Monday, January 30, 2017

Polemik Kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana

Analisis Buku Polemik Kebudayaan
Kamis, 31 Maret 2016
Nama   : Tomi Tri Anggara
NPM   : 1406538076

Dalam buku Polemik Kebudayaan, Achdiat K. Mihardja mengumpulkan tulisan-tulisan dari penulis dan para ahli, baik di bidang kebudayaan maupun tidak, yang dimuat dalam berbagai terbitan seperti Suara Umum dan Pujangga Baru pada tahun 1935. Tulisan-tulisan yang berpusat pada Sutan Takdir Alisjahbana tersebut berbicara tentang kebudayaan Indonesia yang memunculkan beberapa polemik. Ketiga polemik itu adalah mengenai:
1.      Masyarakat dan Kebudayaan Baru
2.      Pendidikan Nasional
3.      Peran Pendidikan dalam Pembangunan Bangsa

A.    Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia yang Baru
Pada polemik pertama, Sutan Takdir Alisjahbana dan yang lainnya memperdebatkan masalah kebudayaan Indonesia yang baru. Hal ini sangat cocok dibahas pada saat itu, yaitu tahun 1935, mengingat Indonesia sedang berada pada masa kebangkitan dan pergerakan.
Dalam hal ini, Sutan Takdir Alisjahbana membagi sejarah menjadi zaman pra-Indonesia dan zaman Indonesia. Zaman pra-Indonesia merujuk kepada zaman sebelum adanya semangat kemerdekaan – zaman kerajaan, sedangkan zaman Indonesia ditandai dengan mulai munculnya semangat nasionalisme pada abad kedua puluh. Menurut Alisjahbana, zaman Indonesia adalah zaman yang baru dan tidak merupakan kelanjutan dari zaman pra-Indonesia. Dari sinilah sebenarnya polemik ini muncul: zaman yang baru membutuhkan kebudayaan yang baru.
Pendapat Sutan Takdir ini ditentang oleh Sanusi Pane, yang mengatakan bahwa sejarah itu selalu berlanjut.  Jadi, apa yang dikatakan oleh Sutan Takdir menurutnya adalah salah. Indonesia haruslah lanjutan dari pra-Indonesia. Sanusi Pane juga mengatakan bahwa keindonesiaan sudah ada dari dulu, sebelum pra-Indonesia, pada masa kerajaan-kerajaan dahulu.
Sutan Takdir yang sebelumnya sedikit gegabah dengan ketidak berlanjutan pra-Indonesianya kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud baru adalah semangat keindonesiaan. Pendapat ini terlihat sangat realistis karena memang semangat keindonesiaan yang benar-benar disadari itu baru muncul pada abad ke-20. Sedangkan sebelumnya Indonesia masih terbagi-bagi dalam kerajaan atau residensi tertentu. Di lain sisi, Sutan Takdir membenarkan bahwa memang ada unsur-unsur pra-Indonesia dalam Indonesia. Meskipun unsur-unsur itu tidak harus ada dalam kebudayaan baru.
Penjelasan kembali oleh Sutan Takdir ini terlihat tidak konsisten oleh Purbatjaraka. Sependapat dengan Sanusi Pane, dia menyatakan sejarah memang selalu berkelanjutan. Akhirnya Sutan Takdir kembali menjelaskan bahwa sejarah memang berkelanjutan di satu sisi, dan di sisi lain keberlanjutan itu tidak ada, ada sesuatu yang kadang terputus dan digantikan oleh hal yang baru. Dan semangat keindonesiaan adalah sesuatu yang baru muncul pada masa Indonesia.
Dalam kebudayaan Indonesia yang baru, Sutan Takdir berpendapat bahwa kebudayaan itu haruslah sesuatu yang benar-benar baru yang dirumuskan sendiri oleh bangsa Indonesia. Kemudian dalam perumusan kebudayaan baru tersebut, Sutan Takdir menegaskan bahwa kita harus terbebas dari kebudayaan pra-Indonesia. Karena jika kita bertumpu pada kebudayaan lama yang beragam di Indonesia, maka akan sulit untuk menyatukannya. Dan tidak dipungkiri akan terjadi perselisihan. Jadi, menurut Sutan Takdir, kita harus melihat ke depan, bukan memandang masa lalu. Selain itu, dia juga menyatakan bahwa Indonesia harus meniru kedinamisan masyarakat Barat agar lebih maju. Dari sini dapat kita lihat Sutan Takdir sangat futuristik dalam pemikirannya tentang kebudayaan Indonesia.
Sanusi Pane agak kurang setuju dengan hal tersebut. Karena menurutnya Indonesia itu haruslah memiliki kebudayaan mistik, menyatu dengan alam, dan melepaskan jasmani. Sedangkan Barat, menurutnya hanya mementingkan materi dan bersifat individualistis. Sanusi Pane berpendapat bahwa materialisme dan individualisme itu tidak perlu di Indonesia. Lalu, untuk kebudayaan Indonesia, dia lebih memilih untuk mempertahankan budaya asli pra-Indonesia dan memperluasnya dengan budaya Barat. Pendapat Sanusi Pane ini jelas sekali menempatkan kebudayaan asli (pra-Indonesia) sebagai prioritas.
Senada dengan itu, Purbatjaraka juga melihat ke masa lampau (pra-Indonesia). Berbeda dengan Sutan Takdir yang dengan tegas bersifat futuristik. Bagi Purbatjaraka, perjalanan sejarah adalah akar dari kebudayaan baru. Menurut Purbatjaraka, kita tidak harus melulu mengejar Barat, juga jangan mabuk budaya kuno, tetapi mencari mana yang terbaik dari keduanya. Pendapatnya ini terdengar netral.
Dalam polemik pertama ini, Sutan Takdir sangat kukuh pada pendiriannya bahwa Indonesia harus mengejar kemajuan barat. Pernyataan yang terdengar ekstrim ini bagi sebagian orang mungkin dimaknai sebagai ungkapan pro kebudayaan Barat. Tetapi Sutan Takdir dengan tegas menyatakan bahwa yang kita contoh bukanlah kebudayaan barat, tetapi kedinamisan masyarakatnya yang mengantarkan mereka mencapai kemajuan tersebut. Sudah seharusnya Indonesia menyadari dinamisnya kebudayaan. Jadi, kebudayaan baru Indonesia harusnya dibuat dengan berakarkan pada kebutuhan di masa depan, bukan masa lampau. Selain itu, pendapatnya bahwa kita harus bebas dari kebudayaan lama juga bukan berarti kita harus melupakan sama sekali hal tersebut, tetapi itu berarti kita tidak harus terikat darinya.

B.     Semboyan yang Tegas untuk Pendidikan Indonesia
Kemunculan polemik kedua ini diawali dengan pendapat Sutan Takdir Alisjahbana menanggapi hasil Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia tahun 1935.
Dalam komentarnya, Sutan Takdir mengatakan bahwa sifat kehati-hatian bangsa Indonesia yang berlebihan cenderung berbuah anti-intelektualisme, anti-individualisme, anti-egoisme dan anti-materialisme. Hal itu dirasakan Sutan Takdir dalam kongres tersebut. Dan tentunya dia tidak setuju dengan hal tersebut. Karena sifat “anti-anti” tersebut membuat kita tidak berkembang.
Individualisme, menurut Sutan Takdir, tidak menyebabkan kekacauan, tetapi malah pergolakan dirinya akan menimbulkan semangat untuk bangkit. Dari sinilah setiap individu akan menemukan jalan untuk mengembangkan dirinya dan bangsanya. Sejarah pun membuktikan bahwa kemajuan Indonesia belakangan ini dipengaruhi dengan sangat oleh didikan Barat. Dia melihat permasalahannya di sini adalah bangsa Indonesia terlalu takut sehingga melihat produk Barat (intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme) sebagai permasalahan untuk negeri sendiri, padahal permasalahan bangsa Indonesia bukan itu. Yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah mengasah kecerdasannya yang tertinggal. Salah satu prasaran dalam kongres yang dikritik oleh Sutan Takdir karena tidak sesuai dengan pandangannya adalah sistem pendidikan pesantren.
