Sunday, December 10, 2017

Interpretasi Karya Seni Teater “Amor Feti” by Teater Agora

Interpretasi Karya Seni Teater “Amor Feti” by Teater Agora
"Kehidupan, Ketidakpastian, Keselamatan, Kematian"
Mendengar judulnya saya langsung tertarik melihat teater ini, pertama karena berbahasa Latin, dan kedua karena artinya “cinta pada takdir”. Berhubung teater ini dibawakan oleh Program Studi Filsafat UI, saya ingin melihat bagaimana pandangan mereka terhadap konsep “takdir”.
Di awal terlihat seseorang yang telanjang diiringi oleh beberapa orang yang bersenandung dengan melodi-melodi suara tanpa kata-kata. Dengan seseorang yang telanjang sebagai objek utama, saya langsung bisa menebak bahwa para “filsuf” ini akan mengangkat sesuatu mengenai hakikat manusia—makanya saya akan menggunakan kata “manusia” dalam tulisan kali ini. Akankah mereka akan melanjutkan misi J.J. Rousseau untuk “kembali ke alam”?
Setelah sekian lama diketahuilah bahwa tokoh telanjang itu adalah seorang bayi yang masih polos. Ia mulai menggerakkan anggota tubuhnya, berusaha bangkit namun tak bisa. Manusia-manusia bersenandung datang kembali mengelilingi sang anak dan mengucapkan bunyi-bunyi vokal yang kemudian ditiru oleh anak tersebut. Setelah pergi lingkaran manusia tersebut datang kembali dengan kata: hidup dan mati. Seiring sang anak belajar merangkak, berdiri, lalu berjalan, ia diajarkan kata-kata hingga kalimat “kehidupan adalah ketidakpastian yang butuh aturan agar selamat saat datang kematian”. Anak itu mempelajari segala hal yang diajarkan mereka. Lalu ia dipakaikan pakaian yang sama dengan mereka, setelah ia memiliki kemampuan yang sama dengan mereka. Genaplah ia sekarang menjadi manusia seutuhnya. Proses ini dapat kita lihat sebagai tahap perkembangan anak manusia menjadi anggota masyarakat.
Selama ini sang anak mengikuti lingkaran orang-orang yang mendiktekan padanya gerakan-gerakan dan kalimat-kalimat. Suatu ketika, sang anak bertanya-tanya apa makna dari kalimat yang telah ia pelajari, “kehidupan adalah ketidakpastian yang butuh aturan agar selamat saat datang kematian”. Ia tidak mendapat jawaban. Orang-orang di sekelilingnya bungkam sambil tetap mendiktekan kalimat tersebut, berjalan lurus mengikuti “aturan”. Ini adalah perlambang masyarakat yang konservatif dan selalu mengikuti aturan-aturan yang kaku dan membatasi yang bahkan mereka sendiri tidak tau kebenarannya.
Suatu ketika sang anak mengalami peristiwa yang menjadi pertanyaan besar baginya. Ia dapat berjalan ke belakang, ke samping, cepat, lambat, dan bergerak sesukanya. Tentunya berbeda dengan yang diajarkan orang-orang di sekelilingnya. Hal ini adalah sebuah tramendum yang membuatnya bertanya-tanya dan menyintesa pendapatnya sendiri. Lalu sifat skeptisnya membuat ia mendobrak aturan tersebut. Ia melawan pengotakkan manusia yang dilakukan lingkaran manusia tersebut dengan pemikiran seorang skeptis yang mencari kebenaran, yaitu kebebasan. Betapa tokoh ini seorang filsuf yang ideal.
Semakin besar resistensi yang dilakukan, semakin kuat pula opresi yang dilakukan orang-orang di sekitarnya dengan aturan-aturan yang dipaksakan. Lingkaran manusia di sekeliling sang anak semakin lama semakin sempit menyebabkan ruang geraknya semakin sempit pula. Sang anak tidak dapat bebas dari lingkungan tersebut hingga pada akhirnya ia benar-benar stuck. Pun ketika ia menyadarkan manusia-manusia di sekitarnya akan potensi mereka—bergerak sesuai kehendak mereka (free will)—ia justru ditampar tanpa jawaban sedikitpun. Lalu ia berusaha memanjat dinding manusia tersebut agar bisa terlepas, namun tak bisa. Kakinya diinjak dan terlihat senyum dari manusia di sekitarnya yang membawa aturan-aturan: sebuah senyum kemenangan orang-orang konservatif atas kekalahan seorang skeptis.
Sang pemberontak akhirnya mengikuti orang-orang di sekitarnya. Ia tak lagi menanyakan kenapa ia harus mengikuti aturan tapi ia terpaksa mengikuti mereka. Ia ikut bergerak dalam pola-pola terbatas membawa kalimat-kalimat yang dulu ia tentang. Keterpaksaan terlihat dari tokoh utama yang menyiratkan bahwa apa yang ia ikuti menentang pemikirannya sendiri. Aturan di masyarakat telah berhasil dipaksakan pada individu tanpa penjelasan esensi dari aturan tersebut. Aturan tersebut adalah aturan yang dibuat karena kehidupan tidak pernah pasti yang kemudian membutuhkan aturan agar selamat saat datang kematian.
Tidak perlu diragukan lagi, setidaknya bagi diri saya sendiri, bahwa yang dibicarakan dalam hal ini adalah agama yang selalu berbicara tentang keselamatan setelah kematian. Tak dapat dipungkiri juga bahwa aturan-aturan dalam agama tersebut dibuat karena ketakutan akan kematian yang tidak pernah pasti sehingga manusia menciptakan ‘keselamatan” sendiri yang (sayangnya) diterima oleh dan dipaksakan pada masyarakat umum. Setiap yang mempertanyakan atau bahkan melawan akan dibungkam dan akhirnya akan tetap mengikutinya. Negosiasi-negosiasi yang diupayakan-individu-individu skeptis terhadap masyarakat sama sekali tidak berhasil. Akhirnya keselamatan yang dijanjikan saat datang kematian bagi individu-individu yang mengikuti aturan pun tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

Akhir kata saya ingin menyintesa kembali kalimat teater ini “kehidupan adalah ketidakpastian yang butuh aturan agar selamat saat datang kematian” menjadi “kehidupan adalah ketidakpastian yang dibuatkan aturan untuk keselamatan yang tak pasti saat datang kematian”.