Hai semuanya. Kali ini saya ingin menuliskan hasil laporan tugas Filsafat saya di kelas dalam blog ini. Tulisannya dan keilmiahannya mungkin masih kacau, karena ini belum saya perbaiki. Namun saya harap tulisan ini dapat mewakili kesimpulan pembelajaran Filsafat saya di kelas. Temanya adalah konsep kebenaran dan teologi pada tiga zaman yang berbeda. Dan di sini saya hanya menuliskan kesimpulan yang saya dapat saja. Oh iya, tulisan saya ini juga mengacu pada artikel dosen saya. bapak Naupal.
Konsep Kebenaran Teologi zaman Pramodern, Modern dan Posmodern
Konsep tentang Tuhan merupakan hal yang sangat dekat dengan
kehidupan manusia dan telah berkembang seiring perkembangan peradaban manusia.
Eksistensi Tuhan begitu penting sehingga ada ilmu yang khusus mempelajari
tentang Tuhan dan kaitannya dengan realitas yaitu Teologi. Dalam Teologi ada
yang mempercayai bahwa mengenal Tuhan bisa dengan nalar akal dan pengamatan
yang disebut dengan teologi natural dan ada juga yang percaya bahwa mengenal
Tuhan hanya bisa lewat firman-firman Tuhan dimana Dia memperlihatkan diri-Nya
yang disebut dengan teologi wahyu.
Pada masa pramodern iman kepada Tuhan mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi daripada nalar yang rasional. Firman-firman Tuhan menjadi sumber segala
kebenaran yang harus diterima. Oleh karena itu, filsafat yang mengutamakan
rasio (akal sehat) hanya dianggap sebagai saarana untuk memahami iman. Jadi dapat
dikatakan filsafat “tunduk” pada keimanan pada Tuhan.
Akibat dari pemujaan terhadap konstitusi yang bernama agama maka
timbullah penyalahgunaan. Penguasa dan tokoh agama mendapat kekuasaan yang
mutlak. Hal ini didukung oleh ayat-ayat dalam kitab suci yang melegitimasi kekuasaan
mereka. Sedangkan rakyat miskin menjadi pasrah pada penguasa dan agama karena
dalam pewartaan kitab suci dikatakan bahwa nasib mereka adalah mutlak
menderita. Sehingga mereka berada dalam belenggu penguasa dan orang suci yang
mana gereja memihak padanya. Jadi, pada zaman pramodern spiritualitas
orang-orang yang sebenarnya tinggi namun terbelenggu oleh sistem sosial politik
yang salah menjadi tidak terbentuk karena keimanan dipaksakan oleh orang yang
berkuasa.
Pada zaman modern muncul skeptisisme terhadap teologi yang luar
biasa. Hal ini dikarenakan orang-orang sudah mengutamakan pemikiran rasional di
atas keberterimaan terhadap doktrin-doktrin dan aturan dogmatis gereja, sebagai
akibat dari renaissance atau aufklärung. Segala hal dipertanyakan
secara rasional termasuk ajaran dan pernyataan-pernyataan teologis. Setelah
menilai koherensi dan korespondensi dari teologi maka orang-orang menyimpulkan
bahwa teologi tidak koresponden dengan realitas.
Penuntutan terhadap kebebasan dan otonomi manusia pada zaman modern
membuat orang-orang juga harus melawan agama karena dalam aturan gereja
kebebasan manusia tidak mutlak diberi kebebasan, semua orang harus mengisi
hidupnya untuk menyembah Tuhan melalui gereja. Termasuk dalam hal ilmu
pengetahuan manusia tidak diberi kebebasan. Sehingga terjadi pertentangan yang
tekenal yaitu teori heliosentris yang ditolak gereja. Oleh karena itu, banyak
orang yang kemudian memilih meninggalkan agama karena menginginkan kebebasan
dan terlepas dari sistem sosial politik yang berasal dari Tuhan.
Pemujaan yang tinggi terhadap rasio dan ilmu pengetahuan pada zaman
modern menunjukkan bahwa dunia dapat tetap berjalan tanpa adanya Tuhan.
Walaupun kesimpulan ini belum dapat dipastikan, namun cukup mampu membuat
masyarakat menjauhkan diri dari kepercayaan akan eksistensi Tuhan.
Hasil dari segala yang terjadi di masa modern adalah hilangnya
tempat bagi spiritualitas di kehidupan masyarakat. Akibatnya muncullah
fundamentalisme karena orang-orang yang fundamenta itu menafsirkan alkitab
secara harfiah sehingga tidak tahu inti ajaran yang murni dari alkitab
tersebut. Dampak dari fundamentalisme ini adalah destruksi dan kehidupan yang
tidak toleran atau dehumanisasi.
Kondisi spiritualitas masyarakat yang terpuruk pada zaman modern
kemudian ditentang oleh masyarakat zaman posmodern. Pemikiran rasional
sebelumnya yang dianggap akan membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi
masyarakat ternyata justru membawa dampak negatif yang lebih besar.
Manusia yang dari dulu dianggap sebagai imago Dei atau
“Citra Allah” masih dianggap sebagai makhluk yang paling istimewa di muka bumi.
Namun pada zaman posmodern pandangan ini tidak menjadikan manusia bersifat
antroposentris yang menganggap lingkungan, hewan dan tumbuhan disekitarnya
tidak bernilai. Orang-orang memiliki penghargaan terhadap alam yang juga
memiliki nilai. Bahkan muncul kaum ekologis egalitarian di zaman posmodern.
Kembalinya manusia pada kepercayaan akan sesuatu yang adi kodrati
di zaman posmodern didukung oleh penemuan “gen Tuhan” yang membuat manusia
membutuhkan keimanan. Sehingga spiritualitas manusia tumbuh lagi. Untuk itu
agama dihidupkan lagi. Namun berbeda dengan zaman pramodern dimana agama
melemahkan spiritualitas, di zaman ini agama dijadikan sebagai lembaga yang
mengkondisikan spiritualitas agar bisa menjadi baik. Sedangkan spiritualitas
dianggap untuk dimiliki oleh setiap orang karena spiritualitas itu universal
hanya saja disalurkan melalui agama-agama yang berbeda.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep kebenaran dan agama di zaman
posmodern merupakan pengembalian kepercayaan kepada Tuhan dengan tetap
mempertahankan kebebasan, rasionalitas, dan pengalaman yang diusahakan pada
zaman modern. Di samping itu juga dikembalikan nilai-nilai spiritualitas zaman
pramodern namun dikemas dalam konteks masyarakat sekarang. Hasilnya terdapat
keterpaduan antara emosionalitas spiritual dengan kreativitas intelektual.
No comments:
Post a Comment