Sunday, December 10, 2017

Interpretasi Karya Seni Teater “Amor Feti” by Teater Agora

Interpretasi Karya Seni Teater “Amor Feti” by Teater Agora
"Kehidupan, Ketidakpastian, Keselamatan, Kematian"
Mendengar judulnya saya langsung tertarik melihat teater ini, pertama karena berbahasa Latin, dan kedua karena artinya “cinta pada takdir”. Berhubung teater ini dibawakan oleh Program Studi Filsafat UI, saya ingin melihat bagaimana pandangan mereka terhadap konsep “takdir”.
Di awal terlihat seseorang yang telanjang diiringi oleh beberapa orang yang bersenandung dengan melodi-melodi suara tanpa kata-kata. Dengan seseorang yang telanjang sebagai objek utama, saya langsung bisa menebak bahwa para “filsuf” ini akan mengangkat sesuatu mengenai hakikat manusia—makanya saya akan menggunakan kata “manusia” dalam tulisan kali ini. Akankah mereka akan melanjutkan misi J.J. Rousseau untuk “kembali ke alam”?
Setelah sekian lama diketahuilah bahwa tokoh telanjang itu adalah seorang bayi yang masih polos. Ia mulai menggerakkan anggota tubuhnya, berusaha bangkit namun tak bisa. Manusia-manusia bersenandung datang kembali mengelilingi sang anak dan mengucapkan bunyi-bunyi vokal yang kemudian ditiru oleh anak tersebut. Setelah pergi lingkaran manusia tersebut datang kembali dengan kata: hidup dan mati. Seiring sang anak belajar merangkak, berdiri, lalu berjalan, ia diajarkan kata-kata hingga kalimat “kehidupan adalah ketidakpastian yang butuh aturan agar selamat saat datang kematian”. Anak itu mempelajari segala hal yang diajarkan mereka. Lalu ia dipakaikan pakaian yang sama dengan mereka, setelah ia memiliki kemampuan yang sama dengan mereka. Genaplah ia sekarang menjadi manusia seutuhnya. Proses ini dapat kita lihat sebagai tahap perkembangan anak manusia menjadi anggota masyarakat.
Selama ini sang anak mengikuti lingkaran orang-orang yang mendiktekan padanya gerakan-gerakan dan kalimat-kalimat. Suatu ketika, sang anak bertanya-tanya apa makna dari kalimat yang telah ia pelajari, “kehidupan adalah ketidakpastian yang butuh aturan agar selamat saat datang kematian”. Ia tidak mendapat jawaban. Orang-orang di sekelilingnya bungkam sambil tetap mendiktekan kalimat tersebut, berjalan lurus mengikuti “aturan”. Ini adalah perlambang masyarakat yang konservatif dan selalu mengikuti aturan-aturan yang kaku dan membatasi yang bahkan mereka sendiri tidak tau kebenarannya.
Suatu ketika sang anak mengalami peristiwa yang menjadi pertanyaan besar baginya. Ia dapat berjalan ke belakang, ke samping, cepat, lambat, dan bergerak sesukanya. Tentunya berbeda dengan yang diajarkan orang-orang di sekelilingnya. Hal ini adalah sebuah tramendum yang membuatnya bertanya-tanya dan menyintesa pendapatnya sendiri. Lalu sifat skeptisnya membuat ia mendobrak aturan tersebut. Ia melawan pengotakkan manusia yang dilakukan lingkaran manusia tersebut dengan pemikiran seorang skeptis yang mencari kebenaran, yaitu kebebasan. Betapa tokoh ini seorang filsuf yang ideal.
Semakin besar resistensi yang dilakukan, semakin kuat pula opresi yang dilakukan orang-orang di sekitarnya dengan aturan-aturan yang dipaksakan. Lingkaran manusia di sekeliling sang anak semakin lama semakin sempit menyebabkan ruang geraknya semakin sempit pula. Sang anak tidak dapat bebas dari lingkungan tersebut hingga pada akhirnya ia benar-benar stuck. Pun ketika ia menyadarkan manusia-manusia di sekitarnya akan potensi mereka—bergerak sesuai kehendak mereka (free will)—ia justru ditampar tanpa jawaban sedikitpun. Lalu ia berusaha memanjat dinding manusia tersebut agar bisa terlepas, namun tak bisa. Kakinya diinjak dan terlihat senyum dari manusia di sekitarnya yang membawa aturan-aturan: sebuah senyum kemenangan orang-orang konservatif atas kekalahan seorang skeptis.
Sang pemberontak akhirnya mengikuti orang-orang di sekitarnya. Ia tak lagi menanyakan kenapa ia harus mengikuti aturan tapi ia terpaksa mengikuti mereka. Ia ikut bergerak dalam pola-pola terbatas membawa kalimat-kalimat yang dulu ia tentang. Keterpaksaan terlihat dari tokoh utama yang menyiratkan bahwa apa yang ia ikuti menentang pemikirannya sendiri. Aturan di masyarakat telah berhasil dipaksakan pada individu tanpa penjelasan esensi dari aturan tersebut. Aturan tersebut adalah aturan yang dibuat karena kehidupan tidak pernah pasti yang kemudian membutuhkan aturan agar selamat saat datang kematian.
Tidak perlu diragukan lagi, setidaknya bagi diri saya sendiri, bahwa yang dibicarakan dalam hal ini adalah agama yang selalu berbicara tentang keselamatan setelah kematian. Tak dapat dipungkiri juga bahwa aturan-aturan dalam agama tersebut dibuat karena ketakutan akan kematian yang tidak pernah pasti sehingga manusia menciptakan ‘keselamatan” sendiri yang (sayangnya) diterima oleh dan dipaksakan pada masyarakat umum. Setiap yang mempertanyakan atau bahkan melawan akan dibungkam dan akhirnya akan tetap mengikutinya. Negosiasi-negosiasi yang diupayakan-individu-individu skeptis terhadap masyarakat sama sekali tidak berhasil. Akhirnya keselamatan yang dijanjikan saat datang kematian bagi individu-individu yang mengikuti aturan pun tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

Akhir kata saya ingin menyintesa kembali kalimat teater ini “kehidupan adalah ketidakpastian yang butuh aturan agar selamat saat datang kematian” menjadi “kehidupan adalah ketidakpastian yang dibuatkan aturan untuk keselamatan yang tak pasti saat datang kematian”.

Wednesday, November 22, 2017

Terbentuknya Kebudayaan: Sebuah Renungan Filosofis

Terbentuknya Kebudayaan: Sebuah Renungan Filosofis dan Interpretasi Film “The Skin I Live In”
Kembali lagi bicara mengenai kebudayaan, lanjutan dari post sebelumnya. Jadi, kali ini aku akan menuliskan jawaban atas pertanyaan bagaimana terbentuknya budaya atau kebudayaan yang aku dapatkan di kelas filsafat budaya. Bagi yang belum membaca post sebelumnya, ada baiknya dibaca dulu disini.
Jadi, bagaimana kebudayaan itu muncul dan diterima oleh masyarakat?
Dalam post sebelumnya aku telah menyinggung mengenai tramendum. Tramendum atau event adalah hal pertama yang mendorong lahirnya kebudayaan. Manusia terpesona/terpukau/terheran-heran oleh suatu peristiwa dalam hidupnya sehingga membuatnya bertanya-tanya. Tidak puas bertanya-tanya, manusia melakukan aksi atau aktivitas untuk memenuhi hasrat ingin tahunya itu. Hal ini dialami oleh tokoh dokter kulit Robert Ledgard dalam film “The Skin I Live In” (2011) dari sutradara Pedro Almodóvar. Kematian istrinya dengan cara bunuh diri dilatarbelakangi oleh kulitnya yang terbakar dan tidak seperti manusia lagi. Dokter Robert sangat terpukul oleh hal tersebut. Keterpukulan ini diperparah oleh peristiwa kedua dimana ia harus kehilangan putrinya yang juga bunuh diri karena gangguan psikologis yang dilatarbelakangi oleh hubungan seksual dengan seorang pria.
                Kedua events yang membuat dokter Robert sangat terpukul ini mendorongnya melakukan percobaan untuk menemukan kulit dari hasil rekayasa gen manusia dan babi hutan, yang menghasilkan kulit yang sangat baik untuk manusia. Di sini terlihat si dokter menggunakan akal dan potensi dirinya untuk memenuhi kehendaknya dengan mengolah atau memberikan perubahan pada hal-hal di sekitarnya—dalam hal ini kulit manusia.
                Kemudian dokter Robert memperkenalkan kulit buatan tersebut pada orang lain dalam sebuah kongres. Dalam hal ini ia mencoba memperkenalkan pada masyarakat (dengan menganggap orang-orang dalam kongres adalah perwakilan masyarakat) sebuah karya individu yang berlum pernah sebelumnya: kulit buatan berkualitas tinggi yang mengandung gen babi. Di masyarakat, karya ini menjadi persoalan karena menentang norma yang ada, yaitu dengan mengotori gen manusia dengan gen babi. Semua orang tidak setuju atas apa yang ia lakukan dan melarangnya.
                Semakin besar opresi yang dilakukan masyarakat, semakin besar pula resistensi yang dilakukan oleh individu yang diopresi. Larangan yang diberikan masyarakat pada si dokter malah membuatnya lebih ingin mengembangkan karyanya. Ia memanfaatkan pria yang telah menyebabkan putrinya meninggal sebagai objek percobaan. Kulitnya diganti dengan kulit buatan si dokter sampai menyerupai seorang wanita. Hal ini juga didorong oleh kehendak dokter Robert untuk mengembalikan istrinya yang telah meninggal.
                Tidak hanya sampai di situ, dokter Robert juga mendobrak norma lainnya bahkan nature manusia, yaitu dengan mengganti kelamin pria objeknya tadi menjadi kelamin perempuan. Sempurnalah pria itu menjadi istrinya. Selanjutnya ia diberi obat-obatan untuk melupakan segalanya dan menjadi setia pada si dokter.
                Persoalan di masyarakat seperti pro kontra yang berkecamuk di kehidupan dokter Robert menjadi langkah kedua yang harus dilalui sebuah karya untuk menjadi kebudayaan. Di sini pada umumnya otonomi berada pada masyarakat sehingga karya individu banyak ditolak jika bertentangan dengan “jiwa” masyarakat.
                Terakhir adalah permasalahan kosmologis, dengan kata lain segala hal yang berhubungan dengan “tempat” dan “waktu”. Di lingkungan masyarakat seperti di film The Skin I Live In misalnya, percampuran gen manusia dengan gen babi sangatla dilarang. Begitulah dengan pergantian jenis kelamin (transseksual). Namun di akhir film dapat dilihat bahwa pria yang sudah diberi kulit dengan gen babi dan dengan jenis kelamin yang berbeda menjadi berterima, setidaknya di lingkungan keluarganya. Scene terakhir ini menunjukkan bahwa tidak semua kebudayaan berlaku di masyarakat meskipun beberapa orang menerimanya. Begitu juga sebaliknya, kebudayaan yang berlaku umum di masyarakat juga tidak selalu berterima pada setiap individu dalam masyarakat itu.

                Jadi, segala sesuatu akan melewati tiga tahap untuk menjadi kebudayaan di masyarakat, yaitu: (1) tramendum yang menstimulasi terbentuknya kebudayaan tersebut, biasanya terjadi pada individu; (2) pro-kontra di masyarakat yang menyebabkan sebagaian hal gagal menjadi kebudayaan dan sebagian lain berhasil; dan terakhir (3) kosmologi atau tempat dan waktu yang tepat untuk sesuatu tersebut menjadi kebudayaan yang berterima di masyarakat.

Kebudayaan dan Kemunculannya: Sebuah Renungan Filosofis

Kebudayaan dan Kemunculannya: Sebuah Renungan Filosofis
           Dengan sisa kredit yang aku punya di semester 7 ini, aku berkesempatan mengambil kelas di luar prodi aku sendiri, Sastra Belanda. Lelah dengan bahasa dan sastra, aku memberanikan diri utk mengambil kelas dari prodi Filsafat, yaitu kelas Filsafat Budaya yang diampu oleh bapak Tommy Awuy. Banyak hal yang aku pelajari dari kelas ini. Pada pertengahan semester kemarin kita ada ujian tengah semester. Aku menyangka kita akan disuruh menganalisis sebuah fenomena kebudayaan dengan teori-teori filsafat budaya. Ternyata kita malah diminta untuk menjelaskan dengan kalimat sendiri apa itu budaya dan bagaimana budaya itu muncul dalam waktu sekitar 90 menit. So, berikut adalah jawaban gue waktu itu tanpa diubah sedikitpun kecuali kesalahan pengejaan yang dikarenakan kepanikan saat ujian hehe.
Apa itu kebudayaan?
Kata “culture” berasal dari Bahasa Latin “colere” yang berarti mengelola, membudidayakan, atau mengolah. Makna ini termanifestasi dalam kata “cultivate” dalam Bahasa Inggris yang juga berarti membudidayakan. Sedangkan kata “budaya” dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata “budi” (pikiran, gagasan) dan “daya” yang berarti kemampuan. Berangkat dari etimologi kata “culture”, kita dapat melihat kebudayaan itu sebagai upaya manusia untuk mengolah lingkungan tempat ia tinggal. Ada yang mengatakan bahwa dimana ada manusia di situ ada kebudayaan. Dalam mengolah lingkungannya manusia dibekali dengan pikiran (akal), perasaan dan kehendak. Dari ketiga hal tersebut terciptalah perubahan-perubahan yang ada di lingkungan seperti dibuatnya saluran irigasi, pondok, tambak ikan, jalan raya, rel kereta api, sampai gedung-gedung yang tinggi. Semua perubahan (atau dapat juga dikatakan karya manusia) di lingkungan tersebut merupakan ekstensi atau perpanjangan dari diri manusia itu sendiri. Teropong adalah ekstensi dari mata manusia, sepatu dan pakaian adalah ekstensi dari kulit manusia yang melindunginya dari panas, dan telepon atau gadget adalah ekstensi dari alat ucap manusia.
                Seiring dengan berkembangnya kebudayaan, manusia menghasilkan berbagai produk budaya. Segala sesuatu yang terdapat di lingkungan manusia yang tidak alamiah lagi adalah produk budaya. Bahkan udara di dalam kelas juga terkena sentuhan budaya manusia sehingga dapat diatur suhunya, sehingga merupakan produk budaya. Selain produk materiil juga terdapat produk budaya immateriil (tak benda), seperti bahasa, nyanyian, puisi dan lain-lain. Semua produk budaya tersebut diciptakan dan sebagian ditinggalkan seiring berjalannya waktu, silih berganti sesuai kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Seiring dengan itu kebudayaan juga semakin kompleks dan batasnya semakin luas.
                Selain mengekstensi dirinya dengan mengolah alam, manusia juga mengolah dirinya sendiri. Manusia memiliki potensi diri yang dapat dikembangkan untuk keperluannya. Dengan demikian lahirlah karya-karya dari hasil pemikiran manusia seperti bahasa, sastra dan karya seni..
                Manusia adalah makhluk yang terbatas namun pemikiran manusia seringkali berusaha mencapai hal-hal yang transenden atau di luar batasnya. Di samping menghasilkan karya, manusia juga melakukan perenungan. Hal-hal yang direnungkan termasuk hal-hal yang tidak ia saksikan seperti asal mula kejadian manusia dan alam semesta yang sebagian dari hasil pemikiran itu menghasilkan konsep tuhan atau supreme power yang bertahan hingga saat ini. Sebagian manusia tidak puas dengan merenung saja, mereka juga butuh reason (alasan). Dengan demikian, ilmu pengetahuan berkembang menggantikan mitos-mitos hasil perenungan yang tak berlandaskan empirisme (pengalaman). Akhirnya manusia dapat mencapai hal-hal yang transenden itu seperti pengetahuan mengenai angkasa yang sangat luas sampai atom atau virus yang sangat kecil dan tidak mungkin dilihat oleh mata manusia tanpa alat khusus.
                Capaian-capaian manusia itu seringkali dilatarbelakangi oleh suatu tramendum atau peristiwa yang sangat berkesan baginya. Tramendum ini mendorongnya untuk melakukan suatu aksi yang berujung pada sebuah penemuan atau karya. Misalnya Newton yang terkesan hanya oleh sebuah apel yang jatuh. Lalu ia bertanya-tanya kenapa arah jatuhnya selalu ke bawah, begitu juga dengan kenapa kertas atau kapas mencapai tanah lebih lambat dari apel atau batu misalnya. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa ada percepatan gravitasi yang bernilai sama semua benda namun bentuk kertas yang lebar mendapat gaya dorong oleh angin secara lebih kuat dibandingkan apel sehingga jatuh lebih akhir. Kesimpulan mengenai gaya dan percepatan gravitasi ini adalah karya yang sangat bermanfaat di dunia ilmu pengetahuan hingga sekarang.
                Selain tramendum (event), manusia juga mengalami apa yang dikenal dengan misterium dan fascinatum. Misterium adalah peristiwa atau hal yang membuat manusia bertanya-tanya. Sedangkan fascinatum adalah hal atau peristiwa yang membuat manusia terpesona (fascinated). Baik tramendum, misterium maupun fascinatum sama-sama berperan mendorong manusia untuk beraktivitas dan berkreasi hingga menghasilkan karya.
Jadi, kebudayaan tidak lain adalah hasil interaksi manusia dengan lingkungannya dan dirinya sendiri. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis berupa produk-produk budaya, tetapi di dalamnya termasuk proses yang dinamis.

                Lalu, bagaimana kebudayaan-kebudayaan itu muncul? Ini adalah pertanyaan kedua dalam soal filsafat budaya yang aku dapatkan. Jawaban dari pertanyaan ini akan aku tuliskan dalam postingan berikutnya. Ditunggu, salam, terima kasih J

Monday, January 30, 2017

Polemik Kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana

Analisis Buku Polemik Kebudayaan
Kamis, 31 Maret 2016
Nama   : Tomi Tri Anggara
NPM   : 1406538076

Dalam buku Polemik Kebudayaan, Achdiat K. Mihardja mengumpulkan tulisan-tulisan dari penulis dan para ahli, baik di bidang kebudayaan maupun tidak, yang dimuat dalam berbagai terbitan seperti Suara Umum dan Pujangga Baru pada tahun 1935. Tulisan-tulisan yang berpusat pada Sutan Takdir Alisjahbana tersebut berbicara tentang kebudayaan Indonesia yang memunculkan beberapa polemik. Ketiga polemik itu adalah mengenai:
1.      Masyarakat dan Kebudayaan Baru
2.      Pendidikan Nasional
3.      Peran Pendidikan dalam Pembangunan Bangsa

A.    Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia yang Baru
Pada polemik pertama, Sutan Takdir Alisjahbana dan yang lainnya memperdebatkan masalah kebudayaan Indonesia yang baru. Hal ini sangat cocok dibahas pada saat itu, yaitu tahun 1935, mengingat Indonesia sedang berada pada masa kebangkitan dan pergerakan.
Dalam hal ini, Sutan Takdir Alisjahbana membagi sejarah menjadi zaman pra-Indonesia dan zaman Indonesia. Zaman pra-Indonesia merujuk kepada zaman sebelum adanya semangat kemerdekaan – zaman kerajaan, sedangkan zaman Indonesia ditandai dengan mulai munculnya semangat nasionalisme pada abad kedua puluh. Menurut Alisjahbana, zaman Indonesia adalah zaman yang baru dan tidak merupakan kelanjutan dari zaman pra-Indonesia. Dari sinilah sebenarnya polemik ini muncul: zaman yang baru membutuhkan kebudayaan yang baru.
Pendapat Sutan Takdir ini ditentang oleh Sanusi Pane, yang mengatakan bahwa sejarah itu selalu berlanjut.  Jadi, apa yang dikatakan oleh Sutan Takdir menurutnya adalah salah. Indonesia haruslah lanjutan dari pra-Indonesia. Sanusi Pane juga mengatakan bahwa keindonesiaan sudah ada dari dulu, sebelum pra-Indonesia, pada masa kerajaan-kerajaan dahulu.
Sutan Takdir yang sebelumnya sedikit gegabah dengan ketidak berlanjutan pra-Indonesianya kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud baru adalah semangat keindonesiaan. Pendapat ini terlihat sangat realistis karena memang semangat keindonesiaan yang benar-benar disadari itu baru muncul pada abad ke-20. Sedangkan sebelumnya Indonesia masih terbagi-bagi dalam kerajaan atau residensi tertentu. Di lain sisi, Sutan Takdir membenarkan bahwa memang ada unsur-unsur pra-Indonesia dalam Indonesia. Meskipun unsur-unsur itu tidak harus ada dalam kebudayaan baru.
Penjelasan kembali oleh Sutan Takdir ini terlihat tidak konsisten oleh Purbatjaraka. Sependapat dengan Sanusi Pane, dia menyatakan sejarah memang selalu berkelanjutan. Akhirnya Sutan Takdir kembali menjelaskan bahwa sejarah memang berkelanjutan di satu sisi, dan di sisi lain keberlanjutan itu tidak ada, ada sesuatu yang kadang terputus dan digantikan oleh hal yang baru. Dan semangat keindonesiaan adalah sesuatu yang baru muncul pada masa Indonesia.
Dalam kebudayaan Indonesia yang baru, Sutan Takdir berpendapat bahwa kebudayaan itu haruslah sesuatu yang benar-benar baru yang dirumuskan sendiri oleh bangsa Indonesia. Kemudian dalam perumusan kebudayaan baru tersebut, Sutan Takdir menegaskan bahwa kita harus terbebas dari kebudayaan pra-Indonesia. Karena jika kita bertumpu pada kebudayaan lama yang beragam di Indonesia, maka akan sulit untuk menyatukannya. Dan tidak dipungkiri akan terjadi perselisihan. Jadi, menurut Sutan Takdir, kita harus melihat ke depan, bukan memandang masa lalu. Selain itu, dia juga menyatakan bahwa Indonesia harus meniru kedinamisan masyarakat Barat agar lebih maju. Dari sini dapat kita lihat Sutan Takdir sangat futuristik dalam pemikirannya tentang kebudayaan Indonesia.
Sanusi Pane agak kurang setuju dengan hal tersebut. Karena menurutnya Indonesia itu haruslah memiliki kebudayaan mistik, menyatu dengan alam, dan melepaskan jasmani. Sedangkan Barat, menurutnya hanya mementingkan materi dan bersifat individualistis. Sanusi Pane berpendapat bahwa materialisme dan individualisme itu tidak perlu di Indonesia. Lalu, untuk kebudayaan Indonesia, dia lebih memilih untuk mempertahankan budaya asli pra-Indonesia dan memperluasnya dengan budaya Barat. Pendapat Sanusi Pane ini jelas sekali menempatkan kebudayaan asli (pra-Indonesia) sebagai prioritas.
Senada dengan itu, Purbatjaraka juga melihat ke masa lampau (pra-Indonesia). Berbeda dengan Sutan Takdir yang dengan tegas bersifat futuristik. Bagi Purbatjaraka, perjalanan sejarah adalah akar dari kebudayaan baru. Menurut Purbatjaraka, kita tidak harus melulu mengejar Barat, juga jangan mabuk budaya kuno, tetapi mencari mana yang terbaik dari keduanya. Pendapatnya ini terdengar netral.
Dalam polemik pertama ini, Sutan Takdir sangat kukuh pada pendiriannya bahwa Indonesia harus mengejar kemajuan barat. Pernyataan yang terdengar ekstrim ini bagi sebagian orang mungkin dimaknai sebagai ungkapan pro kebudayaan Barat. Tetapi Sutan Takdir dengan tegas menyatakan bahwa yang kita contoh bukanlah kebudayaan barat, tetapi kedinamisan masyarakatnya yang mengantarkan mereka mencapai kemajuan tersebut. Sudah seharusnya Indonesia menyadari dinamisnya kebudayaan. Jadi, kebudayaan baru Indonesia harusnya dibuat dengan berakarkan pada kebutuhan di masa depan, bukan masa lampau. Selain itu, pendapatnya bahwa kita harus bebas dari kebudayaan lama juga bukan berarti kita harus melupakan sama sekali hal tersebut, tetapi itu berarti kita tidak harus terikat darinya.

B.     Semboyan yang Tegas untuk Pendidikan Indonesia
Kemunculan polemik kedua ini diawali dengan pendapat Sutan Takdir Alisjahbana menanggapi hasil Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia tahun 1935.
Dalam komentarnya, Sutan Takdir mengatakan bahwa sifat kehati-hatian bangsa Indonesia yang berlebihan cenderung berbuah anti-intelektualisme, anti-individualisme, anti-egoisme dan anti-materialisme. Hal itu dirasakan Sutan Takdir dalam kongres tersebut. Dan tentunya dia tidak setuju dengan hal tersebut. Karena sifat “anti-anti” tersebut membuat kita tidak berkembang.
Individualisme, menurut Sutan Takdir, tidak menyebabkan kekacauan, tetapi malah pergolakan dirinya akan menimbulkan semangat untuk bangkit. Dari sinilah setiap individu akan menemukan jalan untuk mengembangkan dirinya dan bangsanya. Sejarah pun membuktikan bahwa kemajuan Indonesia belakangan ini dipengaruhi dengan sangat oleh didikan Barat. Dia melihat permasalahannya di sini adalah bangsa Indonesia terlalu takut sehingga melihat produk Barat (intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme) sebagai permasalahan untuk negeri sendiri, padahal permasalahan bangsa Indonesia bukan itu. Yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah mengasah kecerdasannya yang tertinggal. Salah satu prasaran dalam kongres yang dikritik oleh Sutan Takdir karena tidak sesuai dengan pandangannya adalah sistem pendidikan pesantren.
R. Sutomo yang merupakan salah seorang pendukung sistem pendidikan pesantren memaparkan sedikit perbedaan pandangannya mengenai pendidikan Indonesia. Awalnya dia mengatakan bahwa dia bukan anti-intelektualisme, begitu juga pemrasaran dalam kongres pengajaran. Kemudian dia juga tidak merasa bahwa pesantren itu anti-individualisme, tetapi menciptakan “aku” (ego) yang maha besar. Karena di dalam pesantren diajarkan cinta kasih dan masih ada pengawasan keluarga. Pendapat ini mungkin terdengar naif. Sutomo melihat egoisme bersifat merusak, sehingga mengusahakan altruisme melalui pesantren. Dia juga anti-materialisme dengan menganggap bahwa kebahagiaan tetap bisa tercapai tanpa materi atau dalam keadaan kekurangan. Jika dilihat, pendapat ini juga sedikit naif, terutama jika dilihat dari kacamata  zaman sekarang.
Sutan Takdir menilai pendidikan ala pesantren terlalu berpusat pada kiai. Sehingga individu-individu selain kiai menjadi mati. Selain itu semangat yang ada dalam pesantren hanya berupa kelembutan rasa dan keelokan masyarakat yang statis. Situasi ini akan membuat bangsa Indonesia menjadi lemah jika berhadapan dengan bangsa lain yang terbiasa untuk rajin berpikir dan bekerja. Sutan Takdir lebih mengunggulkan sistem pengajaran Barat, yang menurut Sutomo hanya berisi pengajaran, tetapi kemudian ditampis oleh Sutan Takdir karena dalam pengajaran juga secara implisit terdapat pendidikan. Pengajaran Barat cocok dengan semboyan positif Sutan Takdir yang intinya adalah bahwa pendidikan harus bersifat aktif membangun daya pikir kreatif, membangun inisiatif, dan semangat bekerja dan berusaha sendiri. Sutan Takdir juga secara realistis menyadari kekurangan dalam sistem Barat, namun menurutnya itu bukan alasan untuk kita menjadi anti terhadap sistem pengajaran itu. Karena, di situlah tugas kita untuk meningkatkannya. Menurutnya kita juga tidak boleh terlalu idealis.
Tjindarbumi memberi respon positif terhadap Sutan Takdir tentang sistem pengajaran Barat. Namun ia juga menetralkan situasi dengan mengatakan bahwa Timur (dalam hal ini Indonesia) memang harus mencontoh Barat dalam hal-hal tertentu terutama ilmu pengetahuan, sedangkan Barat juga banyak belajar dari Timur terutama mengenai kesabaran dan ketenteraman hari.
Sutomo membalas kritikan itu dengan mengemukakan kelemahan sistem pengajaran Barat: tidak mengandung pendidikan, sehingga kaum inteleknya kurang bergirah dalam mengabdi kepada bangsa, serta pengetahuannya yang tinggi tidak disertai dengan budi yang luhur dan etika yang baik. Menurutnya, kemajuan akan tercapai jika kebudayaan asli tetap dipakai, di samping alat-alat dan ilmu pengetahuan Barat. Itu semua terdapat dalam pesantren, pikirnya.
Sutan Takdir melihat permasalahannya lain lagi. Kurang bergairahnya kaum intelek Indonesia karena sudah terlalu lama menjadi hamba kiai. Jadi, kita harus melepaskan diri dan juga berhenti menjadi hamba sejarah. Dalam pengajaran Barat, dia yakin adanya pendidikan yang terselip.
Dalam perdebatan tentang pendidikan nasional itu muncul Adinegoro yang mengamini munculnya sintesis antara pandangan Sutan Takdi dengan pandangan Sutomo. Hal itu sudah ideal sekali jika kita menganggap pandangan masing-masing tokoh itu sebagai tesis dan antitesis bagi yang lain. Namun, idealisme masing-masingnya “terikat” dengan kuat pada posisi masing-masing yang berlawanan.
Terhadap Sutan Takdir, Adinegoro tidak setuju dengan pernyataan bahwa intelektualisme, individualisme, egoisme dan materiaisme bukan permasalahan bangsa kita, tapi bangsa Eropa. Menurut Adinegoro justru itu permasalahan besar bangsa kita. Keempat nilai itu bertentangan dengan ajaran agama. Selain itu, individualisme, egoisme dan materialisme juga merupakan penyebab masalah besar bagi sosial, karena dapat menyesatkan orang banyak. Menanggapi hal ini, Sutan Takdir menjelaskan tentang prioritas. Prioritas terbesar masalah Indonesia adalah bagaimana untuk “mengasah otak” bangsanya, belum sampai pada keempat hal tersebut.
Dari tulisannya tampak bahwa Adinegoro telah memfasilitasi untuk dialog-dialog seterusnya dari Sutan Takdir dengan Sutomo agar tercipta suatu sintesa. Adinegoro telah meluruskan perselisihan dan menjelaskan letak permasalahan dengan memaparkan tentang kebudayaan dan peradaban. Intinya adalah bahwa peradaban dapat dipindahkan atau ditiru, tetapi kebudayaan tidak. Sayangnya tidak ada kelanjutan dari Sutomo. Di samping itu, Adinegoro tidak memberi sikap sendiri mengenai permasalahan yang sedang dibahas, yaitu pendidikan nasional. Tetapi ia menginginkan kedua belah pihak memaparkan pandangannya secara lebih detil mengenai permasalahan tersebut.
Ada satu pendapat yang disanggah oleh Sutan Takdir, yaitu bahwa ilmu pengetahuan itu milik Barat. Sebenarnya, menurut Sutan Takdir, ilmu pengetahuan dan teknik itu bisa saja lahir dari kebudayaan Timur, hanya saja harus dengan jiwa yang aktif. Dari sini tampak bahwa Sutan Takdir menginginkan perubahan sampai ke akar-akarnya. Selain itu, dia juga ingin menghapuskan stereotip yang menganggap Barat hanya penuh dengan intelektualitas dan individualitas, dan Timur agamais, berbatin luhur dan berohani mulia. Stereotip ini mungkin yang membuat orang semakin menghindari Barat jika terjebak di dalamnya. Dari sini terlihat oleh kita skeptisisme Sutan Takdir yang radikal. Seperti yang dikatakan René Descartes bahwa kita harus meragukan segala hal. Di luar daripada itu, apakah sebuah bangsa yang benar-benar berbudi luhur mengatakan pada semua orang bahwa dirinya berbudi luhur dan bangsa lain tidak? Justru itu adalah suatu bentuk ketidakluhuran menurut saya. Karena indikator keluhuran di tiap-tiap kelompok manusia itu berbeda-beda.
Setelah mendekonstruksi semuanya, sampailah Sutan Takdir pada kesimpulan bahwa pandangan hidup Barat atau Islam (yang murni) sangat cocok untuk dipakai oleh Indonesia. Karena keduanya mengajarkan kita untuk menguasai alam dan berjuang bersamanya. Artinya, kehidupan mistis yang berasal dari India harus digantikan oleh yang dua itu. Karena mistik, penyatuan dengan alam, serta orientasi pada kehidupan nirwana (akhirat) yang diajarkan dari India tidak cocok lagi untuk mencapai masyarakat dinamis yang aktif berpikir dan bekerja.
Keputusan Sutan Takdir mengenai roh Semitik dan India ini dipandang oleh Dr. M. Amir sebagai pembicaraan mengenai falsafah budaya. Jadi, Sutan Takdir membahas sampai ke akar-akar kebudayaan. Jadi, ada perbedaan tingkatan yang dibahas oleh Sutomo dan Sutan Takdir. Sutomo hanya membahas sistem pengajaran, terutama sistem pesantren yang dicitacitakannya. Sedangkan Sutan Takdir selain menyarankan sistem pengajaran Barat, tetapi juga mengemukakan pandangannya mengenai falsafah kebudayaan yang seharusnya dipakai Indonesia.
Dengan memaparkan tentang kultur, zivilisation, dan bildung, etimologinya, serta psikologi sejarah, M. Amir mendekonstruksi kebudayaan Barat dan Timur. Sehingga kita mendapat pemahaman yang lebih jelas. Setelah itu, dia menginginkan untuk meninjau kembali dan mengkaji pendapat Sutan Takdir, dan juga Sutomo, untuk mengtahui apakah kebudayaan Barat benar-benar cocok dengan Indonesia dan bagian mana dari kebudayaan Barat itu cocok dengan Indonesia. Meskipun pada akhirnya dia juga tidak keberatan dengan sistem pengajaran Barat yang diajukan Sutan Takdir. Dia juga melumrahkan mengarah ke Barat. Namun, satu hal yang diragukannya adalah bagaimana Sutan Takdir bisa menyelaraskan Islam dengan Barat, sedangkan individualisme Barat bertentangan dengan Islam.
Ki Hajar Dewantara melihat perdebatan antara beberapa orang tadi sebagai sesuatu yang natural. Menurutnya adalah suatu kewajaran atau hukum alam dimana perubahan itu tidak dapat disangkal. Ada unsur kebudayaan yang berubah, hilang atau tetap bertahan. Di lain sisi, pendapat orang-orang mengenai perubahan itu berbeda-beda. Ada yang menyesali dan ada yang menginginkannya. Hal itu dikarenakan sifat-sifat yang berbeda: konservatif, liberal, radikal. Terlepas dari kenaturalan itu, Ki Hajar Dewantara lebih dekat ke Sutomo karena menjunjung kebangsaan Indonesia.

C.     Pendidikan untuk Pembangunan Bangsa Indonesia
Dalam polemik ketiga ini, pendidikan, selanjutnya, dituntut untuk bisa memenuhi pekerjaan pembangunan bangsa.
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, dalam pembangunan ada syarat yang harus terpenuhi, yaitu manusia satu persatu harus tumbuh ke segala arah. Dan hal itu dapat diwujudkan melalui pendidikan.
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa ilmu pengetahuan dapat dicapai dengan jiwa yang aktif, maka dalam pembangunan bangsa hal yang demikian juga dibutuhkan. Karena masalah bangsa adalah sesuatu yang totalitas, saling terkait antar unsur-unsurnya. Meskipun jiwa bangsa tidak sama dengan jiwa tiap-tiap individu, tetapi ia tetaplah sesuatu yang bergerak, hidup dan berubah. Jiwa itu tidak ditentukan oleh ras yang didapat secara turun-temurun. Jadi, ia dapat dirubah. Di sini ditegaskan kembali oleh Sutan Takdir bahwa ia tidak meniru budaya Barat. Tetapi dengan jiwa bangsa yang sedinamis jiwa bangsa Barat, Indonesia bisa menciptakan budaya sendiri, dengan daya ciptanya sendiri. Jadi, sekali lagi, dia bukan tidak meniru Barat, tetapi hanya memuji sifat-sifat unggul Barat yang memberi dinamika ke dalam kehidupan masyarakatnya, yaitu rasionalisme, individualisme dan positivisme.
Menurut Sutan Takdir, pemimpin-pemimpin ekonomi, sosial, politik, seni dan lain-lain memiliki pengaruh besar. Sehingga mereka harus menyadari bahwa mereka harus mencapai apa yang mereka kehendaki. Mereka harus mendidik jiwa lebih keras lagi.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk itu adalah dengan motievencultuur. Dengan memberikan cita-cita, harapan dan mimpi pada semua orang maka Indonesia bisa mendapat arti yang nyata. Sehingga Indonesia menyadari bahwa ia adalah bangsa yang terpilih oleh Tuhan. Jadi, dengan motivasi semua orang bisa disadarkan akan kepentingan mengolah dirinya dan bangsanya menjadi lebih maju lagi.
Dr. M. Amir menanggapi pendapat Sutan Takdir mengenai budaya asli Indonesia. Menurutnya, kebudayaan India (Hindu-Budhis) yang telah menjadi roh Indonesia tidak dapat dihilangkan karena kebudayaan India itulah yang telah menyebabkan kehalusan dan keluhuran suku-suku di Indonesia. Kebudayaan itu telah mengakar dalam bahasa, seni, ritual dan lain-lainnya. Jadi, kebudayaan India tidak boleh kita buang begitu saja. Karena menurut M. Amir, jika kita meniru Barat berarti kita menjiplak, sedangkan jika kita memadukan India dengan Barat, berarti kita berasimilasi. Tentu kita akan memilih asimilasi. Jadi, menurut M. Amir, kita harus memadukan kebudayaan India yang telah menjadi budaya asli Indonesia dengan kebudayaan Barat.
Sutan Takdir menentang dengan keras kata menjiplak dari M. Amir. Karena telah dikatakan berulang kali dalam buku itu bahwa kita hanya harus menyamai kemajuan Barat, dengan cara sendiri, menghasilkan kebudayaan sendiri yang orisinil. Dari segi waktu memang sejarah selalu mengalir, tetapi dalam sejarah selalu ada perubahan dan pertukaran pikiran, anggapan, kemauan dan cita-cita. Kebudayaan lama bukan berarti dibuang begitu saja, tetapi lambat laun juga akan berubah fungsinya.

D.    Indonesia pada Masa Sekarang
Menurut saya sendiri, Sutan Takdir Alisjahbana itu layak disebut seorang tokoh renaissance Indonesia. Kita bisa lihat betapa tegas dan radikalnya dia dalam mengobarkan semangat kedinamisan Barat kepada rakyat Indonesia. Intelektualisme, individualisme, egoisme, dan materialisme ingin dia hidupkan sehidup-hidupnya. Semoga tidak berlebihan jika saya menyamakan dia dengan Matin Luther yang berani menentang tradisi dan ingin mengubahnya secara fundamental. Perbedaannya adalah Sutan Takdir tidak sampai membentuk kelompok sendiri.
Mungkin cita-cita beliau untuk keempat hal tersebut hampir terpenuhi sekarang, karena pemikirannya memang sangat futuristik. Intelektualisme mendapat tempat yang penting dalam masyarakat sekarang. Sekolah-sekolah bertebaran dimana-mana. Pendidikan mendapat prioritas dalam pemerintahan. Dan akses ke pendidikan sudah bisa didapatkan oleh hampir semua orang.
Materialisme juga sangat hidup sekarang ini. Uang adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Transaksi ekonomi, eksploitasi bumi, produksi dan konsumsi menjadi lebih, bahkan sangat intens di Indonesia. Bahkan Indonesia memiliki perekonomian yang relatif terbesar di dunia. Hanya saja masih rendah jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.
Individualisme dan egoisme mungkin terdengar negatif, bahkan bertentangan, jika kita tempatkan pada lahan sosial. Namun, jika kita cermati situasi saat Sutan Takdir menulis opininya, mungkin kita juga akan lebih memilih dua hal ini. Karena dengan kolektivisme dan altruisme pada saat itu, masyarakat menjadi statis. Semua dilakukan atas rasa kebersamaan. Terdengar indah, namun tidak ada desakan kepentingan pribadi yang membuat seseorang berpikir dan bekerja. Kiai-sentral juga menyebabkan orang-orang kebanyakan tidak bebas berpikir secara individu. Di sinilah pentingnya individualisme dan egoisme yang saya tangkap dari Sutan Takdir. Coba kita lihat kasus Freeport. Bertahun-tahun perusahaan Amerika itu mengeruk bumi Indonesia dengan memberikan sedikit sekali profit dan loyalty kepada Indonesia. Jika individualisme sudah mantap, mungkin Indonesia tidak akan memperpanjang kontrak dengan Amerika, tetapi mengolah sendiri buminya. Selain itu, masih banyak negara lain yang mengolah tanah Indonesia karena kurang individualis dan kurang egoisnya bangsa Indonesia.
Namun, jika kita terlalu radikal memaknai individualisme, egoisme dan materialisme itu, maka juga terjadi kesenjangan dalam masyarakat. Individualisme, dipadukan dengan egoisme, ditambah lagi dengan materialisme yang berlebihan akan berakibat pada kapitalisme yang tidak terkontrol. Kesenjangan itulah yang terjadi pada sebagian wilayah Indonesia saat ini, terutama daerah perkotaan. Untuk itu, ada benarnya juga pendapat Sutomo bahwa kita juga harus mendapat didikan budi luhur dan etika yang baik agar ego kita adalah ego yang “maha besar” seperti kata beliau. Ini bukan berarti saya mendukung sistem pesantren beliau, karena sekolah umum di Indonesia juga bisa mendidik seperti itu.
Pendapat Sutan Takdir mengenai kebaratan Indonesia juga bisa dikatakan logis. Kita tidak bisa menyangkal bahwa Barat memiliki pengaruh besar bagi kita dan nilai-nilainya mengakar dalam kehidupan kita. Sekarang mungkin masih ada orang yang tidak mengakui itu dan tetap pada kebanggaannya pada budaya Timurnya. Padahal jika kita melihat dengan cermat, kebudayaan Barat malah diinternalisasi lebih intens di Indonesia belakangan ini dibandingkan zaman Sutan Takdir. Hal itu sangat terbantukan oleh apa yang kita sebut globalisasi. Nilai-nilai Barat mulai masuk ke Indonesia, terutama kepada generasi muda. Namun terkadang nilai-nilai yang tidak baik dan sesuai dengan nilai luhur Indonesia juga ikut terbawa.
Terkadang saya melihat realita dari pernyataan Sutan Takdir bahwa orang Indonesia terlalu hati-hati dalam membuat keputusan. Sekarang ini masih banyak PR bagi pemerintah yang sudah lama belum rampung juga. Lihat saja kasus LGBT. Terlepas dari hak dasar mereka sebagai warga negara, pada realitanya LGBT tetap menjadi polemik di Indonesia yang membutuhkan ketentuan yang jelas di dalam hukum. Namun, pemerintah sampai saat ini belum membuat peraturan perundangan yang jelas bagi kaum tersebut. Padahal keberadaan kaum minoritas ini sudah sangat lama di Indonesia. Dan sekarang ketika hal itu menjadi problem besar, pemerintah menjadi pusing menentukan sikap. Sama halnya dengan masalah komersialisasi sepeda motor (ojek), yang awalnya dilarang dan sekarang menjadi bertambah besar dengan munculnya ojek online. Dalam hal ini pemerintah juga kocar kacir karena peraturan sebelumnya tidak futuristik.
Harus kita akui bahwa pendapat satu orang saja pasti ada kekurangannya. Begitu pun dengan pendapat-pendapat Sutan Takdir. Pendapat tokoh lain juga sangat membangun dan terbukti dapat ditemukan, atau bagus untuk diterapkan dalam kehidupan. Misalnya pandangan tokoh lain yang cenderung mempertahankan kebudayaan lama. Hal itu sangat baik karena kita sebagai generasi penerus juga dituntut untuk menjaga kebudayaan lama, walaupun terbatas yang artefak saja seperti batik, tari, lagu daerah dan lain-lain. Karena dalam hal falsafah budaya, kita harus benar-benar memakai formula yang bagus, yang biasanya berasal dari Barat yang dinamis. Permasalahannya sekarang adalah kurangnya kesadaran sebagian orang untuk melestarikan produk-produk kebudayaan daerah tersebut. Bahasa daerah sudah mulai digantikan oleh bahasa Indonesia, sedangkan sebagian orang lebih bangga menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Untuk situasi tertentu, sebaiknya kita menggunakan yang satu, dan pada situasi yang lain bahasa yang lain. Bukan menghilangkan penggunaan salah satunya.
Cita-cita Sutan Takdir dan Sutomo dalam hal pendidikan terbukti hidup berdampingan sampai sekarang. Selain sekolah-sekolah dengan sistem Barat, sekarang juga terdapat pesantren. Namun tampaknya Sutan Takdir lebih berhasil karena sekarang sistem sekolah dan sistem pesantren juga mengarah ke sistem Barat. Hal itu sangat baik karena ada perbaikan di keduanya. Sekolah dengan sistem Barat seperti zaman dulu sekarang sudah diwarnai dengan pendidikan moral dan etika, serta nasionalisme. Dan pesantren dilengkapi dengan pengajaran ilmu-ilmu modern dari Barat.
Permasalahan dalam ketiga polemik itu yang masih menjadi dilema sampai sekarang adalah mengenai kebudayaan Timur dan Barat. Permasalahan timbul karena antara masyarakat konservatif, liberal dan radikal terdapat pertentangan. Generasi tua yang biasanya konservatif sulit sekali menerima nilai-nilai baru dari luar (nilai Barat dan nilai Global). Sedangkan generasi muda yang sedikit liberal sebagian terlalu menerima nilai baru tanpa disaring, sehingga lupa akan nilai-nilai dan budaya lama yang sepatutnya dilestarikan.
Dari polemik ketiga, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pembangunan bangsa sangat tergantung pada pendidikan, melebihi faktor lain seperti ekonomi, politik dan sumber daya alam. Oleh karena itu, pendidikan harus dirancang sebaik mungkin. Dan pendidikan di Barat memang tampak solutif untuk hal ini. Karena kita lihat banyak lulusan perguruan tinggi Barat yang sukses membangun bangsanya.

Dari permasalahan-permasalahan yang ada ini, dibutuhkan adanya dialog-dialog yang membahas kembali kebudayaan Indonesia dan perwujudannya dalam berbagai bidang. Selain itu, setiap individu dalam masyarakat sudah seharusnya membuang semua stereotip-stereotip kebudayaan, terutama mengenai Barat dan Timur. Terakhir, saya setuju bahwa rasionalisme, individualisme dan positivisme harus hidup dalam masyarakat yang dinamis.

Tuesday, January 17, 2017

Danish-Indonesian Cooperation on Energy

Recently I got an essay competition held by the Danish Embassy in Jakarta. The "prize" is amazingly funtastic, becoming the Danish ambassador for 1 day and 2 weeks study trip to Denmark. O my God, I really really really want you, Denmark. The question I should answer was "How Can Indonesia and Denmark Cooperate to Address Challenges in the Energy Sector". It was a difficult question for a linguistics student like me. And I told my friend I would have been kicked before my essay was read haha. Thus, I decided not to attend in that opportunity. Today is the last day of essay submission and suddenly I'm so moody to write. But I just had some hours to complete it. I began to write at 12 this day. And finally this is the result: a 10 year old writing inclusive RIP grammar and idiot thought :D :D
Two of the major problems that the world faces these decades are the scarcity of oil and the climate change due its terrible impacts on social and economic growth. All the two problems is, directly or not, related to energy. Most countries still depend on fossil fuel for around three quarters of its energy consumption while the oil reserves, however, are predicted to be gone by 2045 – 2050. Energy efficiency is a must to be taken to reduce oil demand.
Reports also show that the combustion of fossil fuels contributes the biggest portion of all anthropogenic greenhouse gas (GHG) emission. Indonesia ranks the sixth biggest GHG emission in the world. The use of fossil fuels should thus be decreased along with the fulfilment of still increasing energy demand, remembering that Indonesia has average 5% of economic growth and is one of the biggest economies in the world, which consequents a big energy demands for its 240 million populations.
Renewable energy, beside energy efficiency, seems to me the best answer of the two problems. Transition from oil to renewable energy can reduce dependency of fossil fuel, thus decrease the oil import too, as Indonesia has become oil-importing country since 2004. Little combustion of fossil fuel consequently reduces the GHG emissions, thus also mitigates climate change. These two options, energy efficiency and renewable energy, will be my focus on Danish-Indonesian partnership on energy.
Denmark has one of the best energy and climate policies in the world. Since the oil crisis in 1973—4 it has considered a big shift to renewable energy sources and energy efficiency. Its ambition of 100% free of fossil fuels has showed a progressive result with only 1% oil, 12% gas, and 24% coal of energy mix, while the rest (63%) comes from renewable energy (IEA: 2016). This shows that Denmark is a leading country in the renewable energy sector and its cooperation with Indonesia would profit a lot in Indonesia’s energy sector.
I emphasize the energy efficiency and renewable energy because of two reasons. First, energy efficiency is an absolute solution to the scarcity of oil and Denmark is advanced in the energy-efficiency policy. And second, renewable energy seems to have a great chance to make a significant growth in Indonesia in the future as Indonesia has a great potential of renewable energy sources.
Indonesia has the third largest geothermal energy resources in the world after USA and the Philippines. It also has a strong potential of wind, solar, and biomass energy. In spite of this, its electrification only reaches slightly less than 90% of all the population. Millions of people in the rural households has no access to electricity and only make use of traditional biomass for cooking and thermal purposes. Thus, exploring renewable energy potential with support of Denmark, that has a super quality of electricity supply and stable tariffs, is expected to raise the percentage of the electrification.
The cooperation between Denmark and Indonesia can be done in many ways, but for the beginning, a government-to-government cooperation is recommended before a further partnership. In term of level of cooperation it can also vary, from planning to operation. Danish decades of experiences can be transferred to Indonesia by modelling or planning energy policy in Indonesian context. In this case, several institution such as Ministry of Energy and Mineral Resources, Ministry of Industry, and also National Energy Agency should be involved.
The energy-efficiency policy designed with support of Denmark is hoped to give help in energy security and environmental sustainability. To achieve the goal, the cooperation should be future-oriented and holistic with realistic objectives and measurement as there are many things to be considered, from social, environmental to economic. Active participation of stakeholders and public sector are required to implement the policy consistently to achieve the goal.
Making effort on renewable energy to displace fossil fuel will be a big opportunity since it is largely from domestic energy sources, such as wind, biomass, and solar. Denmark is a leading country in wind energy sector. Wind energy provides 49% of its national energy mix. In other hand, Indonesia uses renewable energy less than 5% of its total energy consumption. Denmark’s support in wind energy sector will help Indonesia to sum up percentages to its electrification with some hundreds megawatts. Such cooperation is not impossible to realize because there have been five upcoming key wind power plants in Indonesia, among which four are permitting and one is announced. Those five wind power plants are: Jeneponto 1 Wind Farm with 62,5 MW capacity, Jeneponto 2 Wind Farm with 64,8 MW, Sukabumi and Samas Beach each 50 MW, and lastly Sumba Island Wind Turbine with 0,66 MW. Beside the experiences in wind energy, investment from Denmark seems to make a big profit for both sides.

Developing relevant policies, strategies, and solutions for Indonesia’s energy planning or policy will help with increasing the electrification and to achieve the government’s long term energy efficiency and renewable energy objectives. This cooperation is expected to give change to the Indonesia’s energy mix, by greater percentage of renewable energy as the government’s goal of 23% renewable in 2023. And hopefully the transition to renewable energy also helps Indonesia with its goal, reducing 41% of GHG emissions by 2030.
You know what, I've just submit it and ready to give the Danish Embassy a belly laugh wkwk. Peace Denmark, I just wanna write haha.

Saturday, January 7, 2017

Reizen naar het Verleden

Reizen naar het Verleden
Dag, allemaal! Hoe is het leven? Mooi toch? Zo hoop ik :)
Vandaag zal ik je wat vertellen over mijn ervaringen naar 16- of 17de eeuw 3 dagen geleden, op donderdag, 5 januaari 2016.
Mijn vrienden (Debbi en Bagus, wij studeren allemaal neerlandistiek FYI) en ik zijn naar oude stad Banten geweest. Het was echt een leuke ervaring, mijn  eerste keer buiten Groter Jakarta (Jabodetabek). Daar bezochten wij veel historische plaatsen en gebouwen in Banten Lama (Oude Banten/Bantam) – wij houden echt van geschiedenis!
Wij waren van plan om vroeger om 6.30 te beginnen te gaan. Maar wij jongen stonden gewoon wat later, pas om 7.28 ben ik wakkergeworden, OMG! Ik was te laat, zo was Bagus. Het speet me want Debbi zat al vanaf 6.45 ons te wachten. Nadat ik me met zo’n haast was gewassen en het morgengebed had gedaan, chatte en belde ik Debbi op. Maar geen antwoord van haar. Ik dacht dat ze boos werd op mij :( Bagus stond wat later op dan ik, om 7.37 :D Hij leek te haasten want om 8.20s stond hij al bij mij te wachten. Ik stelde voor naar Debbis kamer te gaan. En eindelijk bleek het dat Debbi weer in slaap viel door het lange gewacht. Het spijt ons, Debbi! :P
Na veel voorbereidingen – Debbi moest nog weer make-up doen, naar de WC, en wij ook naar indomaret wat te kopen – namen wij de angkot (een soort openbaar vervoer, gewoon een auto) richting terminal Kampung Rambutan. Maar in de Pasar Rebo was er een bus naar Serang waar wij moesten overstapppen voor Banten, we hoefden niet door te gaan naar Rambutan. Wij  namen de eerste bus, en het bleek dat de bus een dure was, maar tis okay.
De reis duurde ongeveer 3 uur. De bus was echt op mijn gemak, want hij is duurder hehe. Maar zoals gewoon bij Indonesische openbaar vervoeren, waren er veel verkopers in de bus. Dat is heel uniek hier want tijdens de reis in de bus komen verkopers de auto in en uit. Ook er waren “pengamen” (mensen die bedelen door zingen) in de bus. Rond twaalfen kwamen wij in de terminal Pakupatan aan. Daar namen we opnieuw een angkot richting Royal. Nog een angkot van Royal naar Banten Lama (Oude Banten). Eindelijk arriveerden wij om 13.30 in de Banten Lama (oude stad van Banten).
Banten Lama is een stad vol historische verhalen, plaatsen en gebouwen. De geschiedenis begon vanaf rond 15 – 16de eeuw toen het islamitische koninkrijk Banten daar zijn hoofdstad bouwde. Door de historische reden wordt de later steeds groter groeiende stad ook de hoofdstad van Provincie Banten nu, hoewel de grootste stad in de provincie Tangerang is.
Onze eerste destinatie was het paleis Kaibon. Nu kan je het geen paleis noemen wat het is alleen ruïn van het paleis in een ruim veld. Dit paleis was toen gebruikt als woning voor de moeders des koning. De naam “Kaibon” zelf komt uit woord “ke-ibu-an” dat betekent “moederlijk”. Toen woonde er koningin Asyiah. In 1832 werd het paleis gesloopt door Nederland. We maakten er veel foto’s (jongens verplicht ritueel :D)
Van paleis Kaibon gingen we te voet naar het paleis Surosowan.  Na een stukje kwamen we er al aan, niet te ver. Voor binnengingen moesten wij ons eerst bij het museum aanmelden. Door identiteitskaart te leggen kregen we de sleutel van het paleis – wat voelen we ons als een VIP haha. In het museum hebben wij ook wat historische collecties kunnen zien.
Het paleis Surosowan vond ik slechter dan Kaibon terwijl het het hoofdpaleis van het koninkrijk was. De runen zijn meestal bedekt door de grond, bijnal niks bleef op het grond. In het midden was er een vijver van 7 x 7 meter. Aan de kant zijn er ook vijvertjes of waterbakken. Sommige waterbassin had kranen om zich te wassen. Toen wij er waren zagen wij een paar mensen die een ritueel deden met wat bloemen en gebladerte in de vijver. De voltooing van het paleis Surosowan was gedaan door de tweede koning Maulana Yusuf (regeerde 1570-1580). Het paleis was, net als Kaibon, gesloopt door Nederland tijdensde oorlog. We gingen terug naar het museum om de sleutel terug te geven en inentiteitskaart terug te krijgen. Hierna gingen wij naar de grande moskee Banten (Masjid Raya Banten).
Grande Moskee Banten was een van de oudste moskeeën op Java. De moskee werd opgebouwd door de eerste koning van het koninkrijk Banten, Koning Maulana Hasanudin (regeerde 1552 – 1570). Die stond nog vast in Banten Lama. Veel mensen bezochten de moskee om ziarah (graven bezoeken en er bidden bvb door koran of salawat te lezen) te doen. De mensen die de moskee bezoeken, doen meestal ziarah bij de graven van vroegere sjech (Islamitische priesters). Wij liepen alleen maar rond de moskee en niet naar binnen. Ik hou niet zo veel van moskee. Wij gingen meteen naar onze volgende destinatie, Het Fort Speelwijk, jippiiiee.
Het fort Speelwijk is genoemd naar gouverneur generaal Cornelis Janszoon Speelman (regeerde 1681 – 1684). Het opbouw van dit fort weerspiegelde de macht van VOC Nederland in Banten. Het was gebruikt om de handel en transportatie van goederen te controleren. Nu stond het fort nog sterk. In het midden speelden jongens voetbal of vlieger. Wij waren heel moe en daarom lagen gewoon te rusten op de grond. Na een poesje gingen wij door naar Vihara Avalokitesvara.
Vihara is het gebedhuis van Buddisme waar bhikkhu en bkhikkunis wonen, net zoals een moskee of een kerk. Meestal is de kleur dominant rood. De vihara die wij voor het laatst bezochten vond ik heel mooi. Helaas was het al 4 uur, wij waren er bang voor dat wij de laatste bus misten. Wij gingen terug naar de terminal via andere weg, langs de spoorweg. We hadden nog wat kans om foto’s in de spoorweg te nemen hehe :D
We namen angkot richting royal. Daar hebben we in de KFC kunnen eten. Wij aten niet langs de straat want het zou misschien duurder zijn. Daarna namen wij weer angkot naar de terminal. In de terminal moesten wij afscheidnemen van Bagus want hij moest naar de airport. Morgen vroeg om 5 uur ging hij naar Kalimantan vliegen. Gelukkig kregen we meteen een bus naar Rambutan. Bagus kreeg ook meteen airportbus. Debbi en ik kregen een goedkopere bus dan wij kregen vanmorgen. Da’s goed want ik heb veel geld van Debbi geleend tijdens de reis haha. Het is ook prima dat wij niks hoefden te betalen bij alle plaats die wij bezochten, de paleizen, het museum, de moskee, de vihara, en het fort waren allemaal gratis. Ben je misschien geïnteresseerd hier te gaan? Ik was heel moe dat ik zo’n slaap had in de bus. Maar ik kon niet slapen in de bus – onze bus was een goedkopere hoor :D Ik luisterde in plaats ervan naar muziek.
Wij kwamen weer in Depok om 11 in de nacht. Daarna een stukje lopen naar mijn kamer, ongeveer  5 minuten. Eindelijk was ik in mijn kamer, heel moe en stink door de zweet hehe :D Het was echt een gezellige dag. Ik wil nog zoveel keren reizen, historische of ecologische reis klinkt interessant. Ga je met me mee misschien?


Tuesday, January 3, 2017

Pembantaian Etnis Tionghoa di Batavia (Jakarta) Tahun 1740

Huru-hara Tionghoa di Batavia Tahun 1740
Kronologi dari Terbentuknya Kota Batavia Hingga Tragedi Pembantaian

Tomi Tri Anggara
1406538076


Abstract
Chinese groups have been several times the victim of some massacres happened in Indonesia. At October 9th to 10th, there was a terrible massacre of Chinese people in the Batavia city (now Jakarta). About 2,500 Chinese houses went up in smoke and more than 10,000 Chinese were killed. VOC (the Netherlands) that hold the government of Batavia at that time has the main role in conducting the tragedy. Indigenous people and slaves aren’t free of “this sin” due to their help for VOC in the massacre. In this article, I will explain briefly and chronologically the “Chinese Massacre 1740” from the coming of Chinese to Batavia to the end of the tragedy.
Keywords : massacre, Chinese, VOC

Abstrak
Etnis Tionghoa telah beberapa kali menjadi korban pembunuhan di Indonesia. Pada tanggal 9 -- 10 Oktober 1740 terjadi sebuah tragedi pembunuhan besar-besaran terhadap etnis Tionghoa di Kota Batavia. Sekitar 2.500 rumah penduduk Tionghoa dihanguskan serta lebih dari 10.000 orang Tionghoa menjadi korban pembunuhan tersebut.  VOC (Belanda) yang memerintah di Batavia waktu itu memainkan peran penting dalam peristiwa pembantaian tersebut. Orang-orang pribumi dan para budak pun tidak terlepas dari “tanggung jawab” ini karena membantu VOC dalam aksi pembantaian. Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan kronologi kejadian “Huru-hara Tionghoa 1740” mulai dari datangnya orang-orang Tionghoa ke Batavia hingga bagaimana akhir dari peristiwa tersebut.
Kata kunci : pembunuhan massal, etnis Tionghoa, VOC
Orang-orang Tionghoa telah ada di Nusantara berabad-abad sebelum bangsa Belanda sampai di Nusantara. Kebanyakan orang-orang Tionghoa tersebut melakukan perdagangan lintas lautan dengan pribumi. Sebagian dari mereka mulai tinggal menetap dan menjadi bagian dari penduduk Nusantara. Sementara bangsa Belanda baru sampai di Nusantara pada tahun 1596 (Kemasang, 1985). Pada awalnya, sama seperti orang-orang Tionghoa terdahulu, bangsa Belanda datang ke Nusantara untuk melakukan perdagangan. Lama-kelamaan muncul keinginan bangsa Belanda untuk menguasai perdagangan di Nusantara dengan membangun kota-kota pusat perdagangan. Kota utama yang menjadi pusat perdagangan Belanda (VOC) pada waktu itu adalah Batavia (Jakarta sekarang) dan Ambon. Kota Batavia dijadikan sebagai pusat perdagangan VOC di Asia.
Kedatangan Orang Tionghoa ke Batavia
Kota Batavia sebelumnya merupakan kota pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa dan berubah menjadi Jayakarta. Pelabuhan Jayakarta pada waktu itu sangat penting bagi perdagangan lintas lautan. Hal ini membuat Kota Jayakarta diperebutkan oleh berbagai bangsa dan kerajaan, misalnya Portugis, Belanda, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Banten. Akhirnya pada VOC di bawah pimpinan J.P Coen berhasil membumi-hanguskan kota tersebut dan membangun sebuah kota baru di atasnya. Kota yang baru dibangun tersebut diresmikan dengan nama Batavia pada tanggal 30 Mei 1619 (Simbolon, 2006: 36).
Dalam membangun kota, J.P Coen membawa banyak orang Tionghoa ke Batavia. Hal ini dilakukan karena ia mengagumi keuletan dan kepintaran orang-orang Tionghoa. Di Batavia mereka disuruh bekerja dan berdagang. Akhirnya terbentuklah kota Batavia yang rapi dan indah. Bahkan ada sebuah tulisan yang menyebutkan Batavia sebagai “queen of the east” (ratu dari timur).
Sejak dibangunnya Kota Batavia semakin banyak orang-orang Tionghoa dari berbagai daerah di Jawa termasuk dari daratan Tiongkok yang merantau ke Batavia. Hingga awal abad ke-18 populasi etnis Tionghoa menjadi lebih dari 10.000 orang. Jika ditambah dengan penduduk Tionghoa di luar tembok kota jumlah mereka tidak kurang dari 15.000 orang atau sekitar 17% dari populasi Batavia waktu itu. Pada tahun 1740 telah ada 2.500 rumah penduduk Tionghoa di Batavia (Setiono, 2008: 107).
Pergantian Gubernur Jenderal VOC
Tata kota Batavia mengikuti gaya kota-kota di Belanda. Bangunan-bangunan dan rumah-rumah juga mengikuti gaya bangunan Belanda. Ketidaksesuaian gaya bangunan Belanda, dengan iklim di Batavia membuat kota tersebut dilanda wabah penyakit berat pada abad ke-18. Hal tersebut terutama karena kali yang kotor dan rumah yang sempit. Pada tahun 1734 diadakan pembacaan doa bersama dan puasa umum untuk menghilangkan wabah tersebut. Namun usaha ini sia-sia dan semakin banyak orang meninggal karena penyakit (Setiono, 2008: 108). Salah satu yang menjadi korban wabah tersebut adalah Gubernur Jenderal Dirk van Kloon. Van Kloon meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1735.
Setelah kematian Dirk van Kloon, di dalam tubuh VOC terjadi perpecahan yang menyebabkan tidak adanya kesepakatan mengenai gubernur jenderal yang baru. Akhirnya diadakan undian dan terpilihlah Abraham Patras sebagai gubernur jenderal yang baru. Namun, kondisi fisik Abraham Patras sangat tidak baik dan ia meninggal dunia tanggal 3 Mei 1737.
Ada dua orang yang berambisi menggantikan posisi Abraham Patras sebagai gubernur jenderal karena posisi itu sangat prestisius waktu itu. Kedua orang tersebut adalah Adriaen Valckenier dan Gustav Willem Baron Van Imhoff. Setelah persaingan sengit terpilihlah Valckenier menjadi gubernur jenderal, sedangkan Van Imhoff diangkat menjadi ketua Raad van Indië (Dewan Hindia). Gubernur jenderal dan ketua Dewan Hindia merupakan dua posisi utama yang menentukan pemerintahan di Hindia Timur (Nusantara). Akan tetapi dua orang yang berada di kedua posisi tersebut sangat bertentangan dalam hal ideologi. Valckenier dan Van Imhoff memiliki asal keturunan yang sama namun pada generasi tertentu terpisah secara ideologi. Keluarga Valckenier merupakan pendukung staatsgezinden (anti keluarga kerajaan) dan keluarga vanImhoff mendukung prinsgezinden (pro keluarga kerajaan). Kedua aliran ini sangat bertentangan di masyarakat Belanda. Menurut Suratminto (2004), pertentangan antara Valckenier dan Van Imhoff inilah yang merupakan salah satu faktor keteledoran pemerintah VOC dalam menangani masalah etnis Tionghoa yang berujung pada tragedi pembunuhan massal pada 9 Oktober 1740.
Problem Baru Menjelang 9 Oktober 1740
Situasi di Batavia pada abad ke-18 semakin memburuk disebabkan wabah penyakit dan paceklik yang mengakibatkan VOC mengalami kerugian besar. VOC juga mendapat ancaman dari sebuah kelompok orang Islam di bawah pimpinan Pieter Erberveld yang berniat menghancurkan VOC. Kelompok tersebut mendapat dukungan dari berbagai kerajaan seperti Banten, Cirebon, Bali, dan lain-lain. Gerakan tersebut akhirnya dapat diatasi oleh VOC. Namun, pengalaman tersebut membuat VOC takut jika perlawanan juga dilakukan oleh orang-orang Tionghoa dan pribumi di Batavia. Untuk itu VOC memberlakukan sistem kependudukan yang bertujuan untuk menghambat kontak antara kelompok masyarakat Tionghoa, Bali, Makasar dan lainnya sehingga kekuatan mereka tidak terlalu besar (Suratminto, 2004). Sistem kependudukan tersebut adalah:
1.      Sistem Opsir
Setiap kelompok etnis menunjuk pemimpin sendiri yang disebut kapitan. Kapitan bertugas sebagai perpanjangan tangan VOC kepada kelompoknya.
2.      Sistem Pemukiman
Setiap kelompok etnis harus tinggal sesama mereka. Untuk pergi ke pemukiman kelompok etnis lain harus menggunakan pasbriefje (kartu pengenal).
3.      Sistem Status
Masyarakat juga dibedakan berdasarkan agama.
Selain ketakutan akan perlawanan dari penduduk pribumi dan Tionghoa, VOC juga disibukkan oleh populasi etnis Tionghoa yang susah dikendalikan, terutama masyarakat Tionghoa yang berada di luar tembok kota karena berada di luar sistem institusi pemerintahan. Gubernur Jenderal Valckenier telah memberlakukan sistem permissiebrief (surat izin tinggal) atas usul Van Imhoff. Namun, resolusi tersebut tampaknya kurang efektif. Sebagian dari masyarakat Tionghoa datang secara ilegal dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Mereka banyak yang membuat kerusuhan, seperti mencuri dan merampok. Untuk mengatasi hal ini, pada tanggal 25 Juli 1740 Valckenier mengeluarkan resolusi “bunuh atau lenyapkan” (Liang, 2012: 413). Semua orang Tionghoa yang mencurigakan diperiksa dan jika mereka tidak memiliki permissiebrief maka akan dipulangkan ke Tiongkok, atau dipekerjakan di perkebunan miliki VOC di Ceylon (Sri Lanka) atau di pertambangan di Afrika Selatan.
Kebijakan pemeriksaan permissiebrief terkadang memiliki implikasi yang negatif. Banyak orang Tionghoa diperiksa secara paksa dan disertai dengan penganiayaan dan perampasan harta benda secara paksa. Kebijakan yang awalnya ditujukan kepada pengangguran dan masyarakat ilegal Tionghoa yang membuat kerusuhan, ternyata juga merugikan orang Tionghoa yang “baik-baik”. Dengan demikian, masyarakat Tionghoa semakin membenci pemerintahan VOC. Bahkan ada desas-desus yang mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa yang ditangkap tidak akan dipekerjakan di Ceylon, tetapi dibunuh dan dibuang ke laut. Desas-desus ini membuat masyarakat Tionghoa panik dan kemudian membentuk kelompok untuk melawan VOC. Sampai akhir September 1740 keadaan semakin gawat. Penduduk Tionghoa semakin agresif dan defensif terhadap pemerintah VOC.
Pada tanggal 26 September 1740 Valckenier memanggil Dewan Hindia untuk merundingkan masalah tersebut. Dalam perundingan tersebut ia memberikan kewenangan kepada Van Imhoff dan van Aarden untuk mengambil tindakan. Kelompok Tionghoa lebih dahulu bergerak dengan menguasai Meester Cornelis (Jatinegara sekarang) dan Tanah Abang pada tanggal 7 Oktober 1740. Mereka juga berhasil membunuh lima puluh orang Belanda (Setiono, 2008: 111). Van Imhoff kemudian melakukan serangan balik dengan kekuatan besar, yaitu 1.800 serdadu dan 11 batalyon pennist (pasukan wajib militer). Sebuah kelompok Tionghoa dengan kekuatan yang cukup besar di pinggir kota juga berhasil diatasi oleh Belanda pada tanggal 8 Oktober 1740. Situasi semakin serius dan VOC semakin terancam.
Tragedi Pembantaian
Karena situasi semakin serius, Van Imhoff memberlakukan jam malam bagi penduduk Tionghoa. Mereka dilarang keluar rumah pada malam hari dan jam-jam tertentu agar tidak bisa berhubungan dengan penduduk Tionghoa di luar tembok kota. Mereka harus menutup pintu dan jendela rapat-rapat dan tidak boleh ada sedikit pun penerangan di dalam rumah. Pada pagi hari tanggal 9 Oktober 1740 Valckenier mengadakan rapat denga Dewan Hindia untuk membuat keputusan. Pada pagi itu jalan-jalan kota sangat sepi karena penduduk Tionghoa dilarang keluar rumah. Semakin lama semakin banyak orang-orang pribumi non-Tionghoa di jalanan berbicara mengenai orang-orang Tionghoa. Muncul desas-desus di kalangan pribumi bahwa orang-orang Tionghoa akan membunuh mereka semua, memperkosa istri-istrinya dan memperbudak anak-anak mereka. Hal ini menimbulkan kebencian terhadap etnis Tionghoa. Mereka mendukung pemerintah VOC untuk membunuh penduduk Tionghoa.
Pada hari Minggu itu terjadi kebakaran di beberapa warung milik orang Tionghoa. Hal ini merupakan tanda dimulainya huru-hara. Orang-orang Belanda dan pribumi menjarah rumah-rumah penduduk Tionghoa dengan sangat kejam lalu membakarnya. Semua orang Tionghoa dibunuh. Orang-orang Tionghoa pada waktu itu berada dalam situasi terkepung. Di depan rumah mereka banyak orang-orang Belanda dan pribumi yang sibuk menjarah, membunuh dan membakar rumah. Sedangkan di belakang rumah mereka terdapat Kali Besar Timur yang dijaga oleh tentara dan pelaut. Orang-orang Tionghoa yang kabur lewat kali tersebut ditembak dengan sadis.
Pada Senin, 10 Oktober 1740, semua tahanan dan pasien Tionghoa diseret dengan kejam dari penjara dan rumah sakit. Setelah itu mereka semua dimusnahkan. Selama seminggu setelah hari pembantaian keadaan masih menyedihkan. Bandit-bandit pribumi melanjutkan pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos pada hari pembunuhan. Mereka dibayar untuk mencari dan membunuh setiap orang Tionghoa yang tersisa.
Meskipun tidak ada rekaman atau foto yang mengabadikan tragedi pembantaian orang-orang Tionghoa pada tahun 1740, namun kita dapat merasakan sadisnya pembantaian tersebut melalui tulisan-tulisan dan lukisan tentang tragedi tersebut. Berikut adalah laporan seorang penulis Belanda bernama W.R. Von Hoevell pada tahun 1840 yang dikutip oleh Setiono (2008: 114):
“Tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya, terdengar jeritan ketakutan di seluruh kota dan terjadilah sebuah pemandangan yang sangat memilukan. Perampokan terhadap orang Tionghoa terjadi di seluruh pelosok kota. Semua orang Tionghoa, tidak perduli laki-laki, perempuan, dan anak-anak habis dibantai. Bahkan perempuan yang sedang hamil dan menyusui anaknya juga tidak luput menjadi korban pembantaian yang tidak mengenal peri kemanusiaan.
File:Tableau de la Partie de ...
File:Chinezenmoord van stolk ...

Ratusan tahanan yang diikat tangannya, disembelih seperti menyembelih domba. Beberapa orang Tionghoa kaya, lari mencari perlindungan ke rumah orang-orang Belanda dan Eropa lain yang dikenalnya, namun tanpa mengenal belas kasihan dan tanpa menjunjung moral serta peri kemanusiaan, mereka menyerahkan orang-orang Tionghoa tersebut kepada para pemburunyayang haus darah. Barang-barang berharga yang dititipkan kepadanya langsung diambil menjadi miliknya sendiri. Pokoknya semua orang Tionghoa, baik yang bersalah maupun tidak harus dibasmi.”   
gambar 1: lukisan yang berisi situasi rumah-rumah penduduk Tionghoa ketika dibakar oleh Belanda (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan)
gambar 2: lukisan yang berisi tragedi pembantaian orang-orang Tionghoa (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan)
Pasca Tragedi Pembantaian
Setelah dua minggu tragedi menggenaskan terjadi, Valckenier baru mengambil tindakan untuk menghentikannya. Masyarakat Tionghoa diberi ampunan dan dibolehkan tinggal di Batavia kembali. Jumlah orang Tionghoa yang tersisa setelah pembantaian adalah 3.431 orang. Untuk mencegah terjadinya konflik kembali maka pemerintah VOC memerintahkan penduduk Tionghoa untuk tinggal di luar tembok kota. Daerah tersebut sekarang bernama Glodok. Sejak saat itu orang-orang Tionghoa kembali berdatangan ke Batavia.
Pemerintah Kerajaan Belanda merasa khawatir jika kesalahan mereka dibalas tidak hanya oleh penduduk Tionghoa yang ada di Jawa, tetapi juga dari Tiongkok. Akhirnya VOC memutuskan untuk mengirim utusan kepada Kaisar Kian Liong di Tiongkok pada 1 -- 2 Oktober 1742. Kedua utusan tersebut memberi kesaksian atas peristiwa memalukan yang telah terjadi di Batavia. Dalam pengakuan tersebut dinyatakan bahwa Belanda menyesal bahwa karena bandit-bandit Tionghoa, orang-orang Tionghoa yang lainnya juga menjadi korban.
Reaksi dari Dinasti Qing benar-benar di luar dugaan. Ia membalas, seperti ditulis Liang (2012: 416), “Orang yang keluar dari Dinasti tidak sungkan-sungkan meninggalkan kuburan nenek moyangnya, pergi mencari nafkah ke luar negeri, maka segala urusannya tidak akan dipedulikan lagi oleh Dinasti.”
Dalam penyelesaian secara hukum atas kasus huru-hara ini terjadi saling tuduh-menuduh di kalangan Belanda. Tuduhan tersebut terutama dilontarkan kepada gubernur jenderal saat itu, yaitu Valckenier. Pada tanggal 16 Desember 1740, Dewan Hindia mengajukan mosi tidak percaya pada Valckenier. Valckenier yang saat itu mengajukan pengunduran diri juga melontarkan tuduhan pada Van Imhoff selaku ketua Dewan Hindia.
Pada tahun 1744 Valckenier kembali ke Belanda untuk menjalani sidang. Namun karena sebab tertentu ia tidak bisa sampai ke Belanda, dan singgah di Afrika Selatan. Van Imhoff juga balik ke Belanda untuk menjalani persidangan. Namun setelah membacakan laporannya di hadapan Heren XVII (Tuan XVII), ia malah dijadikan gubernur jenderal yang baru dan diperintahkan kembali ke Hindia.
Persidangan Valckenier sangat berbelit-belit dan memakan waktu yang sangat lama, yaitu sampai 10 tahun. Ia diberatkan karena dua tuduhan pokok yang dilontarkan kepadanya. Pertama, ia dituduh menganjurkan orang-orang Belanda untuk membasmi orang-orang Tionghoa di Batavia saat dalam rapat dengan Dewan Hindia pada tanggal 9 Oktober 1740. Yang kedua, tuduhan bahwa ia setelah rapat memerintahkan Sersan Mayor Hendrik Duurveld, komandan pasukan Batavia, untuk membantai semua orang Tionghoa, termasuk wanita dan anak-anak (Setiono, 2008: 124). Kedua tuduhan tersebut dianggap sangat biadab dan tidak dapat diampuni oleh Heren XVII. Akhirnya Valckenier meninggal di penjara pada 20 Juni 1751 sebelum kasusnya diselesaikan.
Sisa kenangan tragedi pembantaian etnis Tionghoa dapat kita lihat pada nama beberapa daerah di Jakarta. Nama Rawa Bangke disebut demikian karena di daerah tersebut banyak terdapat jasad orang-orang Tionghoa yang dibunuh. Begitu pun dengan Kali Angke yang dalam Bahasa Hokkian berarti sungai merah (“Ang” berarti merah, dan “Ke” berarti sungai). Ada juga yang mengatakan bahwa Tanah Abang berarti “tanah merah” merujuk pada darah orang-orang Tionghoa korban pembantaian. Kata “Abang” dalam Bahasa Jawa berarti merah.

Daftar Acuan
Liji, L. (2012). Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis: 2.000 Tahun Perjalanan    Hubungan Tiongkok - Indonesia. Jakarta: Kompas
Kemasang, A.R.T. (1985). “How Dutch Colonialism Foreclosed a Domestic Bourgeoisie in Java: The 1740 Chinese Massacre Reapraised”. Review IX, 57 -- 80
Setiono, B.G. (2008). Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa
Simbolon, P.T. (2006). Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Suratminto, L. (2004). “Pembantaian Etnis Cina di Batavia 1740: Dampak Konflik Golongan “Prinsgezinden” dan “Staatsgezinden” di Belanda”. Wacana 6, 1 -- 26
https://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan