar 20.000 tentara dilakukan karena kekhawatiran terhadap serangan dari Belanda Austria. Benteng dan pasukan pertahanan di kota-kota utama diperkuat dan angkatan laut juga ditambah. Akan tetapi, dalam pemerintah negara, Republik Belanda masih ragu-ragu. Partai republik, yang memegang kendali kekuatan, pada dasarnya memilih untuk tetap menjaga perdamaian, namun juga takut akan kekuatan Perancis. Di pihak lain, oposisi Oranje menginginkan bergabung dengan Inggris yang disokong oleh Maria Theresia. Namun demikian, stadhouder tidak menentukan sikap dalam hal ini. Republik Belanda juga tidak mendapat desakan yang kuat dari Inggris, dimana Walpole masih giat dalam kebijakan pasifik.
Pada bulan Mei 1741 di Nymphenburg, Perancis mengumumkan pembentukan persekutuan bersama dengan Spanyol, Sardinia, Polandia, Prusia, Saxon dan Bavaria[6]. Persekutuan ini dibuat untuk menumbangkan kekuasaan Maria Theresia agar kemudian membagi-bagikan wilayah kekuasaannya. Pasukan darat Franco-Beieren masuk beberapa mil ke dalam kota Vienna, dan melampaui Bohemia. Karel Albert kemudian diangkat menjadi Raja Bohemia, dan pada Januari 1742 juga terpilih menjadi Kaisar Romawi Suci dengan gelar Karel VII.
Sebelum pemilihan ini, sebenarnya mediasi yang dilakukan Inggris telah berhasil menghasilkan konvensi Klein-Schnellendorf untuk meredakan permusuhan antara Austria dan Prusia. Hal ini memberikan hak atas Silesia kepada Prusia. Namun, memungkinkan Maria Theresia dengan bantuan Inggris dan Republik Belanda, tidak hanya untuk membersihkan Bohemia dari penyerangnya, namun juga menaklukkan Bavaria. Sehingga pada saat memegang kekuasaan sebagai kaisar, ibu kota daerah kekuasaan Karel Albert di Bavaria diduduki oleh musuhnya sendiri.
Pada Februari 1742, pemerintahan Walpole berakhir, dan kamudian dikuasai oleh partai yang menginginkan perang. George II van Groot-Britannië, raja Inggris, mengkhawatirkan keamanan daerah kekuasaannya di Hannover; Lord Stair dikirim ke Den Haag untuk mendesak Republik Belanda agar mau bergabung ke pihak Maria Theresia. Ambasador Perancis di Den Haag juga menawarkan Republik Belanda janji-janji yang mengandung resiko tersendiri, sehingga para direktur pemerintah Republik Belanda, yang terbagi kepada memilih kewajiban yang diberikan Inggris kepada mereka dan ketakutan pada kekuatan militer Perancis, berusaha keras menjaga netralitas sebisa mungkin[7]. Pada bulan Mei 1742, Inggris mendaratkan pasukan 16.000 orang di Ostend untuk memperkuat pasukan pertahanan di benteng-benteng pertahanan utama. Operasi yang dilakukan Inggris ini sangat membantu Maria Theresia menjaga kekuasaannya, terutama perdamaian dengan Prusia dengan melepaskan Silesia. Perjanjian antara Austria dengan Prusia ini ditandatangani di Berlin pada tanggal 28 Juli 1742. Permusuhan dengan Perancis masih terus berlanjut. Meskipun Kekuatan Maritim (Inggris dan Belanda) membantu Austria, namun tidak satupun di antara keduanya terlibat perang dengan Perancis secara resmi hingga akhir tahun 1742.
Kepercayaan Austria terhadap Kekuatan Maritim tidak berlangsung lama. Austria tidak lama setelah itu juga mengkhawatirkan pasukan Inggris di Belanda, yang telah diperkuat dengan sebutan Pragmatic Army, jika meluas penyerangan ke Bavaria dan bergabung dengan kekuatan imperium. Oleh karena itu, pasukan yang dipimpin ole raja George II sendiri, meluaskan penyerangan ke Dettingen. Disini raja diserang oleh pasukan Perancis, namun kemudian diselamatkan oleh pasukannya yang menyerang musuh serta memukul mundur musuh secara total pada tanggal 27 Juni 1743. Sebelumnya Staten-Generaal telah menerima tanggung jawabnya bergabung dengan pihak Maria Theresia. Dan berdasarkan suara terbanyak di Belanda, diputuskan bahwa Belanda akan bergabung dengan Pragmatic Army dengan mengirim 20.000 pasukan di bawah komando Maurits van Nassau-Ouwerkerk.
Keadaan dimana Kekuatan Maritim (Inggris dan Belanda) tidak berperang secara resmi dengan Perancis berakhir ketika pada musim semi 1744 raja Perancis bersama dengan Spanyol mengumumkan perang dengan Inggris. Salah satu proyek perang dipersiapkan di Versailles untuk dikirim dalam ekspedisi menginvasi Inggris. Ketika kabar ini sampai ke Inggris, Inggris kemudian meminta bantuan angkatan laut dari Belanda, sesuai perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Namun dari 20 kapal yang diminta, hanya 8 yang dalam kondisi baik untuk berlayar. Untungnya sebuah badai membubarkan pasukan Perancis sehingga tidak butuh pasukan tambahan dari Belanda.
Kabar bahwa Perancis melalui Marshal Maurits de Saxe akan menginvasi Belanda Austria dengan angkatan darat sebesar 80.000 orang sampai di Belanda dan menjadi ketakutan tersendiri. Memori tahun 1672 menjadi teror bagi Belanda. Akhirnya netralitasnya tidak dapat lagi dipertahankan. Ditambah lagi De Fenelon, ambasador Perancis yang telah bertugas selama 19 tahun di Belanda menarik diri pada tanggal 26 April 1744 untuk memimpin pasukan penginvasi. Belanda pun melakukan usaha dengan mengirim delegasi, yaitu Wassenaer-Twickle ke Paris untuk berunding. Namun raja telah bersama pasukannya di sebuah camp yang terletak antara Lille dan Tournay dan langkah Maurits Saxe pun tidak dapat dihentikan. Akhirnya banyak benteng-benteng utama jatuh satu per satu. Semua bagian barat Flandria dikuasai Perancis. Pasukan sekutu Inggris-Belanda yang berkumpul di Oudenarde semakin lemah untuk bertahan. Secara berangsur-angsur bantuan didatangkan namun Pragmatic Army tetap tidak aktif dan hanya selamat dari serangan invasi Alsace dengan bantuan dari para imperialis. Akhirnya, Flandria, Menin, Courtrai, Ypres, Knocke dan daerah-daerah lainnya beralih ke tangan Perancis[8].
Selama ini Belanda masih bisa menjaga keadaan tidak berperang dengan Perancis. Namun pada tahun 1745 tekanan keadaan menjadi semakin kuat bahkan untuk Van der Heim dan politisi lainnya, juga bagi Aliansi Quadruple antara Inggris, Austria, Republik Belanda dan Saxon untuk menjaga Sanksi Pragmatis. Perkara ini dipersulit oleh deklarasi perang antara Perancis dan Belanda pada bulan Maret 1745. Sementara itu, posisi Austria semakin membaik. Karel Albert meninggal dunia pada 20 Januari 1745, dan penggantinya Maximiliaan III Jozef, membuat perdamaian dengan Maria Theresia untuk mengembalikan kekuasaannya. Maximiliaan III Jozef menarik kembali semua klaim Bavaria atas kekuasaan Austria. Di sisi lain, pemerintahan di Flandria menjadi semakin buruk dengan diserahkannya tentara aliansi kepada Hertog van Cumberland yang kurang bisa mengatasi Maurits de Saxe. Selain itu, kekuasaan atas kontingen Belanda diberikan kepada Pangeran Waldeck.
Provinsi Friesland, Groningen, Overijssel dan Gelderland telah berulang-ulang mendesak bahwa posisi dalam tentara harus diberikan kepada Pangeran Oranje. Staten-Generaal pada tahun 1742 telah menawarkan untuk memberi jabatan letnan jenderal dalam angkatan darat, tetapi Holland dan Zeeland menolaknya. Gerakan tahun 1745 sangat berbahaya. Pertempuran Fontenoy pada 11 Mei berakhir dengan kemenangan Marshal Saxe atas kekuatan aliansi. Kemenangan ini terus berlanjut. Kebangkitan Jacobite di bawah Karel Edward telah memulangkan tidak hanya sebagian besar kekuatan ekspedisi Inggris, tetapi juga 6.000 orang Belanda yang termasuk ke dalam perjanjian antara Inggris dengan Belanda. Sebelum tahun 1745 berakhir, Marshal Saxe telah menguasai Tournay, Brugges, Ghent, Oudenarde, Dendermonde, Ostend, Nieuport, dan Ath, dan setelah melakukan pertahanan yang lama dan pantang menyerah, akhirnya Brussels sendiri terpaksa menyerah pada tanggal 19 Februari 1746[9].
Van der Heim dalam rapat tertutup republik mengenai hubungan luar negeri, dikarenakan kekhawatiran jika angkatan darat Perancis memasuki batas Belanda, memutuskan untuk mengirim delegasi Hertog de Larrey dalam misi rahasia ke Paris pada bulan November 1745. Tujuan dikirimnya delegasi ini adalah untuk menegosiasikan perdamaian dengan Perancis. Namun De Larrey tidak berhasil bernegosiasi. Pada bulan Februari 1746, utusan lain dikirim yaitu Wassenaer dan Jacob Gilles. Menteri Perancis, D’Argenson, tidak sungkan-sungkan mengadakan perundingan dengan mereka, namun perundingan ini tidak memperhatikan peningkatan permusuhan. Angkatan darat sebesar 120.000 orang di bawah komando Marshal Saxe tidak dapat ditahan selama berbulan-bulan. Akhirnya Antwerp, Louvain, Mechlin, Mons, Cherleroi, Huy, dan akhirnya pada 21 September 1746 Namur mengalah pada Perancis[10]. Sebuah pertarungan sengit yang lain juga terjadi dengan kemenangan masih di tangan Perancis. Dalam perang ini Liege diambil dan Perancis menjadi pemimpin Belgia.
Keberhasilan-keberhasilan Perancis membuat para direktur di Den Haag semakin khawatir membuat perdamaian. D’Argenson telah enggan untuk merealisasikan invasi ke teritori Belanda. Ia juga sudah membuat kesepakatan bersama Wassenaer dan Gilles, begitu juga  Van der Heim dengan Abbe de la Ville di Den Haag, bahwa kongres harus diadakan pada bulan Agustus di Breda, dimana Inggris boleh ikut serta. Namun sebelum kongres, Van der Heim meninggal dunia pada 15 Agustus dan digantikan oleh Jacob Gilles. Kongres yang diadakan memberikan progress yang sedikit. Banyak provinsi yang mengecewakan keputusan kongres yang memberikan kerugian dan penghinaan pada Belanda dalam perdamaian. Dalam keputusan itu pihak yang menang adalah Paris; Louis XV memecat D’Argenson; dan perang nantinya akan dibawa ke dalam teritori Belanda.
Menyadari resiko ancaman dari sikap Perancis, maka Aliansi Quadruple mengumpulkan kekuatan sebesar 90.000 orang, yang lebih dari setengahnya merupakan orang Austria. Tetapi pemimpin pasukan yang ditunjuk adalah Hertog van Cumberland, bukannya Karel van Lotharingen. Marshal Saxe mengirim Hertog Loewenthal dengan 20.000 pasukan untuk masuk ke Flandria Belanda. Kemenangan pun diperoleh oleh Marshal dengan tunduknya Sluis, Cadsand dan Axel tanpa oposisi. Hanya pada saat kedatangan skuadron Inggris di Scheldt Zeeland terselamatkan dari invasi.
Berita tentang kejadian tersebut menjadi kegemparan yang luar biasa. Kelahan demi kekalahan menyebabkan dendam terhadap kelemahan pemerintahan Stadhouderloos (tanpa stadhouder) semakin bertambah besar. Gerakan untuk perubahan di tahun 1747 terjadi seperti di tahun 1672, secara tiba-tiba dan komplit. Semua mata langsung tertuju pada Pangeran Oranje sebagai penyelamat negara. Perpindahan mulai terjadi pada 25 April 1747 di Verre dan Middelburg di Pulau Walcheren. Tiga hari kemudian dewan provinsi disana memproklamasikan pangeran stadhouder dan kapten admiral jenderal Zeeland. Holland, provinsi tempat berakarnya pemerintahan stadhouderloos, meniru apa yang dilakukan oleh Zeeland pada 3 Mei 1747; Utrecht melakukan hal yang sama pada 5 Mei 1747; dan Overijssel mengikutinya pada 10 Mari 1747. Staten-Generaal menunjuk Willem menjadi kapten admiral jenderal negara. Willem mewarisi kedaulatan dan otoritas yang telah diciptakan oleh Frederik Henry dan Willem III. Kegembiraan Belanda tercipta ketika Willem mengunjungi Amsterdam, Den Haag, dan Middelburg, untuk mempersiapkan tugas yang berat yang sedang diampunya.
Salah satu perubahan pertama yang dilakukan sebagai hasil dari perubahan pemerintahan adalah penutupan Kongres Breda. Karena kongres ini tidak memberikan peningkatan sama sekali dalam militer Belanda. Angkatan darat aliansi di bawah pimpinan Cumberland dan Waldeck, yang ditujukan untuk mencegah Marshal de Saxe mengepung Maastricht, diserang di Lauffeldt pada tanggal 2 Juli 1747. Penyerangan ini dilawan dengan sangat mendesak, hal yang diinginkan oleh aliansi. Perancis mendapat kesempatan untuk mengklaim meskipun dengan peluang kemenangan yang meragukan. Perancis memberi izin kepada Marshal Saxe untuk mengirim pasukan dibawah komando Loewenthal untuk mengepung benteng Bergen-op-Zoom. Ini membawa pertempuran pada 16 September 1747 yang menyebabkan Brabant Belanda jatuh ke tangan musuh[11].

D Akhir Perang Suksesi Austria dan Dampaknya bagi Nederlanden
Peraturan pengangkatan regen seperti sebelumnya ditentang oleh banyak orang karena telah membawa banyak bencana bagi Belanda. Untuk itu, disuarakan dengan keras bahwa pangeran Oranje harus diberi kekuasaan lebih, yaitu sebagai “tuan agung” negara. Dalam pandangan ini, provinsi Holland mengatur di provinsinya bahwa pergiliran stadhouder dan kapten admiral jenderal didasarkan pada keturunan, dan berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Sistem ini diberlakukan juga oleh provinsi-provinsi lainnya. Staten-Generaal juga melakukan hal yang sama pada jabatan kapten admiral jenderal negara. Jika terjadi kasus penerus perempuan masih kecil, maka digantikan oleh ibunya menjadi regen. Dalam suksesi perempuan, penerus perempuannya harus menikah dengan orang yang diijinkan oleh Staten-Generaal, dengan syarat suaminya tidak boleh seorang raja atau penguasa dan harus beragama protestan.
Berbagai pertimbangan telah diambil Belanda untuk mencegah kerugian pemerintah dan melakukan pengalihan berbagai macam pajak. Untuk itu, sistem kepemilikan juragan yang menghasilkan keuntungan besar ditawarkan kepada pangeran. Tetapi selama menjalankan ini, pangeran Willem menggunakan semua profit untuk keperluan negara, meskipun ini tidak terlalu diperlukan. Willem tidak menginginkan perdamaian dan mengirim Hertog Bentinck ke Inggris untuk mendesak agar Inggris bersama Austria dan Rusia mengadakan perang, yang di dalamnya Belanda akan mengirim 70.000 tentara. Tetapi ketika merealisasikan hal ini, Belanda mengalami kesulitan dalam modal. Provinsi Holland menjadi terbebani karena modal yang diberikannya, sedangkan kontribusi provinsi-provinsi lainnya menunggak. Akhirnya modal tambahan sukarela dari Holland meningkat dari 1% (antara 1000-2000 gulden) menjadi 2%(di atas 2000 gulden) sehingga totalnya menjadi 50.000.000 gulden. Hal ini kemudian terjadi juga pada provinsi-provinsi lainnya dan bahkan Hindia. Pernyataan darurat finansial Belanda sebelum Inggris menyebabkan mereka butuh pinjaman besar jika ingin melanjutkan perang. Keadaan finansial aliansi yang tidak menguntungkan ini memutuskan Inggris untuk mengajukan perdamaian dengan pihak Perancis. Kelelahan berperang menyebabkan Inggris dan Perancis membuat perjanjian untuk perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 30 April 1748 dan dinamai Perjanjian Aix-La-Chapelle[12]. Dalam perjanjian ini Republik Belanda diikutsertakan namun tidak bisa mengelak bahwa beberapa brovinsinya dilepaskan. Dalam perjanjian ini juga Prusia mengembalikan semua daerah yang dikuasainya kepada pemiliknya semula kecuali Silesia[13] Dalam perjanjian tersebut, delegasi Belanda yaitu Bentinck dan Van Haren tidak menggunakan hak suaranya dalam keputusan akhir dan tidak berpengaruh besar. Perancis mengevakuasi Belanda selatan sebagai ganti dari pengembalian koloni Cape Berton yang telah dikuasai Inggris kepada mereka. Kota-kota utama diperbolehkan kembali menerima garnisun Belanda. Namun perizinan ini tidak menguntungkan sama sekali karena benteng-benteng pertahanan Belanda telah dihancurkan dan Republik Belanda juga tidak bisa lagi menambah modal untuk memperkuat pertahanan mereka.
Posisi Willem IV selama ini masih kurang memiliki tanggung jawab terhadap negara. Belum pernah sebelumnya Pangeran Oranje tersebut diberi kekuasaan yang besar. Glamor yang melekat di nama Oranje menjadi aset bagi Willem IV untuk menghadapi kesulitan-kesulitan serius ini dimana pemerintahan yang salah bertahun-tahun telah menenggelamkan Belanda. Rakyat yang pastinya mendukung stadhouder menuntut perubahan yang luar biasa dalam pengembalian stadhouder ini. Mereka akhirnya kecewa dengan revolusi yang tidak tuntas, tidak seperti di tahun 1618, 1650 dan 1672. Willem IV menjalankan tugasnya jauh dari yang dilakukan oleh Maurits, Willem II dan Willem III. Meskipun ia adalah orang yang pintar, baik, rukun dan religius, namun dalam memimpin ia tidak tegas membuat keputusan dan tidak mantap dalam tindakan di masa-masa krisis Belanda waktu itu.
Tugas pertama untuk mengembalikan perdamaian di Belanda tsudah tercapai, namun tidak oleh usaha Belanda sendiri dalam perjanjian Aix-La-Chapel, melainkan karena pemahaman yang diberikan Inggris dan Perancis. Hal itu pun dilakukan mereka demi keamanan mereka sendiri dimana Inggris menginginkan untuk menyerahkan penaklukkan mereka di Amerika Utara sebagai kompensasi dari evakuasi sebagian Belanda dan Belgia yang diduduki Perancis, dan pengembalian benteng-benteng pertahanan.
Setelah perdamaian terwujud, tidak hanya partisan Oranje tetapi juga rakyat yang telah lama berada di luar pemerintahan, merasa apa yang telah mereka lakukan adalah sia-sia sehingga menginginkan perubahan yang drastis di pemerintahan. Mereka telah menawarkan kedaulatan dalam otoritas Willem IV dengan harapan bahwa ia bisa menjadi satu-satunya peran yang menyatukan Belanda dan menghapus hinaan terhadap Belanda. Namun Willem IV tidak pernah mencoba melakukan usaha dari akar hingga ujung sedangkan pemerintahan oligarkinya sangat korup.
Pada tahun 1748, Willem IV yang tidak berpegang pada prinsipnya menyerahkan kebijakannya kepada sekelompok penasehat, pihak oposisinya sendiri. Berkaitan dengan pengalihan pajak, muncul kerusuhan di Amsterdam, Den Haag, Leiden dan Haarlem. Dalam kejadian ini kantor-kantor pemerintah yang korup diserang dan dirampas. Tujuan dari penjarahan ini adalah untuk menjaga penghapusan peraturan pengalihan pajak yang digunakan untuk mengisi kas pejabat pemerintah yang korup. Di Amsterdam perlawanan terhadap dominasi dewan kota oleh beberapa keluarga membawa bentrokan bersenjata dan pertumpahan darah. Kemudian pada bulan September 1748, Pangeran Oranje mengunjungi kota yang bergolak tersebut atas usul Dewan Provinsi. Setelah Dewan Kota terbukti melakukan penolakan untuk mengulur peraturan pengalihan pajak, Willem IV didesak untuk melakukan sesuatu, dan anggota dewan kota pun diberhentikan dari pemerintahan. Willem IV tidak mau memberhentikan semua anggota dewan, tetapi dari 30 orang yang diberhentikan, ia mengembalikan 19 orang di antaranya ke Dewan Kota. Orang-orang yang tinggal di dewan ini diberi gelar “Si Empat Puluh Delapan”.
Setelah perang berakhir, keadaan angkatan darat dan laut Belanda sangat buruk sekali. Willem III sama sekali tidak mempunyai wawasan maupun keterampilan dalam merombak angkatan tersebut. Willem III kemudian meminta bantuan Lodewijk Ernst van Brunswijk. Lodewijk Ernst yang merupakan marsekal perang Austria telah berpengalaman dan unggul dalam berperang. Lodewijk Ernst telah ditawarkan upah sebesar 60.000 gulden dan jaminan posisinya di angkatan darat Austria sejak bulan Oktober 1748. Tetapi ia baru benar-benar melaksanakan tugasnya di Holland pada bulan Desember 1750.
Usaha Pangeran Willem IV memperbaiki kekuasaan laksamana telah ditujukan untuk membuat angkatan laut Belanda lebih efisien dan mengembalikan perdagangan dan industri Belanda, namun usaha ini terganggu oleh kesehatannya. Sepanjang tahun 1750, Willem IV menderita berbagai penyakit dan menjadi semakin lemah. Pada tanggal 22 Oktober 1751, Willem IV meninggal[14].


[1] Habsburg, University of Houston, diakses pada 31 Mei 2015
[2] Karl VI Holy Roman Emperor (1711-1740), University of Houston, diakses pada 31 Mei 2015
[3] Ibid hlm. 2.
[4] Maria Theresia, University of Maine, diakses pada 31 Mei 2015
[5] 18th Century Europe:Military & Diplomatic Events, University of Washington, diakses 31 Mei 2015
[6] War of the Austrian Succession, 1740-48,  Santa Monica College, diakses pada 31 Mei 2015
[7] George Edmundson, History of Holland [London: Cambridge University Press, 1922] hlm.157.
[8] Ibid. hlm. 6.
[9] Ibid. hlm. 6
[10] Ibid. hlm. 6.
[11] Ibid. hlm. 6.
[12] War of the Austrian Succession, Encyclopædia Britannica, diakses pada 31 Mei 2015
[13] Imperial Rivalries of the Long Eighteenth Century, College of Liberal Arts and Science, University of Florida, diakses pada 31 Mei 2015
[14] Ibid. hlm. 7.

No comments: