Tuesday, January 3, 2017

Pembantaian Etnis Tionghoa di Batavia (Jakarta) Tahun 1740

Huru-hara Tionghoa di Batavia Tahun 1740
Kronologi dari Terbentuknya Kota Batavia Hingga Tragedi Pembantaian

Tomi Tri Anggara
1406538076


Abstract
Chinese groups have been several times the victim of some massacres happened in Indonesia. At October 9th to 10th, there was a terrible massacre of Chinese people in the Batavia city (now Jakarta). About 2,500 Chinese houses went up in smoke and more than 10,000 Chinese were killed. VOC (the Netherlands) that hold the government of Batavia at that time has the main role in conducting the tragedy. Indigenous people and slaves aren’t free of “this sin” due to their help for VOC in the massacre. In this article, I will explain briefly and chronologically the “Chinese Massacre 1740” from the coming of Chinese to Batavia to the end of the tragedy.
Keywords : massacre, Chinese, VOC

Abstrak
Etnis Tionghoa telah beberapa kali menjadi korban pembunuhan di Indonesia. Pada tanggal 9 -- 10 Oktober 1740 terjadi sebuah tragedi pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Kota Batavia. Sekitar 2.500 rumah penduduk Tionghoa dihanguskan serta lebih dari 10.000 orang Tionghoa menjadi korban pembunuhan tersebut.  VOC (Belanda) yang memerintah di Batavia waktu itu memainkan peran penting dalam peristiwa pembantaian tersebut. Orang-orang pribumi dan para budak pun tidak terlepas dari “tanggung jawab” ini karena membantu VOC dalam aksi pembantaian. Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan kronologi kejadian “Huru-hara Tionghoa 1740” mulai dari datangnya orang-orang Tionghoa ke Batavia hingga bagaimana akhir dari peristiwa tersebut.
Kata kunci : pembunuhan massal, etnis Tionghoa, VOC
Orang-orang Tionghoa telah ada di Nusantara berabad-abad sebelum bangsa Belanda sampai di Nusantara. Kebanyakan orang-orang Tionghoa tersebut melakukan perdagangan lintas lautan dengan pribumi. Sebagian dari mereka mulai tinggal menetap dan menjadi bagian dari penduduk Nusantara. Sementara bangsa Belanda baru sampai di Nusantara pada tahun 1596 (Kemasang, 1985). Pada awalnya, sama seperti orang-orang Tionghoa terdahulu, bangsa Belanda datang ke Nusantara untuk melakukan perdagangan. Lama-kelamaan muncul keinginan bangsa Belanda untuk menguasai perdagangan di Nusantara dengan membangun kota-kota pusat perdagangan. Kota utama yang menjadi pusat perdagangan Belanda (VOC) pada waktu itu adalah Batavia (Jakarta sekarang) dan Ambon. Kota Batavia dijadikan sebagai pusat perdagangan VOC di Asia.
Kedatangan Orang Tionghoa ke Batavia
Kota Batavia sebelumnya merupakan kota pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa dan berubah menjadi Jayakarta. Pelabuhan Jayakarta pada waktu itu sangat penting bagi perdagangan lintas lautan. Hal ini membuat Kota Jayakarta diperebutkan oleh berbagai bangsa dan kerajaan, misalnya Portugis, Belanda, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Banten. Akhirnya pada VOC di bawah pimpinan J.P Coen berhasil membumi-hanguskan kota tersebut dan membangun sebuah kota baru di atasnya. Kota yang baru dibangun tersebut diresmikan dengan nama Batavia pada tanggal 30 Mei 1619 (Simbolon, 2006: 36).
Dalam membangun kota, J.P Coen membawa banyak orang Tionghoa ke Batavia. Hal ini dilakukan karena ia mengagumi keuletan dan kepintaran orang-orang Tionghoa. Di Batavia mereka disuruh bekerja dan berdagang. Akhirnya terbentuklah kota Batavia yang rapi dan indah. Bahkan ada sebuah tulisan yang menyebutkan Batavia sebagai “queen of the east” (ratu dari timur).
Sejak dibangunnya Kota Batavia semakin banyak orang-orang Tionghoa dari berbagai daerah di Jawa termasuk dari daratan Tiongkok yang merantau ke Batavia. Hingga awal abad ke-18 populasi etnis Tionghoa menjadi lebih dari 10.000 orang. Jika ditambah dengan penduduk Tionghoa di luar tembok kota jumlah mereka tidak kurang dari 15.000 orang atau sekitar 17% dari populasi Batavia waktu itu. Pada tahun 1740 telah ada 2.500 rumah penduduk Tionghoa di Batavia (Setiono, 2008: 107).
Pergantian Gubernur Jenderal VOC
Tata kota Batavia mengikuti gaya kota-kota di Belanda. Bangunan-bangunan dan rumah-rumah juga mengikuti gaya bangunan Belanda. Ketidaksesuaian gaya bangunan Belanda, dengan iklim di Batavia membuat kota tersebut dilanda wabah penyakit berat pada abad ke-18. Hal tersebut terutama karena kali yang kotor dan rumah yang sempit. Pada tahun 1734 diadakan pembacaan doa bersama dan puasa umum untuk menghilangkan wabah tersebut. Namun usaha ini sia-sia dan semakin banyak orang meninggal karena penyakit (Setiono, 2008: 108). Salah satu yang menjadi korban wabah tersebut adalah Gubernur Jenderal Dirk van Kloon. Van Kloon meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1735.
Setelah kematian Dirk van Kloon, di dalam tubuh VOC terjadi perpecahan yang menyebabkan tidak adanya kesepakatan mengenai gubernur jenderal yang baru. Akhirnya diadakan undian dan terpilihlah Abraham Patras sebagai gubernur jenderal yang baru. Namun, kondisi fisik Abraham Patras sangat tidak baik dan ia meninggal dunia tanggal 3 Mei 1737.
Ada dua orang yang berambisi menggantikan posisi Abraham Patras sebagai gubernur jenderal karena posisi itu sangat prestisius waktu itu. Kedua orang tersebut adalah Adriaen Valckenier dan Gustav Willem Baron Van Imhoff. Setelah persaingan sengit terpilihlah Valckenier menjadi gubernur jenderal, sedangkan Van Imhoff diangkat menjadi ketua Raad van Indiƫ (Dewan Hindia). Gubernur jenderal dan ketua Dewan Hindia merupakan dua posisi utama yang menentukan pemerintahan di Hindia Timur (Nusantara). Akan tetapi dua orang yang berada di kedua posisi tersebut sangat bertentangan dalam hal ideologi. Valckenier dan Van Imhoff memiliki asal keturunan yang sama namun pada generasi tertentu terpisah secara ideologi. Keluarga Valckenier merupakan pendukung staatsgezinden (anti keluarga kerajaan) dan keluarga vanImhoff mendukung prinsgezinden (pro keluarga kerajaan). Kedua aliran ini sangat bertentangan di masyarakat Belanda. Menurut Suratminto (2004), pertentangan antara Valckenier dan Van Imhoff inilah yang merupakan salah satu faktor keteledoran pemerintah VOC dalam menangani masalah etnis Tionghoa yang berujung pada tragedi pembunuhan massal pada 9 Oktober 1740.
Problem Baru Menjelang 9 Oktober 1740
Situasi di Batavia pada abad ke-18 semakin memburuk disebabkan wabah penyakit dan paceklik yang mengakibatkan VOC mengalami kerugian besar. VOC juga mendapat ancaman dari sebuah kelompok orang Islam di bawah pimpinan Pieter Erberveld yang berniat menghancurkan VOC. Kelompok tersebut mendapat dukungan dari berbagai kerajaan seperti Banten, Cirebon, Bali, dan lain-lain. Gerakan tersebut akhirnya dapat diatasi oleh VOC. Namun, pengalaman tersebut membuat VOC takut jika perlawanan juga dilakukan oleh orang-orang Tionghoa dan pribumi di Batavia. Untuk itu VOC memberlakukan sistem kependudukan yang bertujuan untuk menghambat kontak antara kelompok masyarakat Tionghoa, Bali, Makasar dan lainnya sehingga kekuatan mereka tidak terlalu besar (Suratminto, 2004). Sistem kependudukan tersebut adalah:
1.      Sistem Opsir
Setiap kelompok etnis menunjuk pemimpin sendiri yang disebut kapitan. Kapitan bertugas sebagai perpanjangan tangan VOC kepada kelompoknya.
2.      Sistem Pemukiman
Setiap kelompok etnis harus tinggal sesama mereka. Untuk pergi ke pemukiman kelompok etnis lain harus menggunakan pasbriefje (kartu pengenal).
3.      Sistem Status
Masyarakat juga dibedakan berdasarkan agama.
Selain ketakutan akan perlawanan dari penduduk pribumi dan Tionghoa, VOC juga disibukkan oleh populasi etnis Tionghoa yang susah dikendalikan, terutama masyarakat Tionghoa yang berada di luar tembok kota karena berada di luar sistem institusi pemerintahan. Gubernur Jenderal Valckenier telah memberlakukan sistem permissiebrief (surat izin tinggal) atas usul Van Imhoff. Namun, resolusi tersebut tampaknya kurang efektif. Sebagian dari masyarakat Tionghoa datang secara ilegal dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Mereka banyak yang membuat kerusuhan, seperti mencuri dan merampok. Untuk mengatasi hal ini, pada tanggal 25 Juli 1740 Valckenier mengeluarkan resolusi “bunuh atau lenyapkan” (Liang, 2012: 413). Semua orang Tionghoa yang mencurigakan diperiksa dan jika mereka tidak memiliki permissiebrief maka akan dipulangkan ke Tiongkok, atau dipekerjakan di perkebunan miliki VOC di Ceylon (Sri Lanka) atau di pertambangan di Afrika Selatan.
Kebijakan pemeriksaan permissiebrief terkadang memiliki implikasi yang negatif. Banyak orang Tionghoa diperiksa secara paksa dan disertai dengan penganiayaan dan perampasan harta benda secara paksa. Kebijakan yang awalnya ditujukan kepada pengangguran dan masyarakat ilegal Tionghoa yang membuat kerusuhan, ternyata juga merugikan orang Tionghoa yang “baik-baik”. Dengan demikian, masyarakat Tionghoa semakin membenci pemerintahan VOC. Bahkan ada desas-desus yang mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa yang ditangkap tidak akan dipekerjakan di Ceylon, tetapi dibunuh dan dibuang ke laut. Desas-desus ini membuat masyarakat Tionghoa panik dan kemudian membentuk kelompok untuk melawan VOC. Sampai akhir September 1740 keadaan semakin gawat. Penduduk Tionghoa semakin agresif dan defensif terhadap pemerintah VOC.
Pada tanggal 26 September 1740 Valckenier memanggil Dewan Hindia untuk merundingkan masalah tersebut. Dalam perundingan tersebut ia memberikan kewenangan kepada Van Imhoff dan van Aarden untuk mengambil tindakan. Kelompok Tionghoa lebih dahulu bergerak dengan menguasai Meester Cornelis (Jatinegara sekarang) dan Tanah Abang pada tanggal 7 Oktober 1740. Mereka juga berhasil membunuh lima puluh orang Belanda (Setiono, 2008: 111). Van Imhoff kemudian melakukan serangan balik dengan kekuatan besar, yaitu 1.800 serdadu dan 11 batalyon pennist (pasukan wajib militer). Sebuah kelompok Tionghoa dengan kekuatan yang cukup besar di pinggir kota juga berhasil diatasi oleh Belanda pada tanggal 8 Oktober 1740. Situasi semakin serius dan VOC semakin terancam.
Tragedi Pembantaian
Karena situasi semakin serius, Van Imhoff memberlakukan jam malam bagi penduduk Tionghoa. Mereka dilarang keluar rumah pada malam hari dan jam-jam tertentu agar tidak bisa berhubungan dengan penduduk Tionghoa di luar tembok kota. Mereka harus menutup pintu dan jendela rapat-rapat dan tidak boleh ada sedikit pun penerangan di dalam rumah. Pada pagi hari tanggal 9 Oktober 1740 Valckenier mengadakan rapat denga Dewan Hindia untuk membuat keputusan. Pada pagi itu jalan-jalan kota sangat sepi karena penduduk Tionghoa dilarang keluar rumah. Semakin lama semakin banyak orang-orang pribumi non-Tionghoa di jalanan berbicara mengenai orang-orang Tionghoa. Muncul desas-desus di kalangan pribumi bahwa orang-orang Tionghoa akan membunuh mereka semua, memperkosa istri-istrinya dan memperbudak anak-anak mereka. Hal ini menimbulkan kebencian terhadap etnis Tionghoa. Mereka mendukung pemerintah VOC untuk membunuh penduduk Tionghoa.
Pada hari Minggu itu terjadi kebakaran di beberapa warung milik orang Tionghoa. Hal ini merupakan tanda dimulainya huru-hara. Orang-orang Belanda dan pribumi menjarah rumah-rumah penduduk Tionghoa dengan sangat kejam lalu membakarnya. Semua orang Tionghoa dibunuh. Orang-orang Tionghoa pada waktu itu berada dalam situasi terkepung. Di depan rumah mereka banyak orang-orang Belanda dan pribumi yang sibuk menjarah, membunuh dan membakar rumah. Sedangkan di belakang rumah mereka terdapat Kali Besar Timur yang dijaga oleh tentara dan pelaut. Orang-orang Tionghoa yang kabur lewat kali tersebut ditembak dengan sadis.
Pada Senin, 10 Oktober 1740, semua tahanan dan pasien Tionghoa diseret dengan kejam dari penjara dan rumah sakit. Setelah itu mereka semua dimusnahkan. Selama seminggu setelah hari pembantaian keadaan masih menyedihkan. Bandit-bandit pribumi melanjutkan pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos pada hari pembunuhan. Mereka dibayar untuk mencari dan membunuh setiap orang Tionghoa yang tersisa.
Meskipun tidak ada rekaman atau foto yang mengabadikan tragedi pembantaian orang-orang Tionghoa pada tahun 1740, namun kita dapat merasakan sadisnya pembantaian tersebut melalui tulisan-tulisan dan lukisan tentang tragedi tersebut. Berikut adalah laporan seorang penulis Belanda bernama W.R. Von Hoevell pada tahun 1840 yang dikutip oleh Setiono (2008: 114):
“Tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya, terdengar jeritan ketakutan di seluruh kota dan terjadilah sebuah pemandangan yang sangat memilukan. Perampokan terhadap orang Tionghoa terjadi di seluruh pelosok kota. Semua orang Tionghoa, tidak perduli laki-laki, perempuan, dan anak-anak habis dibantai. Bahkan perempuan yang sedang hamil dan menyusui anaknya juga tidak luput menjadi korban pembantaian yang tidak mengenal peri kemanusiaan.
File:Tableau de la Partie de ...
File:Chinezenmoord van stolk ...

Ratusan tahanan yang diikat tangannya, disembelih seperti menyembelih domba. Beberapa orang Tionghoa kaya, lari mencari perlindungan ke rumah orang-orang Belanda dan Eropa lain yang dikenalnya, namun tanpa mengenal belas kasihan dan tanpa menjunjung moral serta peri kemanusiaan, mereka menyerahkan orang-orang Tionghoa tersebut kepada para pemburunyayang haus darah. Barang-barang berharga yang dititipkan kepadanya langsung diambil menjadi miliknya sendiri. Pokoknya semua orang Tionghoa, baik yang bersalah maupun tidak harus dibasmi.”   
gambar 1: lukisan yang berisi situasi rumah-rumah penduduk Tionghoa ketika dibakar oleh Belanda (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan)
gambar 2: lukisan yang berisi tragedi pembantaian orang-orang Tionghoa (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan)
Pasca Tragedi Pembantaian
Setelah dua minggu tragedi menggenaskan terjadi, Valckenier baru mengambil tindakan untuk menghentikannya. Masyarakat Tionghoa diberi ampunan dan dibolehkan tinggal di Batavia kembali. Jumlah orang Tionghoa yang tersisa setelah pembantaian adalah 3.431 orang. Untuk mencegah terjadinya konflik kembali maka pemerintah VOC memerintahkan penduduk Tionghoa untuk tinggal di luar tembok kota. Daerah tersebut sekarang bernama Glodok. Sejak saat itu orang-orang Tionghoa kembali berdatangan ke Batavia.
Pemerintah Kerajaan Belanda merasa khawatir jika kesalahan mereka dibalas tidak hanya oleh penduduk Tionghoa yang ada di Jawa, tetapi juga dari Tiongkok. Akhirnya VOC memutuskan untuk mengirim utusan kepada Kaisar Kian Liong di Tiongkok pada 1 -- 2 Oktober 1742. Kedua utusan tersebut memberi kesaksian atas peristiwa memalukan yang telah terjadi di Batavia. Dalam pengakuan tersebut dinyatakan bahwa Belanda menyesal bahwa karena bandit-bandit Tionghoa, orang-orang Tionghoa yang lainnya juga menjadi korban.
Reaksi dari Dinasti Qing benar-benar di luar dugaan. Ia membalas, seperti ditulis Liang (2012: 416), “Orang yang keluar dari Dinasti tidak sungkan-sungkan meninggalkan kuburan nenek moyangnya, pergi mencari nafkah ke luar negeri, maka segala urusannya tidak akan dipedulikan lagi oleh Dinasti.”
Dalam penyelesaian secara hukum atas kasus huru-hara ini terjadi saling tuduh-menuduh di kalangan Belanda. Tuduhan tersebut terutama dilontarkan kepada gubernur jenderal saat itu, yaitu Valckenier. Pada tanggal 16 Desember 1740, Dewan Hindia mengajukan mosi tidak percaya pada Valckenier. Valckenier yang saat itu mengajukan pengunduran diri juga melontarkan tuduhan pada Van Imhoff selaku ketua Dewan Hindia.
Pada tahun 1744 Valckenier kembali ke Belanda untuk menjalani sidang. Namun karena sebab tertentu ia tidak bisa sampai ke Belanda, dan singgah di Afrika Selatan. Van Imhoff juga balik ke Belanda untuk menjalani persidangan. Namun setelah membacakan laporannya di hadapan Heren XVII (Tuan XVII), ia malah dijadikan gubernur jenderal yang baru dan diperintahkan kembali ke Hindia.
Persidangan Valckenier sangat berbelit-belit dan memakan waktu yang sangat lama, yaitu sampai 10 tahun. Ia diberatkan karena dua tuduhan pokok yang dilontarkan kepadanya. Pertama, ia dituduh menganjurkan orang-orang Belanda untuk membasmi orang-orang Tionghoa di Batavia saat dalam rapat dengan Dewan Hindia pada tanggal 9 Oktober 1740. Yang kedua, tuduhan bahwa ia setelah rapat memerintahkan Sersan Mayor Hendrik Duurveld, komandan pasukan Batavia, untuk membantai semua orang Tionghoa, termasuk wanita dan anak-anak (Setiono, 2008: 124). Kedua tuduhan tersebut dianggap sangat biadab dan tidak dapat diampuni oleh Heren XVII. Akhirnya Valckenier meninggal di penjara pada 20 Juni 1751 sebelum kasusnya diselesaikan.
Sisa kenangan tragedi pembantaian etnis Tionghoa dapat kita lihat pada nama beberapa daerah di Jakarta. Nama Rawa Bangke disebut demikian karena di daerah tersebut banyak terdapat jasad orang-orang Tionghoa yang dibunuh. Begitu pun dengan Kali Angke yang dalam Bahasa Hokkian berarti sungai merah (“Ang” berarti merah, dan “Ke” berarti sungai). Ada juga yang mengatakan bahwa Tanah Abang berarti “tanah merah” merujuk pada darah orang-orang Tionghoa korban pembantaian. Kata “Abang” dalam Bahasa Jawa berarti merah.

Daftar Acuan
Liji, L. (2012). Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis: 2.000 Tahun Perjalanan    Hubungan Tiongkok - Indonesia. Jakarta: Kompas
Kemasang, A.R.T. (1985). “How Dutch Colonialism Foreclosed a Domestic Bourgeoisie in Java: The 1740 Chinese Massacre Reapraised”. Review IX, 57 -- 80
Setiono, B.G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa
Simbolon, P.T. (2006). Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Suratminto, L. (2004). “Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740: Dampak Konflik Golongan “Prinsgezinden” dan “Staatsgezinden” di Belanda”. Wacana 6, 1 -- 26
https://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan


No comments: