Wednesday, November 22, 2017

Terbentuknya Kebudayaan: Sebuah Renungan Filosofis

Terbentuknya Kebudayaan: Sebuah Renungan Filosofis dan Interpretasi Film “The Skin I Live In”
Kembali lagi bicara mengenai kebudayaan, lanjutan dari post sebelumnya. Jadi, kali ini aku akan menuliskan jawaban atas pertanyaan bagaimana terbentuknya budaya atau kebudayaan yang aku dapatkan di kelas filsafat budaya. Bagi yang belum membaca post sebelumnya, ada baiknya dibaca dulu disini.
Jadi, bagaimana kebudayaan itu muncul dan diterima oleh masyarakat?
Dalam post sebelumnya aku telah menyinggung mengenai tramendum. Tramendum atau event adalah hal pertama yang mendorong lahirnya kebudayaan. Manusia terpesona/terpukau/terheran-heran oleh suatu peristiwa dalam hidupnya sehingga membuatnya bertanya-tanya. Tidak puas bertanya-tanya, manusia melakukan aksi atau aktivitas untuk memenuhi hasrat ingin tahunya itu. Hal ini dialami oleh tokoh dokter kulit Robert Ledgard dalam film “The Skin I Live In” (2011) dari sutradara Pedro Almodóvar. Kematian istrinya dengan cara bunuh diri dilatarbelakangi oleh kulitnya yang terbakar dan tidak seperti manusia lagi. Dokter Robert sangat terpukul oleh hal tersebut. Keterpukulan ini diperparah oleh peristiwa kedua dimana ia harus kehilangan putrinya yang juga bunuh diri karena gangguan psikologis yang dilatarbelakangi oleh hubungan seksual dengan seorang pria.
                Kedua events yang membuat dokter Robert sangat terpukul ini mendorongnya melakukan percobaan untuk menemukan kulit dari hasil rekayasa gen manusia dan babi hutan, yang menghasilkan kulit yang sangat baik untuk manusia. Di sini terlihat si dokter menggunakan akal dan potensi dirinya untuk memenuhi kehendaknya dengan mengolah atau memberikan perubahan pada hal-hal di sekitarnya—dalam hal ini kulit manusia.
                Kemudian dokter Robert memperkenalkan kulit buatan tersebut pada orang lain dalam sebuah kongres. Dalam hal ini ia mencoba memperkenalkan pada masyarakat (dengan menganggap orang-orang dalam kongres adalah perwakilan masyarakat) sebuah karya individu yang berlum pernah sebelumnya: kulit buatan berkualitas tinggi yang mengandung gen babi. Di masyarakat, karya ini menjadi persoalan karena menentang norma yang ada, yaitu dengan mengotori gen manusia dengan gen babi. Semua orang tidak setuju atas apa yang ia lakukan dan melarangnya.
                Semakin besar opresi yang dilakukan masyarakat, semakin besar pula resistensi yang dilakukan oleh individu yang diopresi. Larangan yang diberikan masyarakat pada si dokter malah membuatnya lebih ingin mengembangkan karyanya. Ia memanfaatkan pria yang telah menyebabkan putrinya meninggal sebagai objek percobaan. Kulitnya diganti dengan kulit buatan si dokter sampai menyerupai seorang wanita. Hal ini juga didorong oleh kehendak dokter Robert untuk mengembalikan istrinya yang telah meninggal.
                Tidak hanya sampai di situ, dokter Robert juga mendobrak norma lainnya bahkan nature manusia, yaitu dengan mengganti kelamin pria objeknya tadi menjadi kelamin perempuan. Sempurnalah pria itu menjadi istrinya. Selanjutnya ia diberi obat-obatan untuk melupakan segalanya dan menjadi setia pada si dokter.
                Persoalan di masyarakat seperti pro kontra yang berkecamuk di kehidupan dokter Robert menjadi langkah kedua yang harus dilalui sebuah karya untuk menjadi kebudayaan. Di sini pada umumnya otonomi berada pada masyarakat sehingga karya individu banyak ditolak jika bertentangan dengan “jiwa” masyarakat.
                Terakhir adalah permasalahan kosmologis, dengan kata lain segala hal yang berhubungan dengan “tempat” dan “waktu”. Di lingkungan masyarakat seperti di film The Skin I Live In misalnya, percampuran gen manusia dengan gen babi sangatla dilarang. Begitulah dengan pergantian jenis kelamin (transseksual). Namun di akhir film dapat dilihat bahwa pria yang sudah diberi kulit dengan gen babi dan dengan jenis kelamin yang berbeda menjadi berterima, setidaknya di lingkungan keluarganya. Scene terakhir ini menunjukkan bahwa tidak semua kebudayaan berlaku di masyarakat meskipun beberapa orang menerimanya. Begitu juga sebaliknya, kebudayaan yang berlaku umum di masyarakat juga tidak selalu berterima pada setiap individu dalam masyarakat itu.

                Jadi, segala sesuatu akan melewati tiga tahap untuk menjadi kebudayaan di masyarakat, yaitu: (1) tramendum yang menstimulasi terbentuknya kebudayaan tersebut, biasanya terjadi pada individu; (2) pro-kontra di masyarakat yang menyebabkan sebagaian hal gagal menjadi kebudayaan dan sebagian lain berhasil; dan terakhir (3) kosmologi atau tempat dan waktu yang tepat untuk sesuatu tersebut menjadi kebudayaan yang berterima di masyarakat.

Kebudayaan dan Kemunculannya: Sebuah Renungan Filosofis

Kebudayaan dan Kemunculannya: Sebuah Renungan Filosofis
           Dengan sisa kredit yang aku punya di semester 7 ini, aku berkesempatan mengambil kelas di luar prodi aku sendiri, Sastra Belanda. Lelah dengan bahasa dan sastra, aku memberanikan diri utk mengambil kelas dari prodi Filsafat, yaitu kelas Filsafat Budaya yang diampu oleh bapak Tommy Awuy. Banyak hal yang aku pelajari dari kelas ini. Pada pertengahan semester kemarin kita ada ujian tengah semester. Aku menyangka kita akan disuruh menganalisis sebuah fenomena kebudayaan dengan teori-teori filsafat budaya. Ternyata kita malah diminta untuk menjelaskan dengan kalimat sendiri apa itu budaya dan bagaimana budaya itu muncul dalam waktu sekitar 90 menit. So, berikut adalah jawaban gue waktu itu tanpa diubah sedikitpun kecuali kesalahan pengejaan yang dikarenakan kepanikan saat ujian hehe.
Apa itu kebudayaan?
Kata “culture” berasal dari Bahasa Latin “colere” yang berarti mengelola, membudidayakan, atau mengolah. Makna ini termanifestasi dalam kata “cultivate” dalam Bahasa Inggris yang juga berarti membudidayakan. Sedangkan kata “budaya” dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata “budi” (pikiran, gagasan) dan “daya” yang berarti kemampuan. Berangkat dari etimologi kata “culture”, kita dapat melihat kebudayaan itu sebagai upaya manusia untuk mengolah lingkungan tempat ia tinggal. Ada yang mengatakan bahwa dimana ada manusia di situ ada kebudayaan. Dalam mengolah lingkungannya manusia dibekali dengan pikiran (akal), perasaan dan kehendak. Dari ketiga hal tersebut terciptalah perubahan-perubahan yang ada di lingkungan seperti dibuatnya saluran irigasi, pondok, tambak ikan, jalan raya, rel kereta api, sampai gedung-gedung yang tinggi. Semua perubahan (atau dapat juga dikatakan karya manusia) di lingkungan tersebut merupakan ekstensi atau perpanjangan dari diri manusia itu sendiri. Teropong adalah ekstensi dari mata manusia, sepatu dan pakaian adalah ekstensi dari kulit manusia yang melindunginya dari panas, dan telepon atau gadget adalah ekstensi dari alat ucap manusia.
                Seiring dengan berkembangnya kebudayaan, manusia menghasilkan berbagai produk budaya. Segala sesuatu yang terdapat di lingkungan manusia yang tidak alamiah lagi adalah produk budaya. Bahkan udara di dalam kelas juga terkena sentuhan budaya manusia sehingga dapat diatur suhunya, sehingga merupakan produk budaya. Selain produk materiil juga terdapat produk budaya immateriil (tak benda), seperti bahasa, nyanyian, puisi dan lain-lain. Semua produk budaya tersebut diciptakan dan sebagian ditinggalkan seiring berjalannya waktu, silih berganti sesuai kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Seiring dengan itu kebudayaan juga semakin kompleks dan batasnya semakin luas.
                Selain mengekstensi dirinya dengan mengolah alam, manusia juga mengolah dirinya sendiri. Manusia memiliki potensi diri yang dapat dikembangkan untuk keperluannya. Dengan demikian lahirlah karya-karya dari hasil pemikiran manusia seperti bahasa, sastra dan karya seni..
                Manusia adalah makhluk yang terbatas namun pemikiran manusia seringkali berusaha mencapai hal-hal yang transenden atau di luar batasnya. Di samping menghasilkan karya, manusia juga melakukan perenungan. Hal-hal yang direnungkan termasuk hal-hal yang tidak ia saksikan seperti asal mula kejadian manusia dan alam semesta yang sebagian dari hasil pemikiran itu menghasilkan konsep tuhan atau supreme power yang bertahan hingga saat ini. Sebagian manusia tidak puas dengan merenung saja, mereka juga butuh reason (alasan). Dengan demikian, ilmu pengetahuan berkembang menggantikan mitos-mitos hasil perenungan yang tak berlandaskan empirisme (pengalaman). Akhirnya manusia dapat mencapai hal-hal yang transenden itu seperti pengetahuan mengenai angkasa yang sangat luas sampai atom atau virus yang sangat kecil dan tidak mungkin dilihat oleh mata manusia tanpa alat khusus.
                Capaian-capaian manusia itu seringkali dilatarbelakangi oleh suatu tramendum atau peristiwa yang sangat berkesan baginya. Tramendum ini mendorongnya untuk melakukan suatu aksi yang berujung pada sebuah penemuan atau karya. Misalnya Newton yang terkesan hanya oleh sebuah apel yang jatuh. Lalu ia bertanya-tanya kenapa arah jatuhnya selalu ke bawah, begitu juga dengan kenapa kertas atau kapas mencapai tanah lebih lambat dari apel atau batu misalnya. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa ada percepatan gravitasi yang bernilai sama semua benda namun bentuk kertas yang lebar mendapat gaya dorong oleh angin secara lebih kuat dibandingkan apel sehingga jatuh lebih akhir. Kesimpulan mengenai gaya dan percepatan gravitasi ini adalah karya yang sangat bermanfaat di dunia ilmu pengetahuan hingga sekarang.
                Selain tramendum (event), manusia juga mengalami apa yang dikenal dengan misterium dan fascinatum. Misterium adalah peristiwa atau hal yang membuat manusia bertanya-tanya. Sedangkan fascinatum adalah hal atau peristiwa yang membuat manusia terpesona (fascinated). Baik tramendum, misterium maupun fascinatum sama-sama berperan mendorong manusia untuk beraktivitas dan berkreasi hingga menghasilkan karya.
Jadi, kebudayaan tidak lain adalah hasil interaksi manusia dengan lingkungannya dan dirinya sendiri. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis berupa produk-produk budaya, tetapi di dalamnya termasuk proses yang dinamis.

                Lalu, bagaimana kebudayaan-kebudayaan itu muncul? Ini adalah pertanyaan kedua dalam soal filsafat budaya yang aku dapatkan. Jawaban dari pertanyaan ini akan aku tuliskan dalam postingan berikutnya. Ditunggu, salam, terima kasih J