Sunday, March 20, 2016

Konsep Kebenaran Teologi pada zaman Pramodern, Modern dan Posmodern

Hai semuanya. Kali ini saya ingin menuliskan hasil laporan tugas Filsafat saya di kelas dalam blog ini. Tulisannya dan keilmiahannya mungkin masih kacau, karena ini belum saya perbaiki. Namun saya harap tulisan ini dapat mewakili kesimpulan pembelajaran Filsafat saya di kelas. Temanya adalah konsep kebenaran dan teologi pada tiga zaman yang berbeda. Dan di sini saya hanya menuliskan kesimpulan yang saya dapat saja. Oh iya, tulisan saya ini juga mengacu pada artikel dosen saya. bapak Naupal.

Konsep Kebenaran Teologi zaman Pramodern, Modern dan Posmodern
Konsep tentang Tuhan merupakan hal yang sangat dekat dengan kehidupan manusia dan telah berkembang seiring perkembangan peradaban manusia. Eksistensi Tuhan begitu penting sehingga ada ilmu yang khusus mempelajari tentang Tuhan dan kaitannya dengan realitas yaitu Teologi. Dalam Teologi ada yang mempercayai bahwa mengenal Tuhan bisa dengan nalar akal dan pengamatan yang disebut dengan teologi natural dan ada juga yang percaya bahwa mengenal Tuhan hanya bisa lewat firman-firman Tuhan dimana Dia memperlihatkan diri-Nya yang disebut dengan teologi wahyu.
Pada masa pramodern iman kepada Tuhan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada nalar yang rasional. Firman-firman Tuhan menjadi sumber segala kebenaran yang harus diterima. Oleh karena itu, filsafat yang mengutamakan rasio (akal sehat) hanya dianggap sebagai saarana untuk memahami iman. Jadi dapat dikatakan filsafat “tunduk” pada keimanan pada Tuhan.
Akibat dari pemujaan terhadap konstitusi yang bernama agama maka timbullah penyalahgunaan. Penguasa dan tokoh agama mendapat kekuasaan yang mutlak. Hal ini didukung oleh ayat-ayat dalam kitab suci yang melegitimasi kekuasaan mereka. Sedangkan rakyat miskin menjadi pasrah pada penguasa dan agama karena dalam pewartaan kitab suci dikatakan bahwa nasib mereka adalah mutlak menderita. Sehingga mereka berada dalam belenggu penguasa dan orang suci yang mana gereja memihak padanya. Jadi, pada zaman pramodern spiritualitas orang-orang yang sebenarnya tinggi namun terbelenggu oleh sistem sosial politik yang salah menjadi tidak terbentuk karena keimanan dipaksakan oleh orang yang berkuasa.
Pada zaman modern muncul skeptisisme terhadap teologi yang luar biasa. Hal ini dikarenakan orang-orang sudah mengutamakan pemikiran rasional di atas keberterimaan terhadap doktrin-doktrin dan aturan dogmatis gereja, sebagai akibat dari renaissance atau aufklärung. Segala hal dipertanyakan secara rasional termasuk ajaran dan pernyataan-pernyataan teologis. Setelah menilai koherensi dan korespondensi dari teologi maka orang-orang menyimpulkan bahwa teologi tidak koresponden dengan realitas.
Penuntutan terhadap kebebasan dan otonomi manusia pada zaman modern membuat orang-orang juga harus melawan agama karena dalam aturan gereja kebebasan manusia tidak mutlak diberi kebebasan, semua orang harus mengisi hidupnya untuk menyembah Tuhan melalui gereja. Termasuk dalam hal ilmu pengetahuan manusia tidak diberi kebebasan. Sehingga terjadi pertentangan yang tekenal yaitu teori heliosentris yang ditolak gereja. Oleh karena itu, banyak orang yang kemudian memilih meninggalkan agama karena menginginkan kebebasan dan terlepas dari sistem sosial politik yang berasal dari Tuhan.
Pemujaan yang tinggi terhadap rasio dan ilmu pengetahuan pada zaman modern menunjukkan bahwa dunia dapat tetap berjalan tanpa adanya Tuhan. Walaupun kesimpulan ini belum dapat dipastikan, namun cukup mampu membuat masyarakat menjauhkan diri dari kepercayaan akan eksistensi Tuhan.
Hasil dari segala yang terjadi di masa modern adalah hilangnya tempat bagi spiritualitas di kehidupan masyarakat. Akibatnya muncullah fundamentalisme karena orang-orang yang fundamenta itu menafsirkan alkitab secara harfiah sehingga tidak tahu inti ajaran yang murni dari alkitab tersebut. Dampak dari fundamentalisme ini adalah destruksi dan kehidupan yang tidak toleran atau dehumanisasi.
Kondisi spiritualitas masyarakat yang terpuruk pada zaman modern kemudian ditentang oleh masyarakat zaman posmodern. Pemikiran rasional sebelumnya yang dianggap akan membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat ternyata justru membawa dampak negatif yang lebih besar.
Manusia yang dari dulu dianggap sebagai imago Dei atau “Citra Allah” masih dianggap sebagai makhluk yang paling istimewa di muka bumi. Namun pada zaman posmodern pandangan ini tidak menjadikan manusia bersifat antroposentris yang menganggap lingkungan, hewan dan tumbuhan disekitarnya tidak bernilai. Orang-orang memiliki penghargaan terhadap alam yang juga memiliki nilai. Bahkan muncul kaum ekologis egalitarian di zaman posmodern.
Kembalinya manusia pada kepercayaan akan sesuatu yang adi kodrati di zaman posmodern didukung oleh penemuan “gen Tuhan” yang membuat manusia membutuhkan keimanan. Sehingga spiritualitas manusia tumbuh lagi. Untuk itu agama dihidupkan lagi. Namun berbeda dengan zaman pramodern dimana agama melemahkan spiritualitas, di zaman ini agama dijadikan sebagai lembaga yang mengkondisikan spiritualitas agar bisa menjadi baik. Sedangkan spiritualitas dianggap untuk dimiliki oleh setiap orang karena spiritualitas itu universal hanya saja disalurkan melalui agama-agama yang berbeda.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep kebenaran dan agama di zaman posmodern merupakan pengembalian kepercayaan kepada Tuhan dengan tetap mempertahankan kebebasan, rasionalitas, dan pengalaman yang diusahakan pada zaman modern. Di samping itu juga dikembalikan nilai-nilai spiritualitas zaman pramodern namun dikemas dalam konteks masyarakat sekarang. Hasilnya terdapat keterpaduan antara emosionalitas spiritual dengan kreativitas intelektual.

No comments: