Interpretasi Karya
Seni Teater “Amor Feti” by Teater Agora
"Kehidupan,
Ketidakpastian, Keselamatan, Kematian"
Mendengar judulnya saya langsung
tertarik melihat teater ini, pertama karena berbahasa Latin, dan kedua karena
artinya “cinta pada takdir”. Berhubung teater ini dibawakan oleh Program Studi
Filsafat UI, saya ingin melihat bagaimana pandangan mereka terhadap konsep
“takdir”.
Di awal terlihat seseorang yang
telanjang diiringi oleh beberapa orang yang bersenandung dengan melodi-melodi
suara tanpa kata-kata. Dengan seseorang yang telanjang sebagai objek utama,
saya langsung bisa menebak bahwa para “filsuf” ini akan mengangkat sesuatu
mengenai hakikat manusia—makanya saya akan menggunakan kata “manusia” dalam
tulisan kali ini. Akankah mereka akan melanjutkan misi J.J. Rousseau untuk
“kembali ke alam”?
Setelah sekian lama diketahuilah
bahwa tokoh telanjang itu adalah seorang bayi yang masih polos. Ia mulai
menggerakkan anggota tubuhnya, berusaha bangkit namun tak bisa. Manusia-manusia
bersenandung datang kembali mengelilingi sang anak dan mengucapkan bunyi-bunyi
vokal yang kemudian ditiru oleh anak tersebut. Setelah pergi lingkaran manusia
tersebut datang kembali dengan kata: hidup dan mati. Seiring sang anak belajar
merangkak, berdiri, lalu berjalan, ia diajarkan kata-kata hingga kalimat
“kehidupan adalah ketidakpastian yang butuh aturan agar selamat saat datang
kematian”. Anak itu mempelajari segala hal yang diajarkan mereka. Lalu ia
dipakaikan pakaian yang sama dengan mereka, setelah ia memiliki kemampuan yang
sama dengan mereka. Genaplah ia sekarang menjadi manusia seutuhnya. Proses ini
dapat kita lihat sebagai tahap perkembangan anak manusia menjadi anggota
masyarakat.
Selama ini sang anak mengikuti
lingkaran orang-orang yang mendiktekan padanya gerakan-gerakan dan
kalimat-kalimat. Suatu ketika, sang anak bertanya-tanya apa makna dari kalimat
yang telah ia pelajari, “kehidupan adalah ketidakpastian yang butuh aturan agar
selamat saat datang kematian”. Ia tidak mendapat jawaban. Orang-orang di
sekelilingnya bungkam sambil tetap mendiktekan kalimat tersebut, berjalan lurus
mengikuti “aturan”. Ini adalah perlambang masyarakat yang konservatif dan
selalu mengikuti aturan-aturan yang kaku dan membatasi yang bahkan mereka
sendiri tidak tau kebenarannya.
Suatu ketika sang anak mengalami
peristiwa yang menjadi pertanyaan besar baginya. Ia dapat berjalan ke belakang,
ke samping, cepat, lambat, dan bergerak sesukanya. Tentunya berbeda dengan yang
diajarkan orang-orang di sekelilingnya. Hal ini adalah sebuah tramendum yang
membuatnya bertanya-tanya dan menyintesa pendapatnya sendiri. Lalu sifat
skeptisnya membuat ia mendobrak aturan tersebut. Ia melawan pengotakkan manusia
yang dilakukan lingkaran manusia tersebut dengan pemikiran seorang skeptis yang
mencari kebenaran, yaitu kebebasan. Betapa tokoh ini seorang filsuf yang ideal.
Semakin besar resistensi yang
dilakukan, semakin kuat pula opresi yang dilakukan orang-orang di sekitarnya
dengan aturan-aturan yang dipaksakan. Lingkaran manusia di sekeliling sang anak
semakin lama semakin sempit menyebabkan ruang geraknya semakin sempit pula.
Sang anak tidak dapat bebas dari lingkungan tersebut hingga pada akhirnya ia
benar-benar stuck. Pun ketika ia
menyadarkan manusia-manusia di sekitarnya akan potensi mereka—bergerak sesuai
kehendak mereka (free will)—ia justru
ditampar tanpa jawaban sedikitpun. Lalu ia berusaha memanjat dinding manusia
tersebut agar bisa terlepas, namun tak bisa. Kakinya diinjak dan terlihat
senyum dari manusia di sekitarnya yang membawa aturan-aturan: sebuah senyum
kemenangan orang-orang konservatif atas kekalahan seorang skeptis.
Sang pemberontak
akhirnya mengikuti orang-orang di sekitarnya. Ia tak lagi menanyakan kenapa ia
harus mengikuti aturan tapi ia terpaksa mengikuti mereka. Ia ikut bergerak dalam
pola-pola terbatas membawa kalimat-kalimat yang dulu ia tentang. Keterpaksaan
terlihat dari tokoh utama yang menyiratkan bahwa apa yang ia ikuti menentang
pemikirannya sendiri. Aturan di masyarakat telah berhasil dipaksakan pada
individu tanpa penjelasan esensi dari aturan tersebut. Aturan tersebut adalah
aturan yang dibuat karena kehidupan tidak pernah pasti yang kemudian
membutuhkan aturan agar selamat saat datang kematian.
Tidak
perlu diragukan lagi, setidaknya bagi diri saya sendiri, bahwa yang dibicarakan
dalam hal ini adalah agama yang selalu berbicara tentang keselamatan setelah
kematian. Tak dapat dipungkiri juga bahwa aturan-aturan dalam agama tersebut
dibuat karena ketakutan akan kematian yang tidak pernah pasti sehingga manusia
menciptakan ‘keselamatan” sendiri yang (sayangnya) diterima oleh dan dipaksakan
pada masyarakat umum. Setiap yang mempertanyakan atau bahkan melawan akan
dibungkam dan akhirnya akan tetap mengikutinya. Negosiasi-negosiasi yang
diupayakan-individu-individu skeptis terhadap masyarakat sama sekali tidak
berhasil. Akhirnya keselamatan yang dijanjikan saat datang kematian bagi
individu-individu yang mengikuti aturan pun tidak dapat dibuktikan
kebenarannya.
Akhir
kata saya ingin menyintesa kembali kalimat teater ini “kehidupan adalah
ketidakpastian yang butuh aturan agar selamat saat datang kematian” menjadi
“kehidupan adalah ketidakpastian yang dibuatkan aturan untuk keselamatan yang
tak pasti saat datang kematian”.
2 comments:
Filsafat UI isinya manusia-manusia tai. Kondisi pikiran kotor dihantam dengan pengetahuan yang diajarkan jadi sesat
Post a Comment