Kebudayaan dan
Kemunculannya: Sebuah Renungan Filosofis
Dengan sisa kredit yang aku punya
di semester 7 ini, aku berkesempatan mengambil kelas di luar prodi aku sendiri,
Sastra Belanda. Lelah dengan bahasa dan sastra, aku memberanikan diri utk
mengambil kelas dari prodi Filsafat, yaitu kelas Filsafat Budaya yang diampu
oleh bapak Tommy Awuy. Banyak hal yang aku pelajari dari kelas ini. Pada
pertengahan semester kemarin kita ada ujian tengah semester. Aku menyangka kita
akan disuruh menganalisis sebuah fenomena kebudayaan dengan teori-teori
filsafat budaya. Ternyata kita malah diminta untuk menjelaskan dengan kalimat
sendiri apa itu budaya dan bagaimana budaya itu muncul dalam waktu sekitar 90
menit. So, berikut adalah jawaban gue waktu itu tanpa diubah sedikitpun kecuali
kesalahan pengejaan yang dikarenakan kepanikan saat ujian hehe.
Apa itu kebudayaan?
Kata “culture”
berasal dari Bahasa Latin “colere” yang berarti mengelola, membudidayakan, atau
mengolah. Makna ini termanifestasi dalam kata “cultivate” dalam Bahasa Inggris
yang juga berarti membudidayakan. Sedangkan kata “budaya” dalam Bahasa
Indonesia berasal dari kata “budi” (pikiran, gagasan) dan “daya” yang berarti
kemampuan. Berangkat dari etimologi kata “culture”, kita dapat melihat
kebudayaan itu sebagai upaya manusia untuk mengolah lingkungan tempat ia
tinggal. Ada yang mengatakan bahwa dimana ada manusia di situ ada kebudayaan.
Dalam mengolah lingkungannya manusia dibekali dengan pikiran (akal), perasaan
dan kehendak. Dari ketiga hal tersebut terciptalah perubahan-perubahan yang ada
di lingkungan seperti dibuatnya saluran irigasi, pondok, tambak ikan, jalan
raya, rel kereta api, sampai gedung-gedung yang tinggi. Semua perubahan (atau
dapat juga dikatakan karya manusia) di lingkungan tersebut merupakan ekstensi
atau perpanjangan dari diri manusia itu sendiri. Teropong adalah ekstensi dari
mata manusia, sepatu dan pakaian adalah ekstensi dari kulit manusia yang
melindunginya dari panas, dan telepon atau gadget adalah ekstensi dari alat
ucap manusia.
Seiring
dengan berkembangnya kebudayaan, manusia menghasilkan berbagai produk budaya.
Segala sesuatu yang terdapat di lingkungan manusia yang tidak alamiah lagi
adalah produk budaya. Bahkan udara di dalam kelas juga terkena sentuhan budaya
manusia sehingga dapat diatur suhunya, sehingga merupakan produk budaya. Selain
produk materiil juga terdapat produk budaya immateriil (tak benda), seperti
bahasa, nyanyian, puisi dan lain-lain. Semua produk budaya tersebut diciptakan
dan sebagian ditinggalkan seiring berjalannya waktu, silih berganti sesuai
kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Seiring dengan itu kebudayaan juga
semakin kompleks dan batasnya semakin luas.
Selain
mengekstensi dirinya dengan mengolah alam, manusia juga mengolah dirinya
sendiri. Manusia memiliki potensi diri yang dapat dikembangkan untuk
keperluannya. Dengan demikian lahirlah karya-karya dari hasil pemikiran manusia
seperti bahasa, sastra dan karya seni..
Manusia
adalah makhluk yang terbatas namun pemikiran manusia seringkali berusaha mencapai
hal-hal yang transenden atau di luar batasnya. Di samping menghasilkan karya,
manusia juga melakukan perenungan. Hal-hal yang direnungkan termasuk hal-hal
yang tidak ia saksikan seperti asal mula kejadian manusia dan alam semesta yang
sebagian dari hasil pemikiran itu menghasilkan konsep tuhan atau supreme power yang bertahan hingga saat
ini. Sebagian manusia tidak puas dengan merenung saja, mereka juga butuh reason (alasan). Dengan demikian, ilmu
pengetahuan berkembang menggantikan mitos-mitos hasil perenungan yang tak
berlandaskan empirisme (pengalaman).
Akhirnya manusia dapat mencapai hal-hal yang transenden itu seperti pengetahuan
mengenai angkasa yang sangat luas sampai atom atau virus yang sangat kecil dan
tidak mungkin dilihat oleh mata manusia tanpa alat khusus.
Capaian-capaian
manusia itu seringkali dilatarbelakangi oleh suatu tramendum atau peristiwa yang sangat berkesan baginya. Tramendum
ini mendorongnya untuk melakukan suatu aksi yang berujung pada sebuah penemuan
atau karya. Misalnya Newton yang terkesan hanya oleh sebuah apel yang jatuh.
Lalu ia bertanya-tanya kenapa arah jatuhnya selalu ke bawah, begitu juga dengan
kenapa kertas atau kapas mencapai tanah lebih lambat dari apel atau batu
misalnya. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa ada percepatan gravitasi
yang bernilai sama semua benda namun bentuk kertas yang lebar mendapat gaya
dorong oleh angin secara lebih kuat dibandingkan apel sehingga jatuh lebih
akhir. Kesimpulan mengenai gaya dan percepatan gravitasi ini adalah karya yang sangat
bermanfaat di dunia ilmu pengetahuan hingga sekarang.
Selain
tramendum (event), manusia juga
mengalami apa yang dikenal dengan misterium
dan fascinatum. Misterium adalah
peristiwa atau hal yang membuat manusia bertanya-tanya. Sedangkan fascinatum
adalah hal atau peristiwa yang membuat manusia terpesona (fascinated). Baik tramendum, misterium maupun fascinatum sama-sama
berperan mendorong manusia untuk beraktivitas dan berkreasi hingga menghasilkan
karya.
Jadi,
kebudayaan tidak lain adalah hasil interaksi manusia dengan lingkungannya dan
dirinya sendiri. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis berupa produk-produk
budaya, tetapi di dalamnya termasuk proses yang dinamis.
Lalu,
bagaimana kebudayaan-kebudayaan itu muncul? Ini adalah pertanyaan kedua dalam
soal filsafat budaya yang aku dapatkan. Jawaban dari pertanyaan ini akan aku
tuliskan dalam postingan berikutnya. Ditunggu, salam, terima kasih J
1 comment:
Tomy awuy si mulut besar lu percaya! Cuma jago bacot tapi tidak pernah merasakan yang dia bacotin dan tidak pernah melakukan penemuan apapun.
Post a Comment