Hallo iedereen. Hoe gaat het met jullie (Hello everybody, how are you?). Gue mau share lagi nih mumpung lagi moody. Semester 2 lalu gue mengambil mata kuliah "Sejarah Sosial Budaya Belanda". Tugas akhirnya adalah membuat makalah, maklumlah anak kuliah nggak bisa lepas dari yang satu ini. Dan tema yang gue ambil adalah Keterlibatan Belanda pada Perang Suksesi Austria (Habsburg). Berikut gue share pembahasannya saja dari makalah gue. Silahkan membaca bagi yang tertarik.
A. Masa Sebelum Terjadinya Perang Suksesi Austria
Pada tahun 1700, pewaris utama kekaisaran Habsburg telah habis
dengan meninggalnya Karel II dari Spanyol. Hal ini menyebabkan terjadinya Spaanse
Successie Oorlog[1].
Lodewijk XIV dari Perancis mengklaim gelar raja Spanyol untuk anaknya Fillips,
sementara Leopold I mengklaim tahta raja itu untuk anaknya Karel. Pada tahun
1703, Karel dan Jozef, anak Leopold I menandatangani Pakta Suksesi Mutual, yang
menjamin hak suksesi kepada anak-anak perempuan mereka jika benar-benar tidak
ada penerus laki-laki. Yang diutamakan dalam memilih pengganti perempuan adalah
anak Jozef karena ia lebih tua.
Pada tahun 1705, Leopold I meninggal dan digantikan oleh anak
laki-laki tertuanya Jozef I. Enam tahun kemudian, Jozef I meninggal dan
meninggalkan dua anak perempuan, yaitu Maria Jozefa dan Maria Amalia. Karel
kemudian menggantikan Jozef I dengan gelar Karel VI[2]
dan, berdasarkan Pakta Suksesi Mutual, Maria Jozefa menjadi pewaris yang dikira
berhak. Tetapi, Karel kemudian menyatakan keinginan untuk mengamandemen pakta
sebelumnya agar anak perempuannya bisa menjadi pewaris kekuasaannya,
menggantikan keponakannya. Pada tanggal 19 April 1713, kaisar tersebut
mengumumkan perubahan-perubahan pada saat rapat dewan.
Selama 10 tahun Karel VI, dengan bantuan penasehatnya Johan
Christoph von Bartenstein, berusaha membujuk Majelis Eropa untuk menerima
Sanksi Pragmatisnya. Negara yang tidak setuju hanya Saxon dan Bavaria karena
mereka khawatir akan hak keturunan mereka. Untuk itu, pemimpin Saxon, Frederik
Agustus, dinikahkan dengan Maria Jozefa van Oostenrijk dan pemimpin Bavaria,
Karel Albert, dinikahkan dengan Maria Amalia van Oostenrijk. Kedua perempuan
ini adalah anak dari saudara laki-laki Karel, Jozef I.
Selain itu, agar Sanksi Pragmatis mendapat persetujuan, kepada
Perancis diberikan daerah Lotharingen pada saat Perjanjian Vienna tahun 1738.
Dalam Perjanjian Vienna tahun 1738, pengakuan dari Spanyol juga didapatkan.
Inggris mengakui Sanksi Pragmatis dengan imbalan diberhentikannya operasi
perusahaan Ostend. Sementara itu, Frederik I van Pruisen menunjukkan
kesetiaannya kepada Karel VI. Karel VI juga membuat kesepakatan dengan Rusia
dan Saxon yang membawa dua perang: Perang Suksesi Polandia melawan Perancis dan
Spanyol, yang memberinya Napel dan Sisilia, dan Perang Austro-Rusia-Turki yang
memberinya wilayah Wallachia Kecil dan Serbia bagian utara, termasuk Benteng
Belgrade.
Akhirnya, semua wilayah dalam Eropa yang terdiri dari Saxon,
Bavaria, Spanyol, Rusia, Prusia, Hannover-Inggris, Perancis, Inggris serta
beberapa negara lainnya menyetujui diberlakukannya Sanksi Pragmatis[3]
B. Awal Munculnya Perang Suksesi Austria
Pada tanggal 20 Oktober 1740, Karel VI meninggal dunia dan
posisinya sebagai kaisar Habsburg digantikan oleh anak perempuan pertamanya
yaitu Maria Theresia van Oostenrijk[4].
Sedangkan kedudukannya sebagai Kaisar Romawi Suci digantikan oleh Karel Albert
van Beieren, seorang pemimpin dari Bavaria dan menantu dari saudara
laki-lakinya Jozef I, pada tanggal 12 Februari 1742 dengan gelar Karel VII. Hal
ini dimungkinkan karena tahta Kaisar Romawi Suci tidak dipergilirkan lewat
keturunan, melainkan pemilihan. Anak perempuan Karel VI yang satu lagi, Maria
Anna van Oostenrijk, diangkat menjadi gubernur di Belanda Austria (Belgia
sekarang) menggantikan bibinya Maria Elisabeth van Oostenrijk yang meninggal
dunia pada tahun 1741.
Setelah kematian Karel VI ini, banyak masalah yang dihadapi Maria
Theresia selama masa pemerintahannya. Hal ini karena banyaknya negara-negara
yang awalnya setuju dengan Sanksi Pragmatis 1713 kemudian melanggarnya untuk
membagi-bagi kekuasaan Maria Theresia yang diwarisi dari ayahnya Karel VI
meliputi Austria, Hungaria, Belanda Austria, Kroasia, Milan, Mantua, Parma,
Lodomeria dan Galicia. Melalui pernikahannya Maria Theresia juga menjadi
penguasa di Lorraine dan Tuscany serta menjadi isteri Kaisar Romawi Suci,
Francis I. Negara-negara yang melanggar Sanksi Pragmatis tersebut adalah
Perancis, Prusia, Saxon dan Bavaria.
Orang yang paling menentang Sanksi Pragmatis 1713 sekaligus
menentang Maria Theresia adalah Karel Albert van Beieren. Karel Albert
mengklaim haknya dalam tahta kaisar Habsburg dengan memanfaatkan posisinya
sebagai alasan, yaitu posisinya sebagai menantu laki-laki dari Jozef I. Tidak
hanya itu, Karel Albert juga menuntut kekuasaan melalui posisinya sebagai
keturunan laki-laki terdekat dari Ferdinand I. Ternyata, penentangan yang
dilakukan Karel Albert mendapat dukungan tak terduga dari penguasa Prusia, Frederik
II.
Frederik II van Pruisen menentang Sanksi Pragmatis karena ingin
melakukan ekspansi wilayah setelah menggantikan ayahnya Frederik Willem I.
Dengan menjaga kecurigaan dari pihak Vienna, Frederick II menyerang dan
menguasai Silesia pada Desember 1740[5].
Tindakan Frederik II ini membantu ambisi Karel Albert untuk mendapatkan wilayah
kekuasaan Habsburg. Akhirnya Karel Albert mendapatkan gelar raja di Bohemia.
Tindakan Frederik II ini mengawali terjadinya serangkaian perang dalam Perang
Suksesi Austria.
C. Masa Perang Suksesi Austria dan Peran Nederlanden di Dalamnya
Sebagai tanggapan dari perampasan Silesia oleh Frederik II, Maria
Theresia meminta penjamin Sanksi Pragmatis untuk mengambil tindakan. Namun
Maria Theresia tidak mendapatkan respon dari penjamin tersebut. Sementara itu,
permusuhan tersembunyi muncul dari Spanyol, Perancis dan Sardinia. Inggris yang
sudah berperang dengan Spanyol sejak 1738 dan juga takut akan intervensi dari
Perancis meminta Maria Theresia melakukan diplomasi. Untuk Republik Belanda,
ketakutan terbesar dalam kondisi itu adalah jika ikut terlibat ke dalam
peperangan. Jadi, saat itu Republik Belanda menjaga netralitasnya.
Untuk menjaga netralitasnya, Republik Belanda menambahkan 11.000
tentara ke dalam angkatan daratnya. Kemudian penambahan kembali sebesar 20.000
tentara dilakukan karena kekhawatiran terhadap serangan dari Belanda Austria. Benteng
dan pasukan pertahanan di kota-kota utama diperkuat dan angkatan laut juga
ditambah. Akan tetapi, dalam pemerintah negara, Republik Belanda masih
ragu-ragu. Partai republik, yang memegang kendali kekuatan, pada dasarnya
memilih untuk tetap menjaga perdamaian, namun juga takut akan kekuatan
Perancis. Di pihak lain, oposisi Oranje menginginkan bergabung dengan Inggris
yang disokong oleh Maria Theresia. Namun demikian, stadhouder tidak
menentukan sikap dalam hal ini. Republik Belanda juga tidak mendapat desakan
yang kuat dari Inggris, dimana Walpole masih giat dalam kebijakan pasifik.
Pada bulan Mei 1741 di Nymphenburg, Perancis mengumumkan
pembentukan persekutuan bersama dengan Spanyol, Sardinia, Polandia, Prusia,
Saxon dan Bavaria[6].
Persekutuan ini dibuat untuk menumbangkan kekuasaan Maria Theresia agar
kemudian membagi-bagikan wilayah kekuasaannya. Pasukan darat Franco-Beieren
masuk beberapa mil ke dalam kota Vienna, dan melampaui Bohemia. Karel Albert
kemudian diangkat menjadi Raja Bohemia, dan pada Januari 1742 juga terpilih
menjadi Kaisar Romawi Suci dengan gelar Karel VII.
Sebelum pemilihan ini, sebenarnya mediasi yang dilakukan Inggris
telah berhasil menghasilkan konvensi Klein-Schnellendorf untuk meredakan
permusuhan antara Austria dan Prusia. Hal ini memberikan hak atas Silesia
kepada Prusia. Namun, memungkinkan Maria Theresia dengan bantuan Inggris dan
Republik Belanda, tidak hanya untuk membersihkan Bohemia dari penyerangnya,
namun juga menaklukkan Bavaria. Sehingga pada saat memegang kekuasaan sebagai
kaisar, ibu kota daerah kekuasaan Karel Albert di Bavaria diduduki oleh
musuhnya sendiri.
Pada Februari 1742, pemerintahan Walpole berakhir, dan kamudian
dikuasai oleh partai yang menginginkan perang. George II van Groot-Britannië,
raja Inggris, mengkhawatirkan keamanan daerah kekuasaannya di Hannover; Lord
Stair dikirim ke Den Haag untuk mendesak Republik Belanda agar mau bergabung ke
pihak Maria Theresia. Ambasador Perancis di Den Haag juga menawarkan Republik
Belanda janji-janji yang mengandung resiko tersendiri, sehingga para direktur
pemerintah Republik Belanda, yang terbagi kepada memilih kewajiban yang
diberikan Inggris kepada mereka dan ketakutan pada kekuatan militer Perancis,
berusaha keras menjaga netralitas sebisa mungkin[7].
Pada bulan Mei 1742, Inggris mendaratkan pasukan 16.000 orang di Ostend untuk
memperkuat pasukan pertahanan di benteng-benteng pertahanan utama. Operasi yang
dilakukan Inggris ini sangat membantu Maria Theresia menjaga kekuasaannya,
terutama perdamaian dengan Prusia dengan melepaskan Silesia. Perjanjian antara
Austria dengan Prusia ini ditandatangani di Berlin pada tanggal 28 Juli 1742.
Permusuhan dengan Perancis masih terus berlanjut. Meskipun Kekuatan Maritim
(Inggris dan Belanda) membantu Austria, namun tidak satupun di antara keduanya
terlibat perang dengan Perancis secara resmi hingga akhir tahun 1742.
Kepercayaan Austria terhadap Kekuatan Maritim tidak berlangsung
lama. Austria tidak lama setelah itu juga mengkhawatirkan pasukan Inggris di
Belanda, yang telah diperkuat dengan sebutan Pragmatic Army, jika meluas
penyerangan ke Bavaria dan bergabung dengan kekuatan imperium. Oleh karena itu,
pasukan yang dipimpin ole raja George II sendiri, meluaskan penyerangan ke
Dettingen. Disini raja diserang oleh pasukan Perancis, namun kemudian
diselamatkan oleh pasukannya yang menyerang musuh serta memukul mundur musuh
secara total pada tanggal 27 Juni 1743. Sebelumnya Staten-Generaal telah
menerima tanggung jawabnya bergabung dengan pihak Maria Theresia. Dan
berdasarkan suara terbanyak di Belanda, diputuskan bahwa Belanda akan bergabung
dengan Pragmatic Army dengan mengirim 20.000 pasukan di bawah komando
Maurits van Nassau-Ouwerkerk.
Keadaan dimana Kekuatan Maritim (Inggris dan Belanda) tidak
berperang secara resmi dengan Perancis berakhir ketika pada musim semi 1744
raja Perancis bersama dengan Spanyol mengumumkan perang dengan Inggris. Salah
satu proyek perang dipersiapkan di Versailles untuk dikirim dalam ekspedisi
menginvasi Inggris. Ketika kabar ini sampai ke Inggris, Inggris kemudian
meminta bantuan angkatan laut dari Belanda, sesuai perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya. Namun dari 20 kapal yang diminta, hanya 8 yang dalam kondisi baik
untuk berlayar. Untungnya sebuah badai membubarkan pasukan Perancis sehingga
tidak butuh pasukan tambahan dari Belanda.
Kabar bahwa Perancis melalui Marshal Maurits de Saxe akan
menginvasi Belanda Austria dengan angkatan darat sebesar 80.000 orang sampai di
Belanda dan menjadi ketakutan tersendiri. Memori tahun 1672 menjadi teror bagi
Belanda. Akhirnya netralitasnya tidak dapat lagi dipertahankan. Ditambah lagi
De Fenelon, ambasador Perancis yang telah bertugas selama 19 tahun di Belanda
menarik diri pada tanggal 26 April 1744 untuk memimpin pasukan penginvasi.
Belanda pun melakukan usaha dengan mengirim delegasi, yaitu Wassenaer-Twickle
ke Paris untuk berunding. Namun raja telah bersama pasukannya di sebuah camp
yang terletak antara Lille dan Tournay dan langkah Maurits Saxe pun tidak dapat
dihentikan. Akhirnya banyak benteng-benteng utama jatuh satu per satu. Semua
bagian barat Flandria dikuasai Perancis. Pasukan sekutu Inggris-Belanda yang
berkumpul di Oudenarde semakin lemah untuk bertahan. Secara berangsur-angsur
bantuan didatangkan namun Pragmatic Army tetap tidak aktif dan hanya
selamat dari serangan invasi Alsace dengan bantuan dari para imperialis.
Akhirnya, Flandria, Menin, Courtrai, Ypres, Knocke dan daerah-daerah lainnya
beralih ke tangan Perancis[8].
Selama ini Belanda masih bisa menjaga keadaan tidak berperang
dengan Perancis. Namun pada tahun 1745 tekanan keadaan menjadi semakin kuat
bahkan untuk Van der Heim dan politisi lainnya, juga bagi Aliansi Quadruple antara
Inggris, Austria, Republik Belanda dan Saxon untuk menjaga Sanksi Pragmatis.
Perkara ini dipersulit oleh deklarasi perang antara Perancis dan Belanda pada
bulan Maret 1745. Sementara itu, posisi Austria semakin membaik. Karel Albert
meninggal dunia pada 20 Januari 1745, dan penggantinya Maximiliaan III Jozef,
membuat perdamaian dengan Maria Theresia untuk mengembalikan kekuasaannya.
Maximiliaan III Jozef menarik kembali semua klaim Bavaria atas kekuasaan
Austria. Di sisi lain, pemerintahan di Flandria menjadi semakin buruk dengan
diserahkannya tentara aliansi kepada Hertog van Cumberland yang kurang bisa
mengatasi Maurits de Saxe. Selain itu, kekuasaan atas kontingen Belanda
diberikan kepada Pangeran Waldeck.
Provinsi Friesland, Groningen, Overijssel dan Gelderland telah
berulang-ulang mendesak bahwa posisi dalam tentara harus diberikan kepada
Pangeran Oranje. Staten-Generaal pada tahun 1742 telah menawarkan untuk
memberi jabatan letnan jenderal dalam angkatan darat, tetapi Holland dan
Zeeland menolaknya. Gerakan tahun 1745 sangat berbahaya. Pertempuran Fontenoy
pada 11 Mei berakhir dengan kemenangan Marshal Saxe atas kekuatan aliansi.
Kemenangan ini terus berlanjut. Kebangkitan Jacobite di bawah Karel Edward
telah memulangkan tidak hanya sebagian besar kekuatan ekspedisi Inggris, tetapi
juga 6.000 orang Belanda yang termasuk ke dalam perjanjian antara Inggris
dengan Belanda. Sebelum tahun 1745 berakhir, Marshal Saxe telah menguasai
Tournay, Brugges, Ghent, Oudenarde, Dendermonde, Ostend, Nieuport, dan Ath, dan
setelah melakukan pertahanan yang lama dan pantang menyerah, akhirnya Brussels
sendiri terpaksa menyerah pada tanggal 19 Februari 1746[9].
Van der Heim dalam rapat tertutup republik mengenai hubungan luar
negeri, dikarenakan kekhawatiran jika angkatan darat Perancis memasuki batas
Belanda, memutuskan untuk mengirim delegasi Hertog de Larrey dalam misi rahasia
ke Paris pada bulan November 1745. Tujuan dikirimnya delegasi ini adalah untuk
menegosiasikan perdamaian dengan Perancis. Namun De Larrey tidak berhasil
bernegosiasi. Pada bulan Februari 1746, utusan lain dikirim yaitu Wassenaer dan
Jacob Gilles. Menteri Perancis, D’Argenson, tidak sungkan-sungkan mengadakan
perundingan dengan mereka, namun perundingan ini tidak memperhatikan peningkatan
permusuhan. Angkatan darat sebesar 120.000 orang di bawah komando Marshal Saxe
tidak dapat ditahan selama berbulan-bulan. Akhirnya Antwerp, Louvain, Mechlin,
Mons, Cherleroi, Huy, dan akhirnya pada 21 September 1746 Namur mengalah pada
Perancis[10].
Sebuah pertarungan sengit yang lain juga terjadi dengan kemenangan masih di
tangan Perancis. Dalam perang ini Liege diambil dan Perancis menjadi pemimpin
Belgia.
Keberhasilan-keberhasilan Perancis membuat para direktur di Den
Haag semakin khawatir membuat perdamaian. D’Argenson telah enggan untuk
merealisasikan invasi ke teritori Belanda. Ia juga sudah membuat kesepakatan
bersama Wassenaer dan Gilles, begitu juga Van der Heim dengan Abbe de la Ville di Den
Haag, bahwa kongres harus diadakan pada bulan Agustus di Breda, dimana Inggris
boleh ikut serta. Namun sebelum kongres, Van der Heim meninggal dunia pada 15
Agustus dan digantikan oleh Jacob Gilles. Kongres yang diadakan memberikan progress
yang sedikit. Banyak provinsi yang mengecewakan keputusan kongres yang
memberikan kerugian dan penghinaan pada Belanda dalam perdamaian. Dalam
keputusan itu pihak yang menang adalah Paris; Louis XV memecat D’Argenson; dan
perang nantinya akan dibawa ke dalam teritori Belanda.
Menyadari resiko ancaman dari sikap Perancis, maka Aliansi
Quadruple mengumpulkan kekuatan sebesar 90.000 orang, yang lebih dari
setengahnya merupakan orang Austria. Tetapi pemimpin pasukan yang ditunjuk
adalah Hertog van Cumberland, bukannya Karel van Lotharingen. Marshal Saxe
mengirim Hertog Loewenthal dengan 20.000 pasukan untuk masuk ke Flandria
Belanda. Kemenangan pun diperoleh oleh Marshal dengan tunduknya Sluis, Cadsand
dan Axel tanpa oposisi. Hanya pada saat kedatangan skuadron Inggris di Scheldt
Zeeland terselamatkan dari invasi.
Berita tentang kejadian tersebut menjadi kegemparan yang luar
biasa. Kelahan demi kekalahan menyebabkan dendam terhadap kelemahan
pemerintahan Stadhouderloos (tanpa stadhouder) semakin bertambah besar.
Gerakan untuk perubahan di tahun 1747 terjadi seperti di tahun 1672, secara
tiba-tiba dan komplit. Semua mata langsung tertuju pada Pangeran Oranje sebagai
penyelamat negara. Perpindahan mulai terjadi pada 25 April 1747 di Verre dan
Middelburg di Pulau Walcheren. Tiga hari kemudian dewan provinsi disana
memproklamasikan pangeran stadhouder dan kapten admiral jenderal
Zeeland. Holland, provinsi tempat berakarnya pemerintahan stadhouderloos,
meniru apa yang dilakukan oleh Zeeland pada 3 Mei 1747; Utrecht melakukan hal
yang sama pada 5 Mei 1747; dan Overijssel mengikutinya pada 10 Mari 1747. Staten-Generaal
menunjuk Willem menjadi kapten admiral jenderal negara. Willem mewarisi
kedaulatan dan otoritas yang telah diciptakan oleh Frederik Henry dan Willem
III. Kegembiraan Belanda tercipta ketika Willem mengunjungi Amsterdam, Den
Haag, dan Middelburg, untuk mempersiapkan tugas yang berat yang sedang
diampunya.
Salah satu perubahan pertama yang dilakukan sebagai hasil dari
perubahan pemerintahan adalah penutupan Kongres Breda. Karena kongres ini tidak
memberikan peningkatan sama sekali dalam militer Belanda. Angkatan darat
aliansi di bawah pimpinan Cumberland dan Waldeck, yang ditujukan untuk mencegah
Marshal de Saxe mengepung Maastricht, diserang di Lauffeldt pada tanggal 2 Juli
1747. Penyerangan ini dilawan dengan sangat mendesak, hal yang diinginkan oleh
aliansi. Perancis mendapat kesempatan untuk mengklaim meskipun dengan peluang
kemenangan yang meragukan. Perancis memberi izin kepada Marshal Saxe untuk
mengirim pasukan dibawah komando Loewenthal untuk mengepung benteng
Bergen-op-Zoom. Ini membawa pertempuran pada 16 September 1747 yang menyebabkan
Brabant Belanda jatuh ke tangan musuh[11].
D Akhir Perang Suksesi Austria dan Dampaknya bagi Nederlanden
Peraturan pengangkatan regen seperti sebelumnya ditentang oleh
banyak orang karena telah membawa banyak bencana bagi Belanda. Untuk itu,
disuarakan dengan keras bahwa pangeran Oranje harus diberi kekuasaan lebih,
yaitu sebagai “tuan agung” negara. Dalam pandangan ini, provinsi Holland
mengatur di provinsinya bahwa pergiliran stadhouder dan kapten admiral
jenderal didasarkan pada keturunan, dan berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Sistem ini diberlakukan juga oleh provinsi-provinsi lainnya. Staten-Generaal
juga melakukan hal yang sama pada jabatan kapten admiral jenderal negara. Jika
terjadi kasus penerus perempuan masih kecil, maka digantikan oleh ibunya
menjadi regen. Dalam suksesi perempuan, penerus perempuannya harus menikah
dengan orang yang diijinkan oleh Staten-Generaal, dengan syarat suaminya
tidak boleh seorang raja atau penguasa dan harus beragama protestan.
Berbagai pertimbangan telah diambil Belanda untuk mencegah kerugian
pemerintah dan melakukan pengalihan berbagai macam pajak. Untuk itu, sistem
kepemilikan juragan yang menghasilkan keuntungan besar ditawarkan kepada
pangeran. Tetapi selama menjalankan ini, pangeran Willem menggunakan semua
profit untuk keperluan negara, meskipun ini tidak terlalu diperlukan. Willem
tidak menginginkan perdamaian dan mengirim Hertog Bentinck ke Inggris untuk
mendesak agar Inggris bersama Austria dan Rusia mengadakan perang, yang di
dalamnya Belanda akan mengirim 70.000 tentara. Tetapi ketika merealisasikan hal
ini, Belanda mengalami kesulitan dalam modal. Provinsi Holland menjadi
terbebani karena modal yang diberikannya, sedangkan kontribusi
provinsi-provinsi lainnya menunggak. Akhirnya modal tambahan sukarela dari
Holland meningkat dari 1% (antara 1000-2000 gulden) menjadi 2%(di atas 2000
gulden) sehingga totalnya menjadi 50.000.000 gulden. Hal ini kemudian terjadi
juga pada provinsi-provinsi lainnya dan bahkan Hindia. Pernyataan darurat
finansial Belanda sebelum Inggris menyebabkan mereka butuh pinjaman besar jika
ingin melanjutkan perang. Keadaan finansial aliansi yang tidak menguntungkan
ini memutuskan Inggris untuk mengajukan perdamaian dengan pihak Perancis. Kelelahan
berperang menyebabkan Inggris dan Perancis membuat perjanjian untuk perdamaian
yang ditandatangani pada tanggal 30 April 1748 dan dinamai Perjanjian
Aix-La-Chapelle[12].
Dalam perjanjian ini Republik Belanda diikutsertakan namun tidak bisa mengelak
bahwa beberapa brovinsinya dilepaskan. Dalam perjanjian ini juga Prusia
mengembalikan semua daerah yang dikuasainya kepada pemiliknya semula kecuali
Silesia[13]
Dalam perjanjian tersebut, delegasi Belanda yaitu Bentinck dan Van Haren tidak
menggunakan hak suaranya dalam keputusan akhir dan tidak berpengaruh besar.
Perancis mengevakuasi Belanda selatan sebagai ganti dari pengembalian koloni
Cape Berton yang telah dikuasai Inggris kepada mereka. Kota-kota utama
diperbolehkan kembali menerima garnisun Belanda. Namun perizinan ini tidak
menguntungkan sama sekali karena benteng-benteng pertahanan Belanda telah
dihancurkan dan Republik Belanda juga tidak bisa lagi menambah modal untuk
memperkuat pertahanan mereka.
Posisi Willem IV selama ini masih kurang memiliki tanggung jawab
terhadap negara. Belum pernah sebelumnya Pangeran Oranje tersebut diberi
kekuasaan yang besar. Glamor yang melekat di nama Oranje menjadi aset bagi
Willem IV untuk menghadapi kesulitan-kesulitan serius ini dimana pemerintahan
yang salah bertahun-tahun telah menenggelamkan Belanda. Rakyat yang pastinya
mendukung stadhouder menuntut perubahan yang luar biasa dalam pengembalian
stadhouder ini. Mereka akhirnya kecewa dengan revolusi yang tidak tuntas, tidak
seperti di tahun 1618, 1650 dan 1672. Willem IV menjalankan tugasnya jauh dari
yang dilakukan oleh Maurits, Willem II dan Willem III. Meskipun ia adalah orang
yang pintar, baik, rukun dan religius, namun dalam memimpin ia tidak tegas
membuat keputusan dan tidak mantap dalam tindakan di masa-masa krisis Belanda
waktu itu.
Tugas pertama untuk mengembalikan perdamaian di Belanda tsudah
tercapai, namun tidak oleh usaha Belanda sendiri dalam perjanjian
Aix-La-Chapel, melainkan karena pemahaman yang diberikan Inggris dan Perancis.
Hal itu pun dilakukan mereka demi keamanan mereka sendiri dimana Inggris
menginginkan untuk menyerahkan penaklukkan mereka di Amerika Utara sebagai
kompensasi dari evakuasi sebagian Belanda dan Belgia yang diduduki Perancis,
dan pengembalian benteng-benteng pertahanan.
Setelah perdamaian terwujud, tidak hanya partisan Oranje tetapi
juga rakyat yang telah lama berada di luar pemerintahan, merasa apa yang telah
mereka lakukan adalah sia-sia sehingga menginginkan perubahan yang drastis di
pemerintahan. Mereka telah menawarkan kedaulatan dalam otoritas Willem IV
dengan harapan bahwa ia bisa menjadi satu-satunya peran yang menyatukan Belanda
dan menghapus hinaan terhadap Belanda. Namun Willem IV tidak pernah mencoba
melakukan usaha dari akar hingga ujung sedangkan pemerintahan oligarkinya
sangat korup.
Pada tahun 1748, Willem IV yang tidak berpegang pada prinsipnya
menyerahkan kebijakannya kepada sekelompok penasehat, pihak oposisinya sendiri.
Berkaitan dengan pengalihan pajak, muncul kerusuhan di Amsterdam, Den Haag,
Leiden dan Haarlem. Dalam kejadian ini kantor-kantor pemerintah yang korup
diserang dan dirampas. Tujuan dari penjarahan ini adalah untuk menjaga
penghapusan peraturan pengalihan pajak yang digunakan untuk mengisi kas pejabat
pemerintah yang korup. Di Amsterdam perlawanan terhadap dominasi dewan kota
oleh beberapa keluarga membawa bentrokan bersenjata dan pertumpahan darah. Kemudian
pada bulan September 1748, Pangeran Oranje mengunjungi kota yang bergolak
tersebut atas usul Dewan Provinsi. Setelah Dewan Kota terbukti melakukan
penolakan untuk mengulur peraturan pengalihan pajak, Willem IV didesak untuk
melakukan sesuatu, dan anggota dewan kota pun diberhentikan dari pemerintahan.
Willem IV tidak mau memberhentikan semua anggota dewan, tetapi dari 30 orang
yang diberhentikan, ia mengembalikan 19 orang di antaranya ke Dewan Kota.
Orang-orang yang tinggal di dewan ini diberi gelar “Si Empat Puluh Delapan”.
Setelah perang berakhir, keadaan angkatan darat dan laut Belanda
sangat buruk sekali. Willem III sama sekali tidak mempunyai wawasan maupun
keterampilan dalam merombak angkatan tersebut. Willem III kemudian meminta
bantuan Lodewijk Ernst van Brunswijk. Lodewijk Ernst yang merupakan marsekal
perang Austria telah berpengalaman dan unggul dalam berperang. Lodewijk Ernst
telah ditawarkan upah sebesar 60.000 gulden dan jaminan posisinya di angkatan
darat Austria sejak bulan Oktober 1748. Tetapi ia baru benar-benar melaksanakan
tugasnya di Holland pada bulan Desember 1750.
Usaha Pangeran Willem IV memperbaiki kekuasaan laksamana telah
ditujukan untuk membuat angkatan laut Belanda lebih efisien dan mengembalikan
perdagangan dan industri Belanda, namun usaha ini terganggu oleh kesehatannya. Sepanjang
tahun 1750, Willem IV menderita berbagai penyakit dan menjadi semakin lemah. Pada
tanggal 22 Oktober 1751, Willem IV meninggal[14].
[1] Habsburg, University of Houston, diakses pada 31 Mei 2015
[2] Karl VI Holy Roman Emperor (1711-1740), University of Houston,
diakses pada 31 Mei 2015
[3] Ibid hlm. 2.
[4] Maria Theresia, University of Maine, diakses pada 31 Mei 2015
[5] 18th Century Europe:Military & Diplomatic Events,
University of Washington, diakses 31 Mei 2015
[6] War of the Austrian Succession, 1740-48, Santa Monica College, diakses pada 31 Mei
2015
[7] George Edmundson, History of Holland [London: Cambridge University
Press, 1922] hlm.157.
[8] Ibid. hlm. 6.
[9] Ibid. hlm. 6
[10] Ibid. hlm. 6.
[11] Ibid. hlm. 6.
[12] War of the Austrian Succession, Encyclopædia Britannica,
diakses pada 31 Mei 2015
[13] Imperial Rivalries of the Long Eighteenth Century, College of
Liberal Arts and Science, University of Florida, diakses pada 31 Mei 2015
[14] Ibid. hlm. 7.
No comments:
Post a Comment