R. Sutomo yang merupakan salah seorang pendukung sistem pendidikan pesantren memaparkan sedikit perbedaan pandangannya mengenai pendidikan Indonesia. Awalnya dia mengatakan bahwa dia bukan anti-intelektualisme, begitu juga pemrasaran dalam kongres pengajaran. Kemudian dia juga tidak merasa bahwa pesantren itu anti-individualisme, tetapi menciptakan “aku” (ego) yang maha besar. Karena di dalam pesantren diajarkan cinta kasih dan masih ada pengawasan keluarga. Pendapat ini mungkin terdengar naif. Sutomo melihat egoisme bersifat merusak, sehingga mengusahakan altruisme melalui pesantren. Dia juga anti-materialisme dengan menganggap bahwa kebahagiaan tetap bisa tercapai tanpa materi atau dalam keadaan kekurangan. Jika dilihat, pendapat ini juga sedikit naif, terutama jika dilihat dari kacamata  zaman sekarang.
Sutan Takdir menilai pendidikan ala pesantren terlalu berpusat pada kiai. Sehingga individu-individu selain kiai menjadi mati. Selain itu semangat yang ada dalam pesantren hanya berupa kelembutan rasa dan keelokan masyarakat yang statis. Situasi ini akan membuat bangsa Indonesia menjadi lemah jika berhadapan dengan bangsa lain yang terbiasa untuk rajin berpikir dan bekerja. Sutan Takdir lebih mengunggulkan sistem pengajaran Barat, yang menurut Sutomo hanya berisi pengajaran, tetapi kemudian ditampis oleh Sutan Takdir karena dalam pengajaran juga secara implisit terdapat pendidikan. Pengajaran Barat cocok dengan semboyan positif Sutan Takdir yang intinya adalah bahwa pendidikan harus bersifat aktif membangun daya pikir kreatif, membangun inisiatif, dan semangat bekerja dan berusaha sendiri. Sutan Takdir juga secara realistis menyadari kekurangan dalam sistem Barat, namun menurutnya itu bukan alasan untuk kita menjadi anti terhadap sistem pengajaran itu. Karena, di situlah tugas kita untuk meningkatkannya. Menurutnya kita juga tidak boleh terlalu idealis.
Tjindarbumi memberi respon positif terhadap Sutan Takdir tentang sistem pengajaran Barat. Namun ia juga menetralkan situasi dengan mengatakan bahwa Timur (dalam hal ini Indonesia) memang harus mencontoh Barat dalam hal-hal tertentu terutama ilmu pengetahuan, sedangkan Barat juga banyak belajar dari Timur terutama mengenai kesabaran dan ketenteraman hari.
Sutomo membalas kritikan itu dengan mengemukakan kelemahan sistem pengajaran Barat: tidak mengandung pendidikan, sehingga kaum inteleknya kurang bergirah dalam mengabdi kepada bangsa, serta pengetahuannya yang tinggi tidak disertai dengan budi yang luhur dan etika yang baik. Menurutnya, kemajuan akan tercapai jika kebudayaan asli tetap dipakai, di samping alat-alat dan ilmu pengetahuan Barat. Itu semua terdapat dalam pesantren, pikirnya.
Sutan Takdir melihat permasalahannya lain lagi. Kurang bergairahnya kaum intelek Indonesia karena sudah terlalu lama menjadi hamba kiai. Jadi, kita harus melepaskan diri dan juga berhenti menjadi hamba sejarah. Dalam pengajaran Barat, dia yakin adanya pendidikan yang terselip.
Dalam perdebatan tentang pendidikan nasional itu muncul Adinegoro yang mengamini munculnya sintesis antara pandangan Sutan Takdi dengan pandangan Sutomo. Hal itu sudah ideal sekali jika kita menganggap pandangan masing-masing tokoh itu sebagai tesis dan antitesis bagi yang lain. Namun, idealisme masing-masingnya “terikat” dengan kuat pada posisi masing-masing yang berlawanan.
Terhadap Sutan Takdir, Adinegoro tidak setuju dengan pernyataan bahwa intelektualisme, individualisme, egoisme dan materiaisme bukan permasalahan bangsa kita, tapi bangsa Eropa. Menurut Adinegoro justru itu permasalahan besar bangsa kita. Keempat nilai itu bertentangan dengan ajaran agama. Selain itu, individualisme, egoisme dan materialisme juga merupakan penyebab masalah besar bagi sosial, karena dapat menyesatkan orang banyak. Menanggapi hal ini, Sutan Takdir menjelaskan tentang prioritas. Prioritas terbesar masalah Indonesia adalah bagaimana untuk “mengasah otak” bangsanya, belum sampai pada keempat hal tersebut.
Dari tulisannya tampak bahwa Adinegoro telah memfasilitasi untuk dialog-dialog seterusnya dari Sutan Takdir dengan Sutomo agar tercipta suatu sintesa. Adinegoro telah meluruskan perselisihan dan menjelaskan letak permasalahan dengan memaparkan tentang kebudayaan dan peradaban. Intinya adalah bahwa peradaban dapat dipindahkan atau ditiru, tetapi kebudayaan tidak. Sayangnya tidak ada kelanjutan dari Sutomo. Di samping itu, Adinegoro tidak memberi sikap sendiri mengenai permasalahan yang sedang dibahas, yaitu pendidikan nasional. Tetapi ia menginginkan kedua belah pihak memaparkan pandangannya secara lebih detil mengenai permasalahan tersebut.
Ada satu pendapat yang disanggah oleh Sutan Takdir, yaitu bahwa ilmu pengetahuan itu milik Barat. Sebenarnya, menurut Sutan Takdir, ilmu pengetahuan dan teknik itu bisa saja lahir dari kebudayaan Timur, hanya saja harus dengan jiwa yang aktif. Dari sini tampak bahwa Sutan Takdir menginginkan perubahan sampai ke akar-akarnya. Selain itu, dia juga ingin menghapuskan stereotip yang menganggap Barat hanya penuh dengan intelektualitas dan individualitas, dan Timur agamais, berbatin luhur dan berohani mulia. Stereotip ini mungkin yang membuat orang semakin menghindari Barat jika terjebak di dalamnya. Dari sini terlihat oleh kita skeptisisme Sutan Takdir yang radikal. Seperti yang dikatakan René Descartes bahwa kita harus meragukan segala hal. Di luar daripada itu, apakah sebuah bangsa yang benar-benar berbudi luhur mengatakan pada semua orang bahwa dirinya berbudi luhur dan bangsa lain tidak? Justru itu adalah suatu bentuk ketidakluhuran menurut saya. Karena indikator keluhuran di tiap-tiap kelompok manusia itu berbeda-beda.
Setelah mendekonstruksi semuanya, sampailah Sutan Takdir pada kesimpulan bahwa pandangan hidup Barat atau Islam (yang murni) sangat cocok untuk dipakai oleh Indonesia. Karena keduanya mengajarkan kita untuk menguasai alam dan berjuang bersamanya. Artinya, kehidupan mistis yang berasal dari India harus digantikan oleh yang dua itu. Karena mistik, penyatuan dengan alam, serta orientasi pada kehidupan nirwana (akhirat) yang diajarkan dari India tidak cocok lagi untuk mencapai masyarakat dinamis yang aktif berpikir dan bekerja.
Keputusan Sutan Takdir mengenai roh Semitik dan India ini dipandang oleh Dr. M. Amir sebagai pembicaraan mengenai falsafah budaya. Jadi, Sutan Takdir membahas sampai ke akar-akar kebudayaan. Jadi, ada perbedaan tingkatan yang dibahas oleh Sutomo dan Sutan Takdir. Sutomo hanya membahas sistem pengajaran, terutama sistem pesantren yang dicitacitakannya. Sedangkan Sutan Takdir selain menyarankan sistem pengajaran Barat, tetapi juga mengemukakan pandangannya mengenai falsafah kebudayaan yang seharusnya dipakai Indonesia.
Dengan memaparkan tentang kultur, zivilisation, dan bildung, etimologinya, serta psikologi sejarah, M. Amir mendekonstruksi kebudayaan Barat dan Timur. Sehingga kita mendapat pemahaman yang lebih jelas. Setelah itu, dia menginginkan untuk meninjau kembali dan mengkaji pendapat Sutan Takdir, dan juga Sutomo, untuk mengtahui apakah kebudayaan Barat benar-benar cocok dengan Indonesia dan bagian mana dari kebudayaan Barat itu cocok dengan Indonesia. Meskipun pada akhirnya dia juga tidak keberatan dengan sistem pengajaran Barat yang diajukan Sutan Takdir. Dia juga melumrahkan mengarah ke Barat. Namun, satu hal yang diragukannya adalah bagaimana Sutan Takdir bisa menyelaraskan Islam dengan Barat, sedangkan individualisme Barat bertentangan dengan Islam.
Ki Hajar Dewantara melihat perdebatan antara beberapa orang tadi sebagai sesuatu yang natural. Menurutnya adalah suatu kewajaran atau hukum alam dimana perubahan itu tidak dapat disangkal. Ada unsur kebudayaan yang berubah, hilang atau tetap bertahan. Di lain sisi, pendapat orang-orang mengenai perubahan itu berbeda-beda. Ada yang menyesali dan ada yang menginginkannya. Hal itu dikarenakan sifat-sifat yang berbeda: konservatif, liberal, radikal. Terlepas dari kenaturalan itu, Ki Hajar Dewantara lebih dekat ke Sutomo karena menjunjung kebangsaan Indonesia.

C.     Pendidikan untuk Pembangunan Bangsa Indonesia
Dalam polemik ketiga ini, pendidikan, selanjutnya, dituntut untuk bisa memenuhi pekerjaan pembangunan bangsa.
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, dalam pembangunan ada syarat yang harus terpenuhi, yaitu manusia satu persatu harus tumbuh ke segala arah. Dan hal itu dapat diwujudkan melalui pendidikan.
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa ilmu pengetahuan dapat dicapai dengan jiwa yang aktif, maka dalam pembangunan bangsa hal yang demikian juga dibutuhkan. Karena masalah bangsa adalah sesuatu yang totalitas, saling terkait antar unsur-unsurnya. Meskipun jiwa bangsa tidak sama dengan jiwa tiap-tiap individu, tetapi ia tetaplah sesuatu yang bergerak, hidup dan berubah. Jiwa itu tidak ditentukan oleh ras yang didapat secara turun-temurun. Jadi, ia dapat dirubah. Di sini ditegaskan kembali oleh Sutan Takdir bahwa ia tidak meniru budaya Barat. Tetapi dengan jiwa bangsa yang sedinamis jiwa bangsa Barat, Indonesia bisa menciptakan budaya sendiri, dengan daya ciptanya sendiri. Jadi, sekali lagi, dia bukan tidak meniru Barat, tetapi hanya memuji sifat-sifat unggul Barat yang memberi dinamika ke dalam kehidupan masyarakatnya, yaitu rasionalisme, individualisme dan positivisme.
Menurut Sutan Takdir, pemimpin-pemimpin ekonomi, sosial, politik, seni dan lain-lain memiliki pengaruh besar. Sehingga mereka harus menyadari bahwa mereka harus mencapai apa yang mereka kehendaki. Mereka harus mendidik jiwa lebih keras lagi.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk itu adalah dengan motievencultuur. Dengan memberikan cita-cita, harapan dan mimpi pada semua orang maka Indonesia bisa mendapat arti yang nyata. Sehingga Indonesia menyadari bahwa ia adalah bangsa yang terpilih oleh Tuhan. Jadi, dengan motivasi semua orang bisa disadarkan akan kepentingan mengolah dirinya dan bangsanya menjadi lebih maju lagi.
Dr. M. Amir menanggapi pendapat Sutan Takdir mengenai budaya asli Indonesia. Menurutnya, kebudayaan India (Hindu-Budhis) yang telah menjadi roh Indonesia tidak dapat dihilangkan karena kebudayaan India itulah yang telah menyebabkan kehalusan dan keluhuran suku-suku di Indonesia. Kebudayaan itu telah mengakar dalam bahasa, seni, ritual dan lain-lainnya. Jadi, kebudayaan India tidak boleh kita buang begitu saja. Karena menurut M. Amir, jika kita meniru Barat berarti kita menjiplak, sedangkan jika kita memadukan India dengan Barat, berarti kita berasimilasi. Tentu kita akan memilih asimilasi. Jadi, menurut M. Amir, kita harus memadukan kebudayaan India yang telah menjadi budaya asli Indonesia dengan kebudayaan Barat.
Sutan Takdir menentang dengan keras kata menjiplak dari M. Amir. Karena telah dikatakan berulang kali dalam buku itu bahwa kita hanya harus menyamai kemajuan Barat, dengan cara sendiri, menghasilkan kebudayaan sendiri yang orisinil. Dari segi waktu memang sejarah selalu mengalir, tetapi dalam sejarah selalu ada perubahan dan pertukaran pikiran, anggapan, kemauan dan cita-cita. Kebudayaan lama bukan berarti dibuang begitu saja, tetapi lambat laun juga akan berubah fungsinya.

D.    Indonesia pada Masa Sekarang
Menurut saya sendiri, Sutan Takdir Alisjahbana itu layak disebut seorang tokoh renaissance Indonesia. Kita bisa lihat betapa tegas dan radikalnya dia dalam mengobarkan semangat kedinamisan Barat kepada rakyat Indonesia. Intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme ingin dia hidupkan sehidup-hidupnya. Semoga tidak berlebihan jika saya menyamakan dia dengan Matin Luther yang berani menentang tradisi dan ingin mengubahnya secara fundamental. Perbedaannya adalah Sutan Takdir tidak sampai membentuk kelompok sendiri.
Mungkin cita-cita beliau untuk keempat hal tersebut hampir terpenuhi sekarang, karena pemikirannya memang sangat futuristik. Intelektualisme mendapat tempat yang penting dalam masyarakat sekarang. Sekolah-sekolah bertebaran dimana-mana. Pendidikan mendapat prioritas dalam pemerintahan. Dan akses ke pendidikan sudah bisa didapatkan oleh hampir semua orang.
Materialisme juga sangat hidup sekarang ini. Uang adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Transaksi ekonomi, eksploitasi bumi, produksi dan konsumsi menjadi lebih, bahkan sangat intens di Indonesia. Bahkan Indonesia memiliki perekonomian yang relatif terbesar di dunia. Hanya saja masih rendah jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Individualisme dan egoisme mungkin terdengar negatif, bahkan bertentangan, jika kita tempatkan pada lahan sosial. Namun, jika kita cermati situasi saat Sutan Takdir menulis opininya, mungkin kita juga akan lebih memilih dua hal ini. Karena dengan kolektivisme dan altruisme pada saat itu, masyarakat menjadi statis. Semua dilakukan atas rasa kebersamaan. Terdengar indah, namun tidak ada desakan kepentingan pribadi yang membuat seseorang berpikir dan bekerja. Kiai-sentral juga menyebabkan orang-orang kebanyakan tidak bebas berpikir secara individu. Di sinilah pentingnya individualisme dan egoisme yang saya tangkap dari Sutan Takdir. Coba kita lihat kasus Freeport. Bertahun-tahun perusahaan Amerika itu mengeruk bumi Indonesia dengan memberikan sedikit sekali profit dan loyalty kepada Indonesia. Jika individualisme sudah mantap, mungkin Indonesia tidak akan memperpanjang kontrak dengan Amerika, tetapi mengolah sendiri buminya. Selain itu, masih banyak negara lain yang mengolah tanah Indonesia karena kurang individualis dan kurang egoisnya bangsa Indonesia.
Namun, jika kita terlalu radikal memaknai individualisme, egoisme dan materialisme itu, maka juga terjadi kesenjangan dalam masyarakat. Individualisme, dipadukan dengan egoisme, ditambah lagi dengan materialisme yang berlebihan akan berakibat pada kapitalisme yang tidak terkontrol. Kesenjangan itulah yang terjadi pada sebagian wilayah Indonesia saat ini, terutama daerah perkotaan. Untuk itu, ada benarnya juga pendapat Sutomo bahwa kita juga harus mendapat didikan budi luhur dan etika yang baik agar ego kita adalah ego yang “maha besar” seperti kata beliau. Ini bukan berarti saya mendukung sistem pesantren beliau, karena sekolah umum di Indonesia juga bisa mendidik seperti itu.
Pendapat Sutan Takdir mengenai kebaratan Indonesia juga bisa dikatakan logis. Kita tidak bisa menyangkal bahwa Barat memiliki pengaruh besar bagi kita dan nilai-nilainya mengakar dalam kehidupan kita. Sekarang mungkin masih ada orang yang tidak mengakui itu dan tetap pada kebanggaannya pada budaya Timurnya. Padahal jika kita melihat dengan cermat, kebudayaan Barat malah diinternalisasi lebih intens di Indonesia belakangan ini dibandingkan zaman Sutan Takdir. Hal itu sangat terbantukan oleh apa yang kita sebut globalisasi. Nilai-nilai Barat mulai masuk ke Indonesia, terutama kepada generasi muda. Namun terkadang nilai-nilai yang tidak baik dan sesuai dengan nilai luhur Indonesia juga ikut terbawa.
Terkadang saya melihat realita dari pernyataan Sutan Takdir bahwa orang Indonesia terlalu hati-hati dalam membuat keputusan. Sekarang ini masih banyak PR bagi pemerintah yang sudah lama belum rampung juga. Lihat saja kasus LGBT. Terlepas dari hak dasar mereka sebagai warga negara, pada realitanya LGBT tetap menjadi polemik di Indonesia yang membutuhkan ketentuan yang jelas di dalam hukum. Namun, pemerintah sampai saat ini belum membuat peraturan perundangan yang jelas bagi kaum tersebut. Padahal keberadaan kaum minoritas ini sudah sangat lama di Indonesia. Dan sekarang ketika hal itu menjadi problem besar, pemerintah menjadi pusing menentukan sikap. Sama halnya dengan masalah komersialisasi sepeda motor (ojek), yang awalnya dilarang dan sekarang menjadi bertambah besar dengan munculnya ojek online. Dalam hal ini pemerintah juga kocar kacir karena peraturan sebelumnya tidak futuristik.
Harus kita akui bahwa pendapat satu orang saja pasti ada kekurangannya. Begitu pun dengan pendapat-pendapat Sutan Takdir. Pendapat tokoh lain juga sangat membangun dan terbukti dapat ditemukan, atau bagus untuk diterapkan dalam kehidupan. Misalnya pandangan tokoh lain yang cenderung mempertahankan kebudayaan lama. Hal itu sangat baik karena kita sebagai generasi penerus juga dituntut untuk menjaga kebudayaan lama, walaupun terbatas yang artefak saja seperti batik, tari, lagu daerah dan lain-lain. Karena dalam hal falsafah budaya, kita harus benar-benar memakai formula yang bagus, yang biasanya berasal dari Barat yang dinamis. Permasalahannya sekarang adalah kurangnya kesadaran sebagian orang untuk melestarikan produk-produk kebudayaan daerah tersebut. Bahasa daerah sudah mulai digantikan oleh bahasa Indonesia, sedangkan sebagian orang lebih bangga menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Untuk situasi tertentu, sebaiknya kita menggunakan yang satu, dan pada situasi yang lain bahasa yang lain. Bukan menghilangkan penggunaan salah satunya.
Cita-cita Sutan Takdir dan Sutomo dalam hal pendidikan terbukti hidup berdampingan sampai sekarang. Selain sekolah-sekolah dengan sistem Barat, sekarang juga terdapat pesantren. Namun tampaknya Sutan Takdir lebih berhasil karena sekarang sistem sekolah dan sistem pesantren juga mengarah ke sistem Barat. Hal itu sangat baik karena ada perbaikan di keduanya. Sekolah dengan sistem Barat seperti zaman dulu sekarang sudah diwarnai dengan pendidikan moral dan etika, serta nasionalisme. Dan pesantren dilengkapi dengan pengajaran ilmu-ilmu modern dari Barat.
Permasalahan dalam ketiga polemik itu yang masih menjadi dilema sampai sekarang adalah mengenai kebudayaan Timur dan Barat. Permasalahan timbul karena antara masyarakat konservatif, liberal dan radikal terdapat pertentangan. Generasi tua yang biasanya konservatif sulit sekali menerima nilai-nilai baru dari luar (nilai Barat dan nilai Global). Sedangkan generasi muda yang sedikit liberal sebagian terlalu menerima nilai baru tanpa disaring, sehingga lupa akan nilai-nilai dan budaya lama yang sepatutnya dilestarikan.
Dari polemik ketiga, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pembangunan bangsa sangat tergantung pada pendidikan, melebihi faktor lain seperti ekonomi, politik dan sumber daya alam. Oleh karena itu, pendidikan harus dirancang sebaik mungkin. Dan pendidikan di Barat memang tampak solutif untuk hal ini. Karena kita lihat banyak lulusan perguruan tinggi Barat yang sukses membangun bangsanya.

Dari permasalahan-permasalahan yang ada ini, dibutuhkan adanya dialog-dialog yang membahas kembali kebudayaan Indonesia dan perwujudannya dalam berbagai bidang. Selain itu, setiap individu dalam masyarakat sudah seharusnya membuang semua stereotip-stereotip kebudayaan, terutama mengenai Barat dan Timur. Terakhir, saya setuju bahwa rasionalisme, individualisme dan positivisme harus hidup dalam masyarakat yang dinamis.

No comments: