Wednesday, November 22, 2017

Kebudayaan dan Kemunculannya: Sebuah Renungan Filosofis

Kebudayaan dan Kemunculannya: Sebuah Renungan Filosofis
           Dengan sisa kredit yang aku punya di semester 7 ini, aku berkesempatan mengambil kelas di luar prodi aku sendiri, Sastra Belanda. Lelah dengan bahasa dan sastra, aku memberanikan diri utk mengambil kelas dari prodi Filsafat, yaitu kelas Filsafat Budaya yang diampu oleh bapak Tommy Awuy. Banyak hal yang aku pelajari dari kelas ini. Pada pertengahan semester kemarin kita ada ujian tengah semester. Aku menyangka kita akan disuruh menganalisis sebuah fenomena kebudayaan dengan teori-teori filsafat budaya. Ternyata kita malah diminta untuk menjelaskan dengan kalimat sendiri apa itu budaya dan bagaimana budaya itu muncul dalam waktu sekitar 90 menit. So, berikut adalah jawaban gue waktu itu tanpa diubah sedikitpun kecuali kesalahan pengejaan yang dikarenakan kepanikan saat ujian hehe.
Apa itu kebudayaan?
Kata “culture” berasal dari Bahasa Latin “colere” yang berarti mengelola, membudidayakan, atau mengolah. Makna ini termanifestasi dalam kata “cultivate” dalam Bahasa Inggris yang juga berarti membudidayakan. Sedangkan kata “budaya” dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata “budi” (pikiran, gagasan) dan “daya” yang berarti kemampuan. Berangkat dari etimologi kata “culture”, kita dapat melihat kebudayaan itu sebagai upaya manusia untuk mengolah lingkungan tempat ia tinggal. Ada yang mengatakan bahwa dimana ada manusia di situ ada kebudayaan. Dalam mengolah lingkungannya manusia dibekali dengan pikiran (akal), perasaan dan kehendak. Dari ketiga hal tersebut terciptalah perubahan-perubahan yang ada di lingkungan seperti dibuatnya saluran irigasi, pondok, tambak ikan, jalan raya, rel kereta api, sampai gedung-gedung yang tinggi. Semua perubahan (atau dapat juga dikatakan karya manusia) di lingkungan tersebut merupakan ekstensi atau perpanjangan dari diri manusia itu sendiri. Teropong adalah ekstensi dari mata manusia, sepatu dan pakaian adalah ekstensi dari kulit manusia yang melindunginya dari panas, dan telepon atau gadget adalah ekstensi dari alat ucap manusia.
                Seiring dengan berkembangnya kebudayaan, manusia menghasilkan berbagai produk budaya. Segala sesuatu yang terdapat di lingkungan manusia yang tidak alamiah lagi adalah produk budaya. Bahkan udara di dalam kelas juga terkena sentuhan budaya manusia sehingga dapat diatur suhunya, sehingga merupakan produk budaya. Selain produk materiil juga terdapat produk budaya immateriil (tak benda), seperti bahasa, nyanyian, puisi dan lain-lain. Semua produk budaya tersebut diciptakan dan sebagian ditinggalkan seiring berjalannya waktu, silih berganti sesuai kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Seiring dengan itu kebudayaan juga semakin kompleks dan batasnya semakin luas.
                Selain mengekstensi dirinya dengan mengolah alam, manusia juga mengolah dirinya sendiri. Manusia memiliki potensi diri yang dapat dikembangkan untuk keperluannya. Dengan demikian lahirlah karya-karya dari hasil pemikiran manusia seperti bahasa, sastra dan karya seni..
                Manusia adalah makhluk yang terbatas namun pemikiran manusia seringkali berusaha mencapai hal-hal yang transenden atau di luar batasnya. Di samping menghasilkan karya, manusia juga melakukan perenungan. Hal-hal yang direnungkan termasuk hal-hal yang tidak ia saksikan seperti asal mula kejadian manusia dan alam semesta yang sebagian dari hasil pemikiran itu menghasilkan konsep tuhan atau supreme power yang bertahan hingga saat ini. Sebagian manusia tidak puas dengan merenung saja, mereka juga butuh reason (alasan). Dengan demikian, ilmu pengetahuan berkembang menggantikan mitos-mitos hasil perenungan yang tak berlandaskan empirisme (pengalaman). Akhirnya manusia dapat mencapai hal-hal yang transenden itu seperti pengetahuan mengenai angkasa yang sangat luas sampai atom atau virus yang sangat kecil dan tidak mungkin dilihat oleh mata manusia tanpa alat khusus.
                Capaian-capaian manusia itu seringkali dilatarbelakangi oleh suatu tramendum atau peristiwa yang sangat berkesan baginya. Tramendum ini mendorongnya untuk melakukan suatu aksi yang berujung pada sebuah penemuan atau karya. Misalnya Newton yang terkesan hanya oleh sebuah apel yang jatuh. Lalu ia bertanya-tanya kenapa arah jatuhnya selalu ke bawah, begitu juga dengan kenapa kertas atau kapas mencapai tanah lebih lambat dari apel atau batu misalnya. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa ada percepatan gravitasi yang bernilai sama semua benda namun bentuk kertas yang lebar mendapat gaya dorong oleh angin secara lebih kuat dibandingkan apel sehingga jatuh lebih akhir. Kesimpulan mengenai gaya dan percepatan gravitasi ini adalah karya yang sangat bermanfaat di dunia ilmu pengetahuan hingga sekarang.
                Selain tramendum (event), manusia juga mengalami apa yang dikenal dengan misterium dan fascinatum. Misterium adalah peristiwa atau hal yang membuat manusia bertanya-tanya. Sedangkan fascinatum adalah hal atau peristiwa yang membuat manusia terpesona (fascinated). Baik tramendum, misterium maupun fascinatum sama-sama berperan mendorong manusia untuk beraktivitas dan berkreasi hingga menghasilkan karya.
Jadi, kebudayaan tidak lain adalah hasil interaksi manusia dengan lingkungannya dan dirinya sendiri. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis berupa produk-produk budaya, tetapi di dalamnya termasuk proses yang dinamis.

                Lalu, bagaimana kebudayaan-kebudayaan itu muncul? Ini adalah pertanyaan kedua dalam soal filsafat budaya yang aku dapatkan. Jawaban dari pertanyaan ini akan aku tuliskan dalam postingan berikutnya. Ditunggu, salam, terima kasih J

1 comment:

Ilmu Itu Indah (New) said...

Tomy awuy si mulut besar lu percaya! Cuma jago bacot tapi tidak pernah merasakan yang dia bacotin dan tidak pernah melakukan penemuan apapun.