Huru-hara Tionghoa di Batavia Tahun
1740
Kronologi dari Terbentuknya Kota
Batavia Hingga Tragedi Pembantaian
Tomi Tri Anggara
1406538076
Abstract
Chinese groups have been several
times the victim of some massacres happened in Indonesia. At October 9th
to 10th, there was a terrible massacre of Chinese people in the
Batavia city (now Jakarta). About 2,500 Chinese houses went up in smoke and
more than 10,000 Chinese were killed. VOC (the Netherlands) that hold the
government of Batavia at that time has the main role in conducting the tragedy.
Indigenous people and slaves aren’t free of “this sin” due to their help for
VOC in the massacre. In this article, I will explain briefly and
chronologically the “Chinese Massacre 1740” from the coming of Chinese to Batavia
to the end of the tragedy.
Keywords : massacre, Chinese, VOC
Abstrak
Etnis
Tionghoa telah beberapa kali menjadi korban pembunuhan di Indonesia. Pada
tanggal 9 -- 10 Oktober 1740 terjadi sebuah tragedi pembunuhan besar-besaran
terhadap etnis Tionghoa di Kota Batavia. Sekitar 2.500 rumah penduduk Tionghoa
dihanguskan serta lebih dari 10.000 orang Tionghoa menjadi korban pembunuhan
tersebut. VOC (Belanda) yang memerintah
di Batavia waktu itu memainkan peran penting dalam peristiwa pembantaian
tersebut. Orang-orang pribumi dan para budak pun tidak terlepas dari “tanggung
jawab” ini karena membantu VOC dalam aksi pembantaian. Dalam tulisan ini, saya
akan memaparkan kronologi kejadian “Huru-hara Tionghoa 1740” mulai dari
datangnya orang-orang Tionghoa ke Batavia hingga bagaimana akhir dari peristiwa
tersebut.
Kata kunci : pembunuhan massal, etnis Tionghoa, VOC
Orang-orang Tionghoa telah ada di
Nusantara berabad-abad sebelum bangsa Belanda sampai di Nusantara. Kebanyakan
orang-orang Tionghoa tersebut melakukan perdagangan lintas lautan dengan
pribumi. Sebagian dari mereka mulai tinggal menetap dan menjadi bagian dari
penduduk Nusantara. Sementara bangsa Belanda baru sampai di Nusantara pada
tahun 1596 (Kemasang, 1985). Pada awalnya, sama seperti orang-orang Tionghoa
terdahulu, bangsa Belanda datang ke Nusantara untuk melakukan perdagangan.
Lama-kelamaan muncul keinginan bangsa Belanda untuk menguasai perdagangan di
Nusantara dengan membangun kota-kota pusat perdagangan. Kota utama yang menjadi
pusat perdagangan Belanda (VOC) pada waktu itu adalah Batavia (Jakarta
sekarang) dan Ambon. Kota Batavia dijadikan sebagai pusat perdagangan VOC di
Asia.
Kedatangan Orang Tionghoa ke Batavia
Kota Batavia sebelumnya merupakan
kota pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa dan berubah menjadi Jayakarta.
Pelabuhan Jayakarta pada waktu itu sangat penting bagi perdagangan lintas
lautan. Hal ini membuat Kota Jayakarta diperebutkan oleh berbagai bangsa dan
kerajaan, misalnya Portugis, Belanda, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Banten. Akhirnya
pada VOC di bawah pimpinan J.P Coen berhasil membumi-hanguskan kota tersebut
dan membangun sebuah kota baru di atasnya. Kota yang baru dibangun tersebut
diresmikan dengan nama Batavia pada tanggal 30 Mei 1619 (Simbolon, 2006: 36).
Dalam membangun kota, J.P Coen
membawa banyak orang Tionghoa ke Batavia. Hal ini dilakukan karena ia mengagumi
keuletan dan kepintaran orang-orang Tionghoa. Di Batavia mereka disuruh bekerja
dan berdagang. Akhirnya terbentuklah kota Batavia yang rapi dan indah. Bahkan
ada sebuah tulisan yang menyebutkan Batavia sebagai “queen of the east” (ratu dari timur).
Sejak dibangunnya Kota Batavia
semakin banyak orang-orang Tionghoa dari berbagai daerah di Jawa termasuk dari
daratan Tiongkok yang merantau ke Batavia. Hingga awal abad ke-18 populasi
etnis Tionghoa menjadi lebih dari 10.000 orang. Jika ditambah dengan penduduk
Tionghoa di luar tembok kota jumlah mereka tidak kurang dari 15.000 orang atau
sekitar 17% dari populasi Batavia waktu itu. Pada tahun 1740 telah ada 2.500
rumah penduduk Tionghoa di Batavia (Setiono, 2008: 107).
Pergantian Gubernur Jenderal VOC
Tata kota Batavia mengikuti gaya
kota-kota di Belanda. Bangunan-bangunan dan rumah-rumah juga mengikuti gaya
bangunan Belanda. Ketidaksesuaian gaya bangunan Belanda, dengan iklim di
Batavia membuat kota tersebut dilanda wabah penyakit berat pada abad ke-18. Hal
tersebut terutama karena kali yang kotor dan rumah yang sempit. Pada tahun 1734
diadakan pembacaan doa bersama dan puasa umum untuk menghilangkan wabah
tersebut. Namun usaha ini sia-sia dan semakin banyak orang meninggal karena
penyakit (Setiono, 2008: 108). Salah satu yang menjadi korban wabah tersebut
adalah Gubernur Jenderal Dirk van Kloon. Van Kloon meninggal dunia pada tanggal
10 Maret 1735.
Setelah kematian Dirk van Kloon, di
dalam tubuh VOC terjadi perpecahan yang menyebabkan tidak adanya kesepakatan
mengenai gubernur jenderal yang baru. Akhirnya diadakan undian dan terpilihlah
Abraham Patras sebagai gubernur jenderal yang baru. Namun, kondisi fisik
Abraham Patras sangat tidak baik dan ia meninggal dunia tanggal 3 Mei 1737.
Ada dua orang yang berambisi
menggantikan posisi Abraham Patras sebagai gubernur jenderal karena posisi itu
sangat prestisius waktu itu. Kedua orang tersebut adalah Adriaen Valckenier dan
Gustav Willem Baron Van Imhoff. Setelah persaingan sengit terpilihlah
Valckenier menjadi gubernur jenderal, sedangkan Van Imhoff diangkat menjadi
ketua Raad van Indiƫ (Dewan Hindia).
Gubernur jenderal dan ketua Dewan Hindia merupakan dua posisi utama yang
menentukan pemerintahan di Hindia Timur (Nusantara). Akan tetapi dua orang yang
berada di kedua posisi tersebut sangat bertentangan dalam hal ideologi.
Valckenier dan Van Imhoff memiliki asal keturunan yang sama namun pada generasi
tertentu terpisah secara ideologi. Keluarga Valckenier merupakan pendukung staatsgezinden (anti keluarga kerajaan)
dan keluarga vanImhoff mendukung prinsgezinden
(pro keluarga kerajaan). Kedua aliran ini sangat bertentangan di masyarakat
Belanda. Menurut Suratminto (2004), pertentangan antara Valckenier dan Van
Imhoff inilah yang merupakan salah satu faktor keteledoran pemerintah VOC dalam
menangani masalah etnis Tionghoa yang berujung pada tragedi pembunuhan massal
pada 9 Oktober 1740.
Problem Baru Menjelang 9 Oktober 1740
Situasi di Batavia pada abad ke-18
semakin memburuk disebabkan wabah penyakit dan paceklik yang mengakibatkan VOC
mengalami kerugian besar. VOC juga mendapat ancaman dari sebuah kelompok orang
Islam di bawah pimpinan Pieter Erberveld yang berniat menghancurkan VOC.
Kelompok tersebut mendapat dukungan dari berbagai kerajaan seperti Banten,
Cirebon, Bali, dan lain-lain. Gerakan tersebut akhirnya dapat diatasi oleh VOC.
Namun, pengalaman tersebut membuat VOC takut jika perlawanan juga dilakukan
oleh orang-orang Tionghoa dan pribumi di Batavia. Untuk itu VOC memberlakukan
sistem kependudukan yang bertujuan untuk menghambat kontak antara kelompok
masyarakat Tionghoa, Bali, Makasar dan lainnya sehingga kekuatan mereka tidak
terlalu besar (Suratminto, 2004). Sistem kependudukan tersebut adalah:
1. Sistem Opsir
Setiap kelompok etnis menunjuk
pemimpin sendiri yang disebut kapitan. Kapitan bertugas sebagai perpanjangan
tangan VOC kepada kelompoknya.
2. Sistem Pemukiman
Setiap kelompok etnis harus tinggal
sesama mereka. Untuk pergi ke pemukiman kelompok etnis lain harus menggunakan pasbriefje (kartu pengenal).
3. Sistem Status
Masyarakat juga dibedakan
berdasarkan agama.
Selain ketakutan akan perlawanan
dari penduduk pribumi dan Tionghoa, VOC juga disibukkan oleh populasi etnis
Tionghoa yang susah dikendalikan, terutama masyarakat Tionghoa yang berada di
luar tembok kota karena berada di luar sistem institusi pemerintahan. Gubernur
Jenderal Valckenier telah memberlakukan sistem permissiebrief (surat izin tinggal) atas usul Van Imhoff. Namun,
resolusi tersebut tampaknya kurang efektif. Sebagian dari masyarakat Tionghoa
datang secara ilegal dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Mereka banyak
yang membuat kerusuhan, seperti mencuri dan merampok. Untuk mengatasi hal ini,
pada tanggal 25 Juli 1740 Valckenier mengeluarkan resolusi “bunuh atau
lenyapkan” (Liang, 2012: 413). Semua orang Tionghoa yang mencurigakan diperiksa
dan jika mereka tidak memiliki permissiebrief maka akan dipulangkan ke
Tiongkok, atau dipekerjakan di perkebunan miliki VOC di Ceylon (Sri Lanka) atau
di pertambangan di Afrika Selatan.
Kebijakan pemeriksaan permissiebrief
terkadang memiliki implikasi yang negatif. Banyak orang Tionghoa diperiksa
secara paksa dan disertai dengan penganiayaan dan perampasan harta benda secara
paksa. Kebijakan yang awalnya ditujukan kepada pengangguran dan masyarakat
ilegal Tionghoa yang membuat kerusuhan, ternyata juga merugikan orang Tionghoa
yang “baik-baik”. Dengan demikian, masyarakat Tionghoa semakin membenci
pemerintahan VOC. Bahkan ada desas-desus yang mengatakan bahwa orang-orang
Tionghoa yang ditangkap tidak akan dipekerjakan di Ceylon, tetapi dibunuh dan
dibuang ke laut. Desas-desus ini membuat masyarakat Tionghoa panik dan kemudian
membentuk kelompok untuk melawan VOC. Sampai akhir September 1740 keadaan
semakin gawat. Penduduk Tionghoa semakin agresif dan defensif terhadap
pemerintah VOC.
Pada tanggal 26 September 1740
Valckenier memanggil Dewan Hindia untuk merundingkan masalah tersebut. Dalam
perundingan tersebut ia memberikan kewenangan kepada Van Imhoff dan van Aarden
untuk mengambil tindakan. Kelompok Tionghoa lebih dahulu bergerak dengan
menguasai Meester Cornelis
(Jatinegara sekarang) dan Tanah Abang pada tanggal 7 Oktober 1740. Mereka juga
berhasil membunuh lima puluh orang Belanda (Setiono, 2008: 111). Van Imhoff
kemudian melakukan serangan balik dengan kekuatan besar, yaitu 1.800 serdadu
dan 11 batalyon pennist (pasukan
wajib militer). Sebuah kelompok Tionghoa dengan kekuatan yang cukup besar di
pinggir kota juga berhasil diatasi oleh Belanda pada tanggal 8 Oktober 1740.
Situasi semakin serius dan VOC semakin terancam.
Tragedi Pembantaian
Karena situasi semakin serius, Van
Imhoff memberlakukan jam malam bagi penduduk Tionghoa. Mereka dilarang keluar
rumah pada malam hari dan jam-jam tertentu agar tidak bisa berhubungan dengan
penduduk Tionghoa di luar tembok kota. Mereka harus menutup pintu dan jendela
rapat-rapat dan tidak boleh ada sedikit pun penerangan di dalam rumah. Pada
pagi hari tanggal 9 Oktober 1740 Valckenier mengadakan rapat denga Dewan Hindia
untuk membuat keputusan. Pada pagi itu jalan-jalan kota sangat sepi karena
penduduk Tionghoa dilarang keluar rumah. Semakin lama semakin banyak
orang-orang pribumi non-Tionghoa di jalanan berbicara mengenai orang-orang
Tionghoa. Muncul desas-desus di kalangan pribumi bahwa orang-orang Tionghoa akan
membunuh mereka semua, memperkosa istri-istrinya dan memperbudak anak-anak
mereka. Hal ini menimbulkan kebencian terhadap etnis Tionghoa. Mereka mendukung
pemerintah VOC untuk membunuh penduduk Tionghoa.
Pada hari Minggu itu terjadi
kebakaran di beberapa warung milik orang Tionghoa. Hal ini merupakan tanda
dimulainya huru-hara. Orang-orang Belanda dan pribumi menjarah rumah-rumah
penduduk Tionghoa dengan sangat kejam lalu membakarnya. Semua orang Tionghoa
dibunuh. Orang-orang Tionghoa pada waktu itu berada dalam situasi terkepung. Di
depan rumah mereka banyak orang-orang Belanda dan pribumi yang sibuk menjarah,
membunuh dan membakar rumah. Sedangkan di belakang rumah mereka terdapat Kali
Besar Timur yang dijaga oleh tentara dan pelaut. Orang-orang Tionghoa yang
kabur lewat kali tersebut ditembak dengan sadis.
Pada Senin, 10 Oktober 1740, semua
tahanan dan pasien Tionghoa diseret dengan kejam dari penjara dan rumah sakit.
Setelah itu mereka semua dimusnahkan. Selama seminggu setelah hari pembantaian
keadaan masih menyedihkan. Bandit-bandit pribumi melanjutkan pembunuhan
terhadap orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos pada hari pembunuhan. Mereka
dibayar untuk mencari dan membunuh setiap orang Tionghoa yang tersisa.
Meskipun tidak ada rekaman atau foto
yang mengabadikan tragedi pembantaian orang-orang Tionghoa pada tahun 1740,
namun kita dapat merasakan sadisnya pembantaian tersebut melalui
tulisan-tulisan dan lukisan tentang tragedi tersebut. Berikut adalah laporan
seorang penulis Belanda bernama W.R. Von Hoevell pada tahun 1840 yang dikutip
oleh Setiono (2008: 114):
“Tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya,
terdengar jeritan ketakutan di seluruh kota dan terjadilah sebuah pemandangan
yang sangat memilukan. Perampokan terhadap orang Tionghoa terjadi di seluruh pelosok
kota. Semua orang Tionghoa, tidak perduli laki-laki, perempuan, dan anak-anak
habis dibantai. Bahkan perempuan yang sedang hamil dan menyusui anaknya juga
tidak luput menjadi korban pembantaian yang tidak mengenal peri kemanusiaan.
![]() |
|||
Ratusan tahanan yang diikat tangannya, disembelih seperti menyembelih domba. Beberapa orang Tionghoa kaya, lari mencari perlindungan ke rumah orang-orang Belanda dan Eropa lain yang dikenalnya, namun tanpa mengenal belas kasihan dan tanpa menjunjung moral serta peri kemanusiaan, mereka menyerahkan orang-orang Tionghoa tersebut kepada para pemburunyayang haus darah. Barang-barang berharga yang dititipkan kepadanya langsung diambil menjadi miliknya sendiri. Pokoknya semua orang Tionghoa, baik yang bersalah maupun tidak harus dibasmi.”
gambar 1: lukisan yang berisi situasi rumah-rumah penduduk
Tionghoa ketika dibakar oleh Belanda (sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan)
gambar 2: lukisan yang berisi tragedi pembantaian
orang-orang Tionghoa (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan)
Pasca Tragedi Pembantaian
Setelah dua minggu tragedi
menggenaskan terjadi, Valckenier baru mengambil tindakan untuk menghentikannya.
Masyarakat Tionghoa diberi ampunan dan dibolehkan tinggal di Batavia kembali. Jumlah
orang Tionghoa yang tersisa setelah pembantaian adalah 3.431 orang. Untuk
mencegah terjadinya konflik kembali maka pemerintah VOC memerintahkan penduduk
Tionghoa untuk tinggal di luar tembok kota. Daerah tersebut sekarang bernama
Glodok. Sejak saat itu orang-orang Tionghoa kembali berdatangan ke Batavia.
Pemerintah Kerajaan Belanda merasa
khawatir jika kesalahan mereka dibalas tidak hanya oleh penduduk Tionghoa yang
ada di Jawa, tetapi juga dari Tiongkok. Akhirnya VOC memutuskan untuk mengirim
utusan kepada Kaisar Kian Liong di Tiongkok pada 1 -- 2 Oktober 1742. Kedua
utusan tersebut memberi kesaksian atas peristiwa memalukan yang telah terjadi
di Batavia. Dalam pengakuan tersebut dinyatakan bahwa Belanda menyesal bahwa
karena bandit-bandit Tionghoa, orang-orang Tionghoa yang lainnya juga menjadi
korban.
Reaksi dari Dinasti Qing benar-benar
di luar dugaan. Ia membalas, seperti ditulis Liang (2012: 416), “Orang yang
keluar dari Dinasti tidak sungkan-sungkan meninggalkan kuburan nenek moyangnya,
pergi mencari nafkah ke luar negeri, maka segala urusannya tidak akan
dipedulikan lagi oleh Dinasti.”
Dalam penyelesaian secara hukum atas
kasus huru-hara ini terjadi saling tuduh-menuduh di kalangan Belanda. Tuduhan
tersebut terutama dilontarkan kepada gubernur jenderal saat itu, yaitu
Valckenier. Pada tanggal 16 Desember 1740, Dewan Hindia mengajukan mosi tidak
percaya pada Valckenier. Valckenier yang saat itu mengajukan pengunduran diri
juga melontarkan tuduhan pada Van Imhoff selaku ketua Dewan Hindia.
Pada tahun 1744 Valckenier kembali
ke Belanda untuk menjalani sidang. Namun karena sebab tertentu ia tidak bisa
sampai ke Belanda, dan singgah di Afrika Selatan. Van Imhoff juga balik ke
Belanda untuk menjalani persidangan. Namun setelah membacakan laporannya di hadapan
Heren XVII (Tuan XVII), ia malah
dijadikan gubernur jenderal yang baru dan diperintahkan kembali ke Hindia.
Persidangan Valckenier sangat
berbelit-belit dan memakan waktu yang sangat lama, yaitu sampai 10 tahun. Ia
diberatkan karena dua tuduhan pokok yang dilontarkan kepadanya. Pertama, ia
dituduh menganjurkan orang-orang Belanda untuk membasmi orang-orang Tionghoa di
Batavia saat dalam rapat dengan Dewan Hindia pada tanggal 9 Oktober 1740. Yang
kedua, tuduhan bahwa ia setelah rapat memerintahkan Sersan Mayor Hendrik
Duurveld, komandan pasukan Batavia, untuk membantai semua orang Tionghoa,
termasuk wanita dan anak-anak (Setiono, 2008: 124). Kedua tuduhan tersebut
dianggap sangat biadab dan tidak dapat diampuni oleh Heren XVII. Akhirnya
Valckenier meninggal di penjara pada 20 Juni 1751 sebelum kasusnya
diselesaikan.
Sisa kenangan tragedi pembantaian
etnis Tionghoa dapat kita lihat pada nama beberapa daerah di Jakarta. Nama Rawa
Bangke disebut demikian karena di daerah tersebut banyak terdapat jasad orang-orang
Tionghoa yang dibunuh. Begitu pun dengan Kali Angke yang dalam Bahasa Hokkian
berarti sungai merah (“Ang” berarti merah, dan “Ke” berarti sungai). Ada juga
yang mengatakan bahwa Tanah Abang berarti “tanah merah” merujuk pada darah
orang-orang Tionghoa korban pembantaian. Kata “Abang” dalam Bahasa Jawa berarti
merah.
Daftar Acuan
Liji,
L. (2012). Dari Relasi Upeti ke Mitra
Strategis: 2.000 Tahun Perjalanan
Hubungan Tiongkok - Indonesia. Jakarta: Kompas
Kemasang,
A.R.T. (1985). “How Dutch Colonialism Foreclosed a Domestic Bourgeoisie in
Java: The 1740 Chinese Massacre Reapraised”. Review IX, 57 -- 80
Setiono, B.G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta:
Elkasa
Simbolon, P.T. (2006). Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas Media
Nusantara
Suratminto, L. (2004). “Pembantaian
Etnis Cina di Batavia 1740: Dampak Konflik Golongan “Prinsgezinden” dan
“Staatsgezinden” di Belanda”. Wacana 6,
1 -- 26
https://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan
No comments:
Post a Comment