Terbentuknya
Kebudayaan: Sebuah Renungan Filosofis dan Interpretasi Film “The Skin I Live
In”
Kembali lagi
bicara mengenai kebudayaan, lanjutan dari post sebelumnya. Jadi, kali ini aku
akan menuliskan jawaban atas pertanyaan bagaimana terbentuknya budaya atau
kebudayaan yang aku dapatkan di kelas filsafat budaya. Bagi yang belum membaca
post sebelumnya, ada baiknya dibaca dulu disini.
Jadi, bagaimana kebudayaan itu muncul dan diterima oleh masyarakat?
Dalam post
sebelumnya aku telah menyinggung mengenai tramendum.
Tramendum atau event adalah hal
pertama yang mendorong lahirnya kebudayaan. Manusia terpesona/terpukau/terheran-heran
oleh suatu peristiwa dalam hidupnya sehingga membuatnya bertanya-tanya. Tidak
puas bertanya-tanya, manusia melakukan aksi atau aktivitas untuk memenuhi
hasrat ingin tahunya itu. Hal ini dialami oleh tokoh dokter kulit Robert
Ledgard dalam film “The Skin I Live In” (2011) dari sutradara Pedro Almodóvar.
Kematian istrinya dengan cara bunuh diri dilatarbelakangi oleh kulitnya yang
terbakar dan tidak seperti manusia lagi. Dokter Robert sangat terpukul oleh hal
tersebut. Keterpukulan ini diperparah oleh peristiwa kedua dimana ia harus
kehilangan putrinya yang juga bunuh diri karena gangguan psikologis yang
dilatarbelakangi oleh hubungan seksual dengan seorang pria.
Kedua
events yang membuat dokter Robert
sangat terpukul ini mendorongnya melakukan percobaan untuk menemukan kulit dari
hasil rekayasa gen manusia dan babi hutan, yang menghasilkan kulit yang sangat
baik untuk manusia. Di sini terlihat si dokter menggunakan akal dan potensi
dirinya untuk memenuhi kehendaknya dengan mengolah atau memberikan perubahan
pada hal-hal di sekitarnya—dalam hal ini kulit manusia.
Kemudian
dokter Robert memperkenalkan kulit buatan tersebut pada orang lain dalam sebuah
kongres. Dalam hal ini ia mencoba memperkenalkan pada masyarakat (dengan
menganggap orang-orang dalam kongres adalah perwakilan masyarakat) sebuah karya
individu yang berlum pernah sebelumnya: kulit buatan berkualitas tinggi yang
mengandung gen babi. Di masyarakat, karya ini menjadi persoalan karena
menentang norma yang ada, yaitu dengan mengotori gen manusia dengan gen babi.
Semua orang tidak setuju atas apa yang ia lakukan dan melarangnya.
Semakin
besar opresi yang dilakukan masyarakat, semakin besar pula resistensi yang
dilakukan oleh individu yang diopresi. Larangan yang diberikan masyarakat pada
si dokter malah membuatnya lebih ingin mengembangkan karyanya. Ia memanfaatkan
pria yang telah menyebabkan putrinya meninggal sebagai objek percobaan.
Kulitnya diganti dengan kulit buatan si dokter sampai menyerupai seorang
wanita. Hal ini juga didorong oleh kehendak dokter Robert untuk mengembalikan
istrinya yang telah meninggal.
Tidak
hanya sampai di situ, dokter Robert juga mendobrak norma lainnya bahkan nature manusia, yaitu dengan mengganti
kelamin pria objeknya tadi menjadi kelamin perempuan. Sempurnalah pria itu
menjadi istrinya. Selanjutnya ia diberi obat-obatan untuk melupakan segalanya
dan menjadi setia pada si dokter.
Persoalan
di masyarakat seperti pro kontra yang berkecamuk di kehidupan dokter Robert
menjadi langkah kedua yang harus dilalui sebuah karya untuk menjadi kebudayaan.
Di sini pada umumnya otonomi berada pada masyarakat sehingga karya individu
banyak ditolak jika bertentangan dengan “jiwa” masyarakat.
Terakhir
adalah permasalahan kosmologis, dengan kata lain segala hal yang berhubungan
dengan “tempat” dan “waktu”. Di lingkungan masyarakat seperti di film The Skin
I Live In misalnya, percampuran gen manusia dengan gen babi sangatla dilarang.
Begitulah dengan pergantian jenis kelamin (transseksual). Namun di akhir film dapat
dilihat bahwa pria yang sudah diberi kulit dengan gen babi dan dengan jenis
kelamin yang berbeda menjadi berterima, setidaknya di lingkungan keluarganya.
Scene terakhir ini menunjukkan bahwa tidak semua kebudayaan berlaku di
masyarakat meskipun beberapa orang menerimanya. Begitu juga sebaliknya,
kebudayaan yang berlaku umum di masyarakat juga tidak selalu berterima pada
setiap individu dalam masyarakat itu.
Jadi,
segala sesuatu akan melewati tiga tahap untuk menjadi kebudayaan di masyarakat,
yaitu: (1) tramendum yang menstimulasi terbentuknya kebudayaan tersebut,
biasanya terjadi pada individu; (2) pro-kontra di masyarakat yang menyebabkan
sebagaian hal gagal menjadi kebudayaan dan sebagian lain berhasil; dan terakhir
(3) kosmologi atau tempat dan waktu yang tepat untuk sesuatu tersebut menjadi
kebudayaan yang berterima di masyarakat